Kisah Munir, si Jagoan Kelas

Oktavina Qurrota Ayun 11 Desember 2011

“Bu, Bu, Munir bilang dia tidak suka Ibu soalnya Ibu banyak aturan,” lapor beberapa murid kelas 4 sore itu, ketika kami tengah berjalan pulang bersama dari les tambahan di sekolah. Jantungku serasa berhenti mendadak. Dunia sejenak berhenti berputar. Tidak juga sih, tetapi mendengar laporan bahwa ada murid yang tidak menyukai kita tentu membuat hati guru mana pun sedih. Apalagi ini baru minggu keempatku mengajar di SDN 019 Long Kali, Desa Maruat. Saat itu juga aku mencoba mengintrospeksi diri. Mungkinkah ada yang salah dengan metode pengelolaan kelas-ku?

Pagi ini memang sempat kutegur Munir beberapa kali karena mengganggu temannya ketika kerja kelompok. Munir memang salah satu ‘jagoan’ di kelas 4. Ia gemar sekali mengganggu temannya. Potongan rambutnya pun gaya, layaknya anggota band ibukota. Dalam kegiatan belajar mengajar pun perlu usaha ekstra untuk mengembalikan fokusnya ke pelajaran, karena kegemarannya mengganggu teman dan bertindak seperti ‘bos’. Tadi kuminta Munir untuk menemuiku sepulang sekolah karena sudah berkali-kali diperingatkan ketika pelajaran. Nyatanya ia tak datang. Dan sore ini kuterima laporan, bahwa ia tidak menyukaiku.

Namun tak kubiarkan risauku tampak di wajah. Kukatakan saja, mungkin Munir tak suka jika Ibu panggil ke kantor sepulang sekolah; dan ku yakin ia tak bermaksud membenciku.

Munir adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Dengan dua kakak perempuan, Munir menjadi satu-satunya harapan keluarga untuk meneruskan sawah dan kebun mereka. Itu sebabnya Munir lebih sering menghabiskan waktu sepulang sekolah untuk bekerja di sawah daripada bergabung les bersama teman-temannya. Ia pun pernah beberapa kali berkunjung ke rumah keluarga angkatku; bukan untuk belajar atau membaca buku Penyala bersamaku dan teman-teman lainnya, tetapi untuk membantu paman-pamannya --anak Ibu-- bekerja di sawah. Wali kelasnya bercerita kepadaku, “Kalau Munir tak saya jadikan wakil ketua kelas, saya yakin dia tidak ‘turun’ (pergi ke sekolah, red). Ia lebih memilih menjalankan traktor daripada sekolah.”

Sesampai di rumah, kupikirkan cara yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan Munir, dan anak-anak lainnya, padaku. Kuambil beberapa lembar kertas sejumlah murid kelas 4, dan kutulis surat untuk mereka, satu per satu. Rencananya hari Senin nanti, akan kuminta murid-murid kelas 4 untuk menuliskan penilaiannya terhadapku sebagai Pengajar Muda, sebagai guru. Sebagai ‘balasannya’, kuberikan surat-surat ini untuk mereka yang berisi testimoni bagi setiap orang. Tak lupa kugunakan juga kesempatan ini untuk memotivasi mereka untuk tetap semangat belajar.

Ekspresi setiap anak berbeda-beda ketika menerima surat dariku. Tak kusangka, suratku berhasil membuat dua orang muridku menangis karena terharu. Salah satu muridku, Uni namanya, memelukku sambil menangis, “Terima kasih, ya Bu.. Suratnya akan saya simpan.” Tangis harunya nyaris membuatku menitikkan air mata juga. Anak-anak pun jadi penasaran dan saling bertukar surat untuk membaca surat yang kutulis untuk anak-anak lainnya.

Bagaimana dengan Munir?

Kulihat salah seorang temannya meminta Munir untuk bertukar surat dan saling membaca milik yang lainnya. “Huu, rahasia!” tukasnya seraya mendekatkan surat dariku ke dadanya. Protektif.

Munir boleh jadi menyembunyikan surat itu dari mata penasaran teman-temannya, namun beginilah kira-kira isi suratku untuknya:

 

Munir,

Ibu lihat kamu adalah anak yang baik dan rajin membantu orang tua. Ibu bersyukur bisa mengenal kamu di kelas Ibu. Ibu yakin kamu akan tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab. Teruslah bersemangat belajar! Ibu yakin kamu bisa mencapai cita-citamu.

Salam,

Ibu Vivin.

 

Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, kuperhatikan ada beberapa perubahan dari sikap Munir di kelas. Keaktifannya meningkat, ia berkali-kali mengajukan diri untuk maju dan mengerjakan soal di depan kelas. Ia pun mulai hadir di les tambahan untuk kelas 4 yang kuadakan setiap Kamis sore. Bahkan pada jadwal les kelas 6 pun ia muncul, dan ia mau mengerjakan soal-soal yang kuberikan tanpa mengeluh. Yang paling kubanggakan, ia bahkan dengan sabar membantu Intong, salah satu murid kelas 3, belajar perkalian. Dan seperti membuktikan penilaianku dalam surat untuknya, ia pun dengan semangat membantu menyiangi rumput liar yang tumbuh di halaman bangunan yang akan kami jadikan perpustakaan desa pada kerja bakti yang kami adakan beberapa waktu lalu.

Setiap murid berhak untuk mendapatkan perhatian dari gurunya, baik di dalam maupun di luar kelas. Menurutku anak-anak 'jagoan' seperti Munir membutuhkan apresiasi lebih, karena mungkin selama ini lingkungan rumah maupun sekolah ia rasakan selalu menuntut, menuntut, dan menuntutnya untuk menjadi ‘anak baik’ yang sesuai definisi yang berlaku. Aku yakin, Munir bukan anak yang nakal. Pun ketika aku menegur dan memanggilnya ke kantor guru, aku tak bermaksud memarahinya. Ternyata ia hanya perlu sedikit perhatian. Apresiasi ia. Hargai kerja kerasnya. Setelah itu ia akan menunjukkan rasa sayangnya padamu, dengan caranya sendiri.

 

Maruat, Desember 2011

Oktavina Q. Ayun


Cerita Lainnya

Lihat Semua