My First Sight

Parafitra Fidiasari 22 April 2014

Rambut yang hitam, kulit gelap namun bersih, bulu mata yang lebat dan sangat lentik...

Muka yang bulat, pipi yang menggemaskan dengan lesung pipitnya...

Senyumnya mampu meredam kekhawatiranku akan tugas - tugasku di sini...

Caranya berjalan, berlari, berbicara...

Hanya melihatnya untuk pertama kalinya saja aku sudah jatuh hati pada laki - laki ini. Beberapa foto candid nya masih aku simpan di laptop dan jika aku memandangnya terkadang aku bisa senyum - senyum sendiri. Aku masih ingat saat pertama kali aku bertemu dengannya di sini, sangat rapi penampilannya, akupun langsung bertanya siapa namanya pada orang yang sudah kekenal di sini. Madhan namanya, nama lengkapnya Ramadhan ya hanya Ramadhan saja tidak ada nama belakang. Aku suka jika kami bercanda karena tawanya bisa membuatku terbawa tertawa. Laki - laki itu juga cukup cerdas aku pikir, obrolanku dan obrolannya bisa nyambung tapi ya selalu dibalas dengan ekspresi malu - malunya yang ditutupi dengan tawanya.

Hari itu entah aku lupa hari apa, tiba - tiba saja bibi Limah duduk bersimpuh dengan teriakan - teriakan yang aku belum paham betul artinya dan lelehan air mata di pipinya. Tepat saat aku pulang mengajar SD dan bersiap - siap untuk berangkat sholat Dzuhur ke masjid. Cepat saja seluruh orang di sekitar rumah berlarian ke arah kampung Hulu, senyap seketika. Aku hanya berdiri terpaku dan tak tahu apa yang terjadi. Kurang lebih yang aku tangkap adalah ada seseorang sakit atau mungkin terluka saat ke danau, hanya itu. Aku tanya ke Kak Lili, "Kak, mereka ngomong apa sih kak?"

"Bentar, Bu. Titip Mega (bayi 8 bulan anak Kak Lili) sebentar , sakit jantung aku." jawab kak lili sambil memegang dadanya.

Rasa penasaranku semakin besar saat aku hanya bisa duduk di kursi panjang depan rumah sambil memangku Mega dengan Bibi Limah terus menangis. Kak Kiki dan Umak pun terbangun dari tidurnya, ekpresi muka mereka malah datar, bahkan Umak duduk terdiam bersandar ke pintu samping. Beberapa orang mulai berbicara lagi, sampai akhirnya Kak Lili datang mengambil Mega dan bisa menjawab pertanyaanku.

"Bang Iwan meninggal." terang Kak Lili. Siapa pula Bang Iwan? Aku belum mengahafal nama seluruh warga di sinim, tapi sepertinya Bang Iwan masih sanak dari keluarga Umak.

Ya meninggal, padahal baru tadi dini hari ada seoran ibu hamil keguguran bayinya yang berumur tujuh bulan di kandungan.Belum ada sebulan pula Datuk Aipit meninggal karena sakit dan rumah Rudi bekas kebakaran pun masih berbentuk arang. Benar, belum ada sebulan aku di sini bahkan aku baru mengajar efektif setengah hari tapi musibah berdatangan di desa ini.

Sekalian berangkat ke masjid yang juga terletak di Hulu, aku bersama Ayang anak kelas 6 SD dan beberapa anak SMP. Suasana di depan rumah korban sangat ramai, Abang mantri berjalan cepat membawa tas periksanya ke arah rumah korban. Yang kudengar adalah Bang Iwan meninggal saat menebang pohon di danau selebihnya apa yang membuat orang - orang histeris belum kuketahui alasannya. Satu lagi yang membuatku shock, Bang Iwan yang disebutkan orang - orang adalah ayah dari Madhan. Aku dengar Madhan memeluk apaknya saat baru saja jenazah tiba dan masih belum dimandikan, "Pak, bangun Pak. Jangan tiduk, Pak." Madhan bersujud - sujud berharap Allah mengabulkan doanya agar Apaknya bangun lagi.

Ibu Madhan pun tak kalah histeris, dia sampai mengatakan pada Madhan, "Madhan kita sudah nak punya Apak, siapananak yang cari duit buat kita makan? Madhan harus bisa cari duit buat kita makan." begitulah kurang lebih yang kudengan dari orang - orang sekitar. Seorang ibu yang sedang putus asa bertumpu pada anak laki - lakinya yang baru kelas 3 SD, itulah Ramadhan salah satu siswaku di kelas 3. Siang itu telah terjadi kecelakaan di danau, saat kelompok kerjan Bang Iwan sedang menebang pohon di hutan dekat danau tanpa sengaja pohon yang ditebang menjatuhi pohon yang lainnya dan ikut tumbang.  Salah satu pohon yang tumbang menjatuhi Bang Iwan dari belakang dan tubuh beliaupun tertindih batang pohon besar tersebut. Ramadhan dan adiknya, Restu, adalah anak dari Bang Iwan yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah, biaya hidup sampai mereka dewasa. Namun mereka mulai hari ini harus lebih keras pada diri mereka sendiri untuk bisa hidup hingga mereka mandiri.

Senyum Madhan yang biasanya merekah dengan kekehannya, siang itu tertutup dengan lelehan air mata yang tak kunjung henti. Namun yang membuatku kagum, saat jamaah sholat Ashar di masjid, Madhan sudah duduk di barisan paling depan dengan pakaian koko setelan warna coklat kusammnya, dengan kopiah, dan sangat khusyuk berdoa. Bibir mungilnya tak henti - hentinya membaca doa walaupun matanya masih belum bisa berhenti melelehkan air mata. Siapa tak terenyuh melihat pemandangan seperti itu? Hampir tak kuasa mataku ini membendung tangis haru, hanya doa yang masih bisa kupanjatkan untuk membantu Bang Iwan. Semoga Madhan, calon tulan punggung keluarga kecilnya, mampu melewati hidup tanpa ayah. Semoga Madhan segera kembali ceria, bermain bola kembali agar esok bisa menjadi pemain bola handal seperti yang dia katakan padaku saat duduk di pinggir gertak sekolah. Tetaplah berpakaian rapi, tetaplah tersenyum renyah, tetaplah berprestasi di sekolah, Madhan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua