info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bicara Jujuran

Oktavina Qurrota Ayun 5 Mei 2012

Di dalam adat masyarakat Bugis yang merupakan suku bangsa mayoritas di Desa Maruat, pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting. Adalah suatu kebanggaan besar buat orang tua jika putrinya ada yang meminang. Namun demikian, anak perempuan keluarga Bugis biasanya tak memiliki banyak pilihan untuk menikah. Kecuali di keluarga-keluarga yang sudah lebih demokratis, banyak kasus yang saya temui anak gadis menikah bukan dengan orang yang dicintainya, melainkan dijodohkan oleh orang tuanya. Lebih tepatnya, sang calon mempelai pria datang kepada orang tua si gadis dan menyatakan keinginannya untuk menikahi putri mereka. Tak lupa ia membawa jujuran, yaitu sejumlah uang yang ‘ditawarkan’-nya kepada orang tua si gadis, sebagai bekal mas kawin. 

  Di masyarakat yang keadaan ekonominya cukup baik, jujuran ini tak main-main besarnya, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Malah di desa-desa pesisir yang cukup makmur, seperti Muara Telake dan Tanjung Aru, jujuran bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tetapi di desa saya, jujuran biasanya berkisar antara lima hingga tiga puluh juta. Semakin besar nilai jujuran yang ditawarkan, semakin bangga orang tuanya.  

Jujuran biasanya untuk bekal mempersiapkan pesta pernikahan, yang biasanya dirayakan cukup besar-besaran (tergantung juga pada posisi keluarga di masyarakat). Menurut ibu angkat saya, ada juga yang biaya pernikahannya dari hasil patungan mempelai pria dan mempelai wanita, tetapi pada kasus yang demikian biasanya pernikahan didasari suka sama suka (kedua mempelai sudah berpacaran dan keduanya berpenghasilan sendiri). Pun fenomena ‘patungan’ ini bisa dianggap aib, sehingga seharusnya tak boleh terdengar orang lain selain keluarga sendiri. Selanjutnya, jujuran dipakai oleh keluarga mempelai wanita berbelanja kebutuhan pesta, seperti membeli bahan-bahan masakan. Di desa, makanan untuk pesta dimasak sendiri oleh para wanita dari keluarga besar mempelai wanita dengan bantuan tetangga-tetangganya. Proses memasaknya dilakukan minimal sejak tiga hari sebelumnya, dan memakan waktu hingga tengah malam. Acara masak beramai-ramai ini disebut rewangan. Kadang saya ikut membantu, walaupun sepertinya ibu-ibu lain menganggap saya useless (motong bawang lambat, menggoreng kecipratan minyak, dll. :p ).  

Kembali ke jujuran. Dilihat dari kacamata budaya, jujuran adalah suatu pembuktian dari sang calon mempelai pria kepada orang tua wanita bahwa ia yakin bahwa ia bisa menafkahi calon istrinya kelak. Biasanya, semakin tinggi strata sosial suatu keluarga, misalnya Bapak calon mempelai adalah tokoh terpandang di masyarakat; atau semakin tinggi jenjang pendidikan sang anak, maka akan semakin besar pula besar jujurannya.  

Apabila nilai jujuran dirasa pantas, maka pesta pernikahan akan segera dipersiapkan. Hebatnya, persiapan pernikahan yang kalau di kota bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun, di sini bisa saja dilakukan dalam tiga minggu hingga satu bulan. Namun bila nilai jujuran belum disetujui orang tua sang wanita, maka sang calon mempelai pria harus kembali lagi dengan nilai jujuran yang disepakati, atau pernikahan batal (hanya terima cash, tidak terima credit :p). Malah pernah ada sepasang kekasih yang ingin menikah, tetapi karena nilai jujuran tidak disetujui orang tua si perempuan, akhirnya tidak jadi menikah. Si lelaki akhirnya menikah dengan perempuan lain, yang orang tuanya menyetujui nilai jujuran yang ia bawa. (Sedih ya.. :( )  

Menurut pandangan seorang pendatang seperti saya, budaya jujuran lebih sering tidak memberikan keadilan bagi pihak perempuan. Di masyarakat dengan budaya patriarki yang masih kental, wanita memang tidak punya banyak pilihan. Walau si gadis tak setuju dengan pria yang meminangnya, bila orang tua sudah sepakat, maka mau tak mau resepsi akan dilaksanakan. Beberapa keluarga Bugis bisa jadi sudah cukup demokratis dan melihat kesiapan anak dalam hal pernikahan, tetapi kembali lagi, fenomena jujuran ini berkaitan erat dengan faktor ekonomi. Bila ada seorang pria yang mau menyokong hidup si anak perempuan dengan menjadikannya istri, sudah tentu ini akan meringankan beban keluarganya.  

Pernah saya menghadiri suatu resepsi pernikahan di mana sang perempuan masih di bawah umur (bahkan belum lulus SMP!), sementara mempelai pria berusia sekitar empat puluhan. Dengar punya dengar, sang lelaki adalah seorang duda kaya di Banjarmasin, sementara sang wanita berasal dari keluarga kurang mampu. Katanya pula, setelah menikah istrinya akan dijadikan sekretaris oleh suaminya. Mungkin ini merupakan penawaran yang baik bagi orang tua si perempuan, karena selain dipinang dengan jujuran yang pantas, anaknya juga akan memiliki pekerjaan. Namun sebagai tamu di upacara pernikahannya, saya tak begitu melihat rona kebahagiaan memancar dari wajah mempelai wanita.  

Bagaimanapun juga, menikahi seseorang berarti setuju untuk menghabiskan sisa hidup kita bersama orang tersebut. Bagi wanita Bugis khususnya, menikah berarti membaktikan sisa hidup untuk mengabdi pada suami (soal pengabdian pada suami, wanita Bugis memang bisa dibilang paling jempolan.) Sulit rasanya membayangkan harus melakukan pengorbanan sebesar itu  di usia yang sangat muda, ketika kita masih punya banyak harapan dan cita-cita.  

Terkadang jujuran ini bisa juga menjadi jebakan fatamorgana. Tak jarang, sang pria membawa jujