Ini Mutiara Hitam, Bung!

Pascalis Jiwandono 6 Mei 2015

Sebelum menginjakkan kaki pertama kali di Bumi Cenderawasih, aku pernah mendengarkan istilah mutiara hitam. Jika memperhatikan istilah tersebut, maka terasa bahwa ada nilai ekonomis tinggi yang bisa dijual.  Namun jika ditinjau dari aspek sosiologis, istilah tersebut lebih menggambarkan apresiasi sosial terhadap masyarakat Papua. Masyarakat Papua kaya akan nilai budaya dan tradisi. Kekhasan tradisi dan budaya Papua membuat kita yang melihatnya mudah mengenali. Kekayaan nilai budaya tradisional seperti rumah adat, pakaian tradisional, cara hidup, menjadi salah satu faktor yang menarik orang datang ke Papua, dan bagi yang sudah pernah datang, selalu ada kerinduan untuk kembali. Salah satu nilai kehidupan yang begitu menarik bagiku adalah tak pernah ada keraguan bahwa alam ini akan selalu memberikan kehidupan. Pola hidup mereka sederhana, sehingga tidak perlu menggambil hasil alam secara berlebihan. Alam menjadi “supermarket” kehidupan.

    Gambaran mutiara hitam lebih terasa ketika kita bertemu dengan anak-anak Papua. Anak-anak asli Papua tak ada beda dengan anak-anak lain yang ada di Nusantara. Mereka sangat polos, memiliki senyum yang manis, tatapan mata yang penuh pengharapan, dan rata-rata memiliki kemampuan kinestetik tinggi. Ketika berpapasan di jalan atau bertemu di tempat lain tak sungkan menyapa. Namun aku sering bertanya dalam hati, mengapa selama ini banyak di antara mereka belum mengkilap layaknya istilah mereka “mutiara”.

Aku pernah menuliskan beberapa catatan kecil dalam buku saku pribadiku tentang “mutiara hitam”. Tidak terlalu penting dan masih dalam sudut pandang subjektif namun hal tersebut merupakan pengalaman empirisku bersama mereka. Sekedar mencoba melihat dan memahami keadaan Papua dari perspektif “mutiara-mutiara kecil-nya.”

Mutiara hitam, merupakan gambaran kehidupan, tak hanya memperlihatkan keindahan namun ada proses pembentukan yang membutuhkan perjuangan. Hal tersebut mulai sejak masih menjadi mutiara kecil. Kondisi geografis alam papua mungkin menjadi salah satu tempaan awal para mutiara kecil agar dapat bersinar. Mereka tak sungkan berpanas-panasan, berjalan jauh untuk menempuh pendidikan. Namun kondisi semacam itu sudah mulai berkurang dengan adanya bangunan sekolah yang dibangun oleh Pemerintah. Apa kemudian kondisi para mutiara hitam lantas bersinar dengan adanya sekolah? Rupanya belum, mereka masih ditempa dengan ketiadaan guru di sekolah. Tantangan mereka, para mutiara kecil, untuk bersinar datang dari keberadaan guru yang yang tidak ada di sekolah. Masyarakat di kampung sadar betul bahwa para mutiara kecil mereka tak akan dapat bersinar jika tak ada guru. Oleh sebab itu masyarakat di wilayah ini begitu menghormati guru yang datang mengabdi di kampung mereka. Salah satu rekan guru di wilayahku pernah menceritakan pengalamannya yang lucu namun menyentuh perasaan. Ketika ia bertugas di salah satu kampung pedalaman di wilayah Fakfak Papua Barat, ia pernah mendapati anak-anak muridnya menangis di rumah saat ia menggangkat air. Ia yang baru beberapa hari tiba di kampung itu, begitu heran dan kemudian pergi bertanya  pada salah satu orang tua muridnya. Ternyata, para orang tua murid memukuli anak-anak mereka karena membiarkan bapak guru mengangkat air.

