Hilangnya Air di Tanah Rata

Laila Tri Nurachma 22 Februari 2015

Ini musim hujan, tapi tak ada air di jeding (kamar mandi).

 

Kok bisa?

 

Aku pun awalnya heran. Dengan guyuran air yang melipah dari langit, tapi air di bak kamar mandi rumahku makin hari makin menipis. Setelah aku tanyakan pada Emak, ternyata ada pipa air yang terputus dari sumber air ke talang air dusun. Alhasil, satu dusun kesulitan air. Untungnya masih ada jeding umum yang entah bagaimana masih ada airnya, walaupun sedikit, dan masih ada sungai-sungai yang dahulu kering ketika musim kemarau, kini sudah dialiri kembali oleh air. Jadi, seluruh warga memanfaatkan sungai untuk berbagai kebutuhan. Aku pun begitu.

 

Terakhir kali aku mandi di sungai langsung adalah saat pelantikan pecinta alam waktu SMA. Itu pun mandi bareng dengan anggota yang semuanya perempuan. Jadi, aku agak khawatir ketika disuruh Emak mandi di jeding umum.

 

Aku diantarkan Emak ke jeding umum dan kulihat di sana ada Bapak Kepala Dusun yang sedang membersihkan sesuatu (entah apa aku tak melihat dengan jelas) dan anak perempuannya Emak yang sedang mandi dengan ditutupi kain basahan. Aku lihat jeding umum itu. Sebuah bak besar tanpa dinding penutup atau atap yang memayungi dari panas dan hujan. Jeding umum itu benar-benar terbuka. Di belakangnya adalah hutan-hutan yang berbatasan dengan jalan menuju dusun sebelah. Aku pun ragu untuk mandi di sana.

 

Akhirnya aku meminta kakakku untuk mengantarkan ke pancuran di belakang rumah. Pancuran tersebut ternyata pancuran buatan yang airnya dialirkan dari sungai. Di dekatnya ada sumber mata air yang tertutupi pepohonan. Aku pun mandi di sumber mata air itu. Ternyata, yang hendak mandi di pancuran dan sumber mata air bukan hanya aku saja, tapi juga anak-anak dan ibu-ibu yang lain. Jadi lah hari itu kali pertama aku mandi bersama warga dusun lainnya.

 

Hilangnya air di Tanah Rata ternyata berlangsung cukup lama. Pada hari lainnya, sepulang sekolah anak-anak mengajakku mandi di pancuran dusun sebelah. Aku pun menerima ajakan tersebut dengan senang hati. Pancuran kali ini berasal dari aliran sumber mata air yang muncul karena hujan deras. Pancurannya berada di antara bebatuan yang tertutup pohon, namun langsung menghadap ke pematang sawah yang luas. Mandi di sini sangat menyejukan, badan juga mata.

 

Selain dua tempat mandi alternatif tadi, terdapat pula satu tempat mandi alternatif yang jaraknya cukup jauh dari rumahku, yaitu Keranci, sebuah aliran sungai yang terdapat di dekat lapangan dusun. Selama masa sulit air aku tidak pernah mandi di Keranci. Baru beberapa pekan yang lalu anak-anak mengajakku berenang di Keranci. Ternyata, Keranci ini seru juga. Aliran airnya cukup deras dan lebar sungainya cukup besar untuk menampung banyak orang sekaligus. Jadi lah aku dan anak-anak berenang di sungai pada satu pagi.

 

Itu lah empat jeding alami yang dimiliki masyarakat Tanah Rata. Keempat jeding mewah (mepet ke sawah) ini menarik, bukan? Kamu bisa mandi sekaligus menikmati pemandangan alam yang asri. Kalau beruntung, kamu juga bisa mendengarkan kicauan burung-burung atau melihat elang yang melintas di langit Bawean. Jadi, walau jeding di rumah kami kehilangan air, kami masih punya empat jeding alami kami yang harus selalu dijaga kelestariannya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua