info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Tentang Bapak dan Panggilan Hati

MirandaYasella 22 Februari 2015

Menjadi Pengajar Muda adalah ranah untuk belajar apapun dari siapapun. Belajar mengenal apa maunya anak-anak. Belajar menempatkan diri di depan papan tulis sebagai guru. Belajar duduk di bawah pohon ketapang untuk memahami apa yang dipikirkan masyarakat. Belajar menjelajahi kebun untuk mengenal kegembiraan sederhana anak-anak saat mencari mangga. Siang itu, aku dan Pak Hajuan terjebak panasnya matahari lalu kami memutuskan untuk duduk saja di dalam ruang guru. Santai sambil menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi.

Sudah menjadi kebiasaan di desa penempatan saya, Desa Indong untuk menyajikan makanan kecil saat istirahat. Meneguk segelas air putih dan sepotong roti goreng. Pak Hajuan memulai lembaran cerita perjuangannya yang luar biasa.

Pak Hajuan, seorang bapak dengan kulit sawo matang dan wajah khas orang Maluku. Beliau adalah wali kelas IV di sekolah kami, SD N Indong. Lulusan SMA tidak menghalangi beliau untuk juga mengemban amanah sebagai guru SMP dan SMK. Dulu, beliau sempat ingin kuliah di Ternate. Satu dan lain hal membuat beliau urungkan niat itu. Selepas sekolah, beliau lebih banyak bekerja di kebun.

Desa Indong adalah sebuah desa yang terletak di Pulau Mandioli. Permasalahan sekolah di kepulauan biasanya kekurangan guru karena akses yang hanya bisa ditempuh lewat laut. Kekurangan guru di desa kami membuat Pak Hajuan tergerak untuk kembali ke sekolah untuk mengajar. Dua puluh tahun setelah meninggalkan sekolah, Pak Hajuan kembali.

Awalnya hanya membicarakan masalah cerdas cermat yang akan dilaksanakan dengan SD N Waya, desa tetangga kami. Obrolan berlanjut pada curahan perasaan beliau. “Ketika anak tidak bisa mengerti apa yang diajarkan, rasa sakit itu ada pada hati guru-guru. Apakah saya yang tidak bisa mengajari mereka. Kalimat itu terus menggaung di pikiran beliau terutama saat beliau terbangun di malam hari. Ibu Mira, saya jadi bapikir (berpikir). Saya ini hanya memikirkan anak-anak saja.”.

Gaji guru PTT atau bisa kita katakan honorer lepas hanya Rp 350.000/bulan. Jumlah yang dirasakan sangat kurang untuk menopang kehidupan istri dan anak-anak beliau. Selepas sekolah biasanya beliau kembali berkebun untuk tambahan biaya rumah tangga. Terkadang muncul kekhawatiran beliau apakah bisa bertahan dengan pendapatan yang pas-pasan saja.

Namun jika ingat anak-anak. Beliau tidak tega untuk keluar dari sekolah, siapa nanti yang akan mengajari mereka kelak. “Ingat anak-anak.”,  hal ini yang membuat beliau masih bertahan. Ujar beliau sambil menerawang ke depan. “Kalau bukan kepedulian bapak, siapa pak yang mau mengajari anak-anak supaya mereka pintar. Tau baca dan tau tulis.” aku coba menguatkan beliau.

Memang mengajar adalah panggilan dari hati. Ada perasaan gelisah melihat anak-anak yang tidak bersekolah. “Jika tidak ada hati, tidak bisa itu Ibu Mira” kata beliau. Anggukku tanda setuju dengan beliau. Sisi lain, ada kegelisahan ekonomi yang tidak kalah penting bagi beliau. Tapi apa, beliau masih bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Berada di dua sisi yang tidak bisa dikalahkan memang tidak pernah mudah.

“Saya itu kalau lepas (selesai) mengajar, kalau ada satu atau dua anak yang paham itu rasa senang sekali. Biasanya saya minta anak yang sudah mengerti untuk mengajari anak yang lain.”. Pak Hajuan lulusan SMA sudah mampu menerapkan tutor sebaya tanpa disadari beliau. Ruang kelas beliau juga dibentuk dengan formasi kelompok. Beliau sangat tertarik ketika aku menjelaskan bahwa apa yang dilakukan beliau juga kami pelajari di pelatihan.

“Kami (sekolah) juga rasa banyak perubahan setelah Pengajar Muda datang kesini. Kami bisa belajar diluar kelas, sambil menyanyi dan menari. Anak-anak ikut kegiatan di kabupaten dan juara disana disini. Saya sering mengajak teman-teman guru untuk tetap bersemangat setelah Ibu Mira pulang nanti. “. Aaah kata-kata beliau sangat menyejukkan.  

Sesungguhnya perubahan baik di sekolah adalah hasil dari guru, kepala sekolah dan siswa. Apalah artinya kami membawa segala macam pernik pengetahuan ke desa jika tidak ada dukungan dari tiga komponen itu. Tahunku adalah tahun garis finish bagi kabupaten. Siap atau tidak, kami adalah pelari terakhir dan Indonesia Mengajar akan mempercayakan roda pendidikan kepada pemangku kepentingan setempat.

Beberapa hari kemudian, bapak datang dengan cerita lain. Kelas VI membutuhkan buku bergaris untuk pelajaran matematika. Buku macam itu tentu tidak ada di desa kami. Beliau pergi ke kabupaten dan membeli sejumlah buku. Usut punya usut ternyata uang itu seharusnya untuk membeli beras bagi keluarganya.

Beliau merelakan tidak membeli beras dulu untuk keperluan anak didiknya. Membiarkan perutnya kosong sementara sambil menunggu anak-anak membayar lunas buku seharga enam ribu itu. Beliau masih merelakan lagi, anak-anak mencicil tiga kali sampai lunas.

Kini, waktu berbincang dengan beliau adalah hal yang sangat aku nantikan. Pelajaran hidup yang beliau selipkan di setiap cerita merupakan bahan refleksi. Alat untuk bercermin sudah kah aku merasa hebat dengan segala atribut pendidikan yang aku punya. Padahal di luar sana, ada banyak orang yang lebih hebat dengan mempertaruhkan segala yang dia punya. Hanya demi pendidikan. Pendidikan yang membuat anak bisa membaca dan menulis. Pendidikan yang membuat manusia menjadi lebih manusia lagi.

Terima kasih untuk pelajaran hidupnya, Pak Hajuan. Nanti kita bertemu lagi dengan seteguk air putih yang lain.


Cerita Lainnya

Lihat Semua