Para mutiara kecil ini membutuhkan pendidikan yang layak. Pendidikan yang layak, seperti itulah kata Undang-Undang Dasar.  Namun ketika aku dalam situasi jenuh melihat keadaan maka aku teringat bahwa Hukum bukanlah sekedar asas dan kaidah namun juga lembaga dan proses dalam mewujudkannya dalam masyarakat. Ya setidaknya aku masih punya jawaban ketika diriku bertanya. Sepertinya pendidikan yang layak itu dimulai dari guru atau tenaga pengajar. Namun bukan dalam hal kesejahteraan semata, namun juga dalam hal pelaksanaan kewajiban. Mungkin mengirim gedung-gedung sekolah di wilayah pedalaman sangatlah rumit namun mengirimkan tenaga pengajar jauh lebih mudah.

Realita dan pengalaman menjadi pengajar membuatku memiliki cara pandang bahwa guru yang harus hadir terlebih dahulu di masyarakat. Situasi seringnya melihat kondisi sekolah tanpa guru menimbulkan kesadaran padaku bahwa keberadaan sekolah tidak menjamin adanya guru, namun sebaliknya kehadiran guru menjamin adanya proses belajar mengajar. Inti dari sekolah adalah proses belajar mengajarnya. Adanya gedung sekolah di kampung merupakan hal yang baik dan penting, namun keberadaan guru di masyarakat bisa menghadirkan lebih dari sekedar gedung sekolah. Semangat gotong-royong sebagai salah satu ciri masyarakat kita bisa digalang oleh guru untuk menghadirkan sekolah. Aku sangat yakin bahwa semangat kebersamaan dan gotong-royong yang ada dalam masyarakat mampu menghadirkan tempat belajar. Usia para mutiara kecil ini tak bisa menunggu dan sangat disayangkan apabila di usia sekolah terlalui tanpa pendidikan.

Para mutiara kecil pun mendapatkan tantangan dari cara pandang sosial yang melihat bahwa pendidikan hanya menjadi urusan guru di sekolah. Tak jarang keluar ucapan, “Tidak apa-apa Pak Guru kalo anaknya dipukul, yang penting tra mati.”  Cara pandang bahwa anak-anak yang diajar harus dikerasi, dipukuli merupakan tantangan para mutiara kecil. “Ini mutiara hitam, Bung !” Kata-kata yang sempat kudengar dari salah satu guru di kampungku. Pengalamanku pernah menemui anak yang menangis ketika aku datang ke kampungnya untuk mengajar. Ia takut pada guru. Ia takut “dapat kumpul” saat salah ketika belajar. Situasi seperti ini membuat guru menjadi ditakuti bukan dihormati. Kasihan sekali. Saat itu kucoba untuk mencari informasi dari mereka mengapa ada anak yang takut bertemu dengan guru. Ternyata pengalaman sering dipukuli ketika salah menjawab atau melakukan kesalahan pernah mereka dapatkan ketika masih bersekolah di kampung sebelumnya. Rata-rata anak di kampung itu pindah mengikuti orang tua mereka. Namun anak-anak di kampung yang baru itu belum memiliki sekolah.

“Ini mutiara hitam, Bung !” Kata-kata itu selalu terngiang-giang di telingaku ketika melihat keadaan yang belum semestinya. Namun semua alasan tersebut tidak akan meredupkan harapan setiap pengajar dan guru yang tulus mengabdi di Bumi Cenderawasih tercinta ini. Harapan bahwa mutiara ini akan bersinar menjadi penyemangat memulai pagi untuk mengajar dan mimpi indah di saat menutup hari. Kebiasaan melakukan kekerasan fisik adalah hal yang salah, ketiadaan guru adalah sementara dan sebagian saja, serta belum lengkapnya sarana dan pra-sarana sekolah hanyalah hal yang biasa, tidak berpengaruh pada nilai besar pendidikan yakni nilai kehidupan itu sendiri. Aku percaya, gerakan bersama, gerakan masyarakat untuk memajukan pendidikan terus berkembang. Masih banyak orang yang peduli akan pendidikan para mutiara-mutiara kecil. Mereka tidak sendiri, kita ada untukmu para mutiara hitam. Pasti mutiara-mutiara kecil ini akan menjadi mutiara hitam yang bersinar. Aku percaya !


Cerita Lainnya

Lihat Semua