Elsina: Cerita Untuk Pak Fadli

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 22 Februari 2015

Ini tentang seorang anak perempuan. Nama lengkapnya Elsina Hegemur. Muridku kelas tiga. Yang begitu pemalu. Yang begitu besar sikap ‘pembangkangan’ dan ‘penolakannya’ pada saya, gurunya. Singkatnya, ia sering mengacuhkan perlakuan saya padanya.

Kalau kudekati bangkunya, ia tersenyum sambil menunduk. Ia menyembunyikan wajahnya. Ia juga sigap menyembunyikan kedua belah tangannya di bawah meja. Ia benar-benar tidak mau diperhatikan jika sedang mengerjakan sesuatu.

Sering, Elsina tidak mau mencatat. Kalau kuingatkan menulis, dua hingga tiga kali kusampaikan baru ia mau mencatat pelajaranku di kelas.

“aishh, pa’guru, beta pamalas ooo...” kata Elsina. Meski begitu, ia tetap menulis walau rautnya menunjukkan keterpaksaan.   

Dalam setiap pekan, dua hingga tiga kali, Elsina tidak masuk les sore. Sebagaimana murid-muridku yang lain, ia membantu orang tua di kebun. Menjelang petang, ia pulang. Dengan tomang* yang berisi penuh bayam dan keladi. Jika kami berpapasan, ia melenyapkan diri di balik tubuh ayah dan ibunya. Hanya Elsina yang begitu.  

Tapi, saya benar-benar tidak bisa mengacuhkan hanya karena sikapnya. Sebab, hanya ia satu-satunya muridku kelas kecil yang hafal perkalian sampai sembilan. Jelas, saya pun merasa harus memberikan nilai matematika paling tinggi.

Namun, ada hal yang berbeda dari anak ini. Ia begitu rajin menuangkan perasaannya di Jurnal harian. Sebelum memulai pelajaran, saya mengontrol pengumpulan Jurnal anak-anak. Memulai aktivitas pagi kami di sekolah, ia paling siap mengumpulkan Jurnal di meja saya.

Setiap hari, Elsina menuliskan cerita tentang keluarganya. Dan, saya tahu ia anak yang begitu berbahagia dengan kesederhanaannya dalam keluarga. Terlihat jelas dalam tulisan-tulisannya. Dari situ, saya juga tahu ia paling senang saat-saat kebersamaan dengan ayah, ibu, kakak dan adiknya-adiknya. Entah itu ketika di rumah, di kebun, atau di sungai.  

Di penghujung tulisan Jurnalnya, saya tidak pernah membaca keluh kesah. Yang ada, “saya sangat senang” atau “saya sangat bahagia.” Hanya Elsina yang begitu.

Akhir cerita yang selalu happy ending ini membuat saya tertarik. Saya yakin, dengan perasaan bahagianya yang selalu terbit, ia telah membuat hidupnya jadi begitu berharga.  “Hei, kamu tahu Elsina, bapak guru merasa iri dengan akhir hari-harimu.” batin saya.

Beberapa kali, dalam tulisan-tulisan di Jurnal, anak-anak menyinggung ‘saya’. Sesekali, mereka juga menyinggung ‘nama saya.’ Tapi itu hanya sekedar pelengkap. Dulu, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, kita kenal istilah pelengkap penderita. Atau objek penderita. Atau bahkan cuma keterangan tambahan.

Misalnya anak menulis begini: “pergi ke sekolah di ajar sama pa’ guru” atau, “piknik ke sungai sama pa’ guru”.  

Kata “pa’ guru” itu cuma satu kata dari sekian ratus kata yang ditorehkan anak-anak. Sebelum dan setelahnya, anak-anak hanya menceritakan kegiatan dirinya dan kebersamaan dengan teman-temannya. Begitu juga dengan Elsina.

***

Tapi, pagi itu, mata saya membelalak ketika membolak balik tumpukan Jurnal yang ada di meja. Elsina, anak ajaib satu ini, menulis satu halaman tentang saya. Judulnya: “Cerita Untuk Pak Fadli.”

Saya masih tidak percaya. Sambil mengucek-ngucek mata yang kering. Saya bahkan tidak berani beranjak dari judul. Saya takut ketika membacanya, ternyata isinya merupakan sebuah gugatan dan protes kepada saya: gurunya.

Isi Suratnya:

Cerita untuk Bapak Guru Fadli  karena dia telah membuat Aku senang sekali.

Terima kasih ya, bapak guru. Saya mengucap terima kasih yang banyak karena bapak guru sudah

membuat saya lebih senang dan hatiku menarik (tertarik) dan Aku merasa bangga.

dan saya merasa terima kasih.

merasa bahagia sekali.

dan bapak guru bisa membuat saya senang.

Aku senang sekali sama bapak guru.

Karena bapak guru terlalu (selalu) senyum dan tertawa.

Isinya membuat saya kaget. Ada keharuan yang menyeruak setelah membacanya. Pendek saja tulisannya. Saya tak tahu persis, kejadian apa dan kapan saya membuat anak ini begitu senang. Apa karena nilai yang saya berikan selalu istimewa? Itu hal biasa kalau saya memberikan angka seratus di tugas matematikanya. Apa karena saya tersenyum kepadanya setiap hari? Itu saya lakukan pada setiap teman-temannya.

Saya bisa saja menanyainya. Tapi, dapat dipastikan. Ia akan menolak saya seperti biasa. Sungguh, saya juga tak ingin membongkar rahasia sebenarnya. Biarkan saja seperti itu.

Saya hanya memberi paraf lalu menorehkan komentar:

Nak, tahukah kamu mengapa bapak selalu tersenyum?

Dengan tersenyum, kita akan menjadi lebih sehat dan awet muda.

Karena bapak sayang dengan Elsina, maka tersenyumlah selalu.       

Terima kasih Elsina. Bukan karena kamu telah menuliskan kisah satu halaman khusus untuk Pak Guru. Tapi karena kamu akui, dalam tulisan, bapak senyatanya telah berbuat yang benar. Cukuplah itu. Lebih dari sekedar pengakuan lisan yang jarang kau suarakan.

Teruslah menulis. Jangan ragu kasih tahu ke bapak. Perbuatan apa yang bapak harus lakukan sehingga bisa terus mengalami kebahagiaan seperti hari-harimu.

*tomang: wadah yang terbuat dari anyaman daun pandan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua