info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Neneng Jadi Pengibar Bendera

Oktavina Qurrota Ayun 27 November 2011

Di suatu Selasa siang yang terik, aku masuk ke kelas 5 karena sesuai jadwal aku harus mengajar matematika di kelas tersebut. Terkejut kulihat seorang muridku merah matanya. Wajahnya bersimbah air mata. Kutanya, "Mengapa Neneng menangis?"

Ya, Neneng panggilannya. Kata guru-guru ia memang lambat dalam belajar. Beberapa murid pun entah mengapa terkadang tampak enggan berteman dengannya. Namun di rapat kelas sehari sebelumnya Neneng bersemangat mengajukan diri untuk menjadi petugas upacara. Jadi pengibar bendera, lebih tepatnya.

Memang ini sudah memasuki minggu keduaku mengajar di SDN 019 Long Kali, Desa Maruat, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Hari Senin kemarin adalah kali pertama sekolah kami kembali menghidupkan upacara bendera setelah sekian lama vakum. Yang menjadi petugas upacara di hari Senin kemarin adalah siswa-siswi kelas 6, dan minggu berikutnya giliran murid kelas 5 yang menjadi petugas. Untuk membiasakan budaya musyawarah di sekolah, kubiasakan murid-murid sendiri yang menentukan siapa yang menjadi petugas upacara dalam musyawarah kelas. Ketika Neneng mengajukan diri, semua setuju. Kulihat matanya berbinar-binar penuh semangat. Namun mengapa hari ini ia tampak sedih?

"Kata teman-teman saya bodoh, Bu. Tidak bisa diajari. Tidak bisa jadi petugas," ujar Neneng, masih dengan berlinangan air mata.

Tentu aku semakin terkejut. Bukannya tidak biasa menemukan anak-anak mengata-ngatai temannya sendiri, namun kali ini kulihat sendiri di depan mataku seorang anak betul-betul 'patah hati' akibat dari perkataan temannya sendiri.

"Betulkah ada yang menyebut Neneng tidak bisa diajari?" tanyaku. Semua diam. Salah satu murid akhirnya menyahut, "Yang bilang anak kelas 6, Bu!"

Aku terdiam. Tak ada gunanya juga mencari-cari siapa yang mengatakan apa. Bisa makin panjang urusan.

"Teman-teman, ketika seseorang mengajukan diri untuk jadi petugas, tandanya apa?" tanyaku. Murid-muridku saling pandang, mungkin bingung mau menjawab apa. "Itu tandanya dia mau belajar. Betul tidak?" tukasku lagi.

"Betul, Bu!" sahut mereka.

"Nah, kalau teman kita mau belajar, apa boleh kita menghalangi?" ujarku.

"Tidak, Bu!"

"Kalau begitu kita berikan kesempatan kepada Neneng untuk belajar ya? Semua setuju ya?"

"Setuju, Bu!"

Ketika kukira kami bisa lanjut untuk mulai belajar, tiba-tiba Neneng menyambung, "Sudah, Bu. Saya mundur saja, ndak jadi petugas." Rupanya masih dongkol ia. "Sudah, sudah. Lupakan. Ibu yakin kamu bisa, jadi kamu juga harus yakin ya?" Sedih rasanya melihat perkataan teman menjatuhkan kepercayaan dirinya seperti itu. Namun akhirnya kuyakinkan Neneng untuk tetap menjadi petugas pengibar bendera Senin depan.

Petugas upacara berlatih setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu menjelang upacara. Maka Kamis pagi sebelum kelas masuk kupanggil Neneng beserta dua kawan pengibarnya, Jais dan Lutfi, untuk berlatih. Awalnya memang sulit melatih anak-anak yang tidak terbiasa dengan baris berbaris ini untuk bisa berbaris dalam gerakan yang teratur dan seragam. Kulihat Neneng bahkan beberapa kali nyaris putus asa karena ia merasa kesulitan menghapal aba-aba dan gerakan-gerakan yang harus dilakukan. "Bu, saya mundur saja Bu, saya tidak bisa," tukasnya. Namun aku bersikeras, "Ibu yakin kalian bertiga bisa. Ayo kita latihan satu kali lagi!"

Kalau boleh jujur, aku memang merasa sedikit khawatir dengan petugas upacara kali ini. Minggu lalu ketika melatih kelas 6, rasanya tidak sesulit ini. Tapi kuingat pesan Pak Munif Chatib di pelatihan intensif Pengajar Muda, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Sebagai pengajar, kita harus sabar dalam membuka 'peti harta karun' yang dimiliki setiap anak. Namun rupanya kesabaran murid ada batasnya juga. Sudah bosan mereka kuminta berkali-kali mengulangi gerakan jalan di tempat dan langkah tegak maju jalan. Akhirnya kuizinkan mereka untuk menghentikan latihan di hari Jumat, untuk dilanjutkan di hari berikutnya.

Di hari Sabtu, aku harus pulang lebih awal karena harus menuju Tanah Grogot untuk rapat koordinasi dengan tim Paser. Oleh karena itu kutugaskan petugas upacara minggu lalu, yaitu siswa-siswi kelas 6 untuk melatih adik-adiknya. Ini sengaja kulakukan, supaya timbul kesadaran dari diri siswa sendiri untuk saling membantu dalam latihan upacara. Supaya ke depannya mereka tidak harus bergantung pada guru maupun PM yang bertugas di sekolah tersebut untuk menjalankan upacara. Sepanjang perjalanan menuju Tanah Grogot dan kembali pulang, tak henti-hentinya aku berdoa, semoga Neneng dan kawan-kawan dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Akhirnya hari Senin yang ditunggu-tunggu datang juga. Kupasangkan selempang bertuliskan 'Petugas Upacara' pada murid-murid yang bertugas. Kuajak semua petugas untuk menyatukan tangan dan berdoa bersama sebelum menjalankan tugasnya.

Tibalah giliran Neneng, Lutfi, dan Jais mengibarkan bendera. Diam-diam kusilangkan jari-jari tangan di belakang punggung, berdoa semoga tidak terjadi kesalahan. Namun ternyata dugaanku salah. Dengan lancar Neneng sebagai pembawa bendera memimpin aba-aba baris berbaris yang awalnya sulit ia hapalkan itu. Pun ketiga muridku itu dengan gagah mampu membawa Sang Merah Putih berdiri tegak di puncak tiang. Ketika mereka kembali ke barisan, aku bertepuk kecil di belakang. Kuacungkan dua jempol. Neneng tersenyum senang.

Ketika tiba giliran kelas 4 berlatih upacara di Jumat berikutnya, kulihat Neneng dengan bersemangat membantu adik kelasnya berlatih. Rasa malu dan tidak percaya diri  tak kulihat lagi di wajahnya. Aku bangga, Neneng berhasil jadi Pengibar Bendera. :)

 

Oktavina Q. Ayun


Cerita Lainnya

Lihat Semua