info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

AKHIRNYA MATA SAYA MELIHAT (PADAHAL SAYA BERHARAP TAK MELIHAT)

Patricia Fiesta Pritayuni 21 Februari 2015
Sejak saya ikut Gerakan Indonesia Mengajar banyak fenomena yang dikemukakan tentang kehidupan sekolah dan muridnya serta orang tua dan anaknya terutama tentang “di ujung rotan ada pelajaran”. Saat mendengar fenomena itu saya berpikir : “aaah...masa sebegitunya?!” bahkan sampai saya sudah terjun langsung di sekolah dan desa penempatan saya, saya masih tidak bisa percaya dan menganggap itu hanya mitos belaka walaupun anak murid saya sendiri yang bercerita bahwa guru A juga suka memukul dengan bebak, batang pohon lontar, sampai berdarah. Saya menyadari kenapa saya masih tidak percaya, karena memang saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri fenomena andalan itu. Dari kecil saya memang selalu menangis kalau belajar dengan ayah saya, tapi bukan karena dipukul melainkan karena berdebat dan beda pendapat. Di sekolah sayA, kepala sekolah juga sudah menetapkan aturan untuk tidak memukul siswa terutama dengan kayu dan syukurnya guru-guru amanah pada aturan itu, kalaupun mereka memegang kayu hanya untuk menakut-nakuti siswa saja. Di lingkungan desa juga syukurnya saya di tempatkan di masyarakat yang bicara dengan bahasa penuh kasih sayang (jika dibanding desa penempatan sekabupaten teman-teman lain) walaupun bicara dengan setengah berteriak. Jadi saya belum pernah melihat fenomena itu di rumah atau di desa. Sampai pada akhirnya di pagi hari tepat saya menulis cerita ini, tanggal 21 Februari 2015, saya baru benar-benar berada dalam posisi terharu, takjub, perih, dilema, semuanya jadi satu. Fakta menjawab ketidakpercayaan saya, itu bukan mitos lagi bagi Patricia! Sedikit jauh dari pagar sekolah saya mendengar murid saya siswa kelas 3 yang menangis, ketika saya menoleh ternyata dia sedang dipukuli ayahnya dengan kayu pendek tidak terlalu kokoh karena tidak mau ke sekolah akibat malu datang terlambat. Saya terharu karena usaha sang ayah yang sampai begitu kerasnya hingga menggunakan kayu untuk menuntun anaknya dari rumah sampai depan pagar sekolah supaya anaknya mau masuk ke sekolah dan buru-buru karena sudah terlambat. Saya takjub masih ada orang tua yang peduli anaknya berangkat sekolah atau tidak di tengah isu bahwa kepedulian orang tua pada pendidikan anaknya rendah di pelosok ini. Tapi saya juga merasa perih karena anak tersebut dipukuli dengan kayu. Saya dilema hendak menolong anak itu atau melihat saja, karena jujur saya sedang dalam pikiran konyol saya, takut kalau menolong akan ikut dipukul atau mendapat kekerasan lainnya. Asal tahu saja disaat saya dilema adalah saat sang ayah sedang mengambil kayu yang jauh lebih besar dan kokoh. Di antara semua perasaan dan pemikiran yang campur aduk akhirnya saya jalan keluar dan menarik tangan anak itu untuk menjauhkannya dari pukulan kayu kokoh yang sudah tinggal sesenti lagi di punggungnya. Sambil menenangkan dan merayu anak itu supaya tenang, saya berkata dalam hati : “Tahu begini saya tidak usah menantang mitos, yang mitos biar saja mitos, yang katanya biar saja katanya”. Toh kata teman sepenempatan saya, tidak ada yang terjadi di dunia ini karena kebetulan (yuriken, 2015). Termasuk saat Tuhan saya membiarkan saya melihat fakta pahit itu di 4 bulan terakhir masa penugasan saya. “Iya...mari kita SIKAT KUAT 4 bulan terakhir penugasan ini!”

Cerita Lainnya

Lihat Semua