info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sebuah Drama Anak Perbatasan

Parafitra Fidiasari 23 April 2014

"Sebutkan satu provinsi yang telah lepas dari wilayah RI dan menjadi negara sendiri?" tanyaku kepada siswa kelas 5 dan 6 yang sedang cerdas cermat pelajaran IPS siang itu.

"10..9..8..7..6..5..4..3..2..1..angkat semua kertas jawabannya,"kami menghitung bersama dan saat waktu habis kelima juru bicara tiap kelompok mengangkat kertas jawabannya.

Urut dari kelompok 1 yaitu kelompok Kalimantan hingga kelompok Papua membacakan jawabannya. Ya jawaban polos mereka yang membuatku terpukul atau mungkin tersungkur ke tanah.

"Belanda." "Belanda-Jepang" "India" "Sulawesi" dan yang paling membuatku shock adalahan jawaban "Kalimantan Barat" emosiku rasanya ingin meluap, air mataku hampir saja menetes melihat jawaban tersebut. Bukan, bukan karena mereka tidak bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Bukan juga karena mereka tidak bisa membedakan provinsi, negara, dan nama pulau, tapi karena perih hati ini melihat anak - anak sepolos mereka menganggap provinsinya sendiri sudah lepas dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Sebelum aku menghakimi mereka karena terbawa emosi, aku mencoba bertanya baik - baik pada mereka.

"Kalian tinggal di provinsi mana?"

"Kalimantan Barat, Bu," hampir semua siswa dapat menajwab pertanyaan tersebut.

"Apakah Kalimantan Barat sudah menjadi negara sendiri?"

"Sudah Buuuuuu," serentak mereka menjawab dengan diiringi pelototan mataku karena tak percaya dengan jawaban mereka. Mungkin karena mereka terbiasa dengan ekspresiku jika jawaban mereka salah, maka beberapa dari mereka langsung menarik jawabannya.

"Eh, tidak bu tidak,"

"Terus, apakah Kalimantan Barat masih di negara Indonesia?"

"Tidak, Bu." Astaugfirullah, harus berbuat apa aku ini? Cukup panjang aku menghela nafas mendengar jawaban mereka. Entah karena mereka tidak konsentrasi sehingga asal menjawab atau memang seperti itulah pengetahuan mereka. Padahal setiap hari Senin mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mengibarkan Sang Merah Putih, tiap hari pula mereka menggunakan seragam merah putih, setiap hari pula di sekolah aku membiasakan mereka menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi mengapa?

Mulai kemarin aku mengajar kelas I-IX hanya dengan satu guru honor yang memegang mata pelajaran SBK dan Penjaskes. Hari ini aku mengajar kelas 3 sampai 6 di jam pertama dan kedua secara bersamaan. Kelas 3 mengerjakan tugas Pkn dengan tenang, kelas 4 mencari berbagai macam daun untuk kemudian dilabeli dengan penggolongan jenis tulang daunnya, sedangkan kelas 5 dan 6 aku jadikan satu untuk cerdas cermat Bahasa Inggris kemudian jam  kedua dilanjutkan IPS. Saat Bahasa Inggris berjalan dengan lancar dan sangat menyenangkan, sedangkan saat IPS ya begitulah yang terjadi. Antara kesal dengan guru mata pelajaran IPS yang mengajar dan miris dengan pengetahuan mereka tentang daerah tempat tinggalnya sendiri.

Tapi aku cukup tenang ketika aku kembali melontarkan pertanyaan lanjutan tentang kebaradaan Kalimantan Barat. "Apakah kalian orang Indonesia?"

"Iyaa, Bu."

"Jadi apakah Kalimantan Barat masih menjadi bagian dari Indonesia?"

"Masih Bu, kami memang ada di Indonesia"

Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Kapuas Hulu ini memang kabupaten paling dekat dengan perbatasan Malaysia. Barang - barang yang digunakan di sini banyak barang Malaysia, bahkan saat berbelanja di perbatasan orang - orang di sini menggunakan Ringgit dan bukan Rupiah. Namun, anak - anak perbatasan ini sebenarnya sadar mereka anak Indonesia hanya saja karena lebih banyak sentuhan aroma perbatasan jadi terkadang mereka lupa akan tanah airnya.

Anak - anakku, walaupun Ibu beberapa kali melihat kalian memakai baju dengan bendera Malaysia, melihat ibu - ibu kalian lebih memilih gula subsisdi pemerintah Malaysia dari buatan Indonesia, atau ayah dan abang kalian lebih memilih merantau (lebih tepatnya menyusup) ke Malaysia untuk ngaret, tapi dalam hati kecil Ibu berkata bahwa kalian memiliki semangat ke-Indonesiaan yang tinggi. Semoga di masa kalian menjadi garda terdepan kampung halaman, atribut ke-Indonesiaan sudah lebih merajai di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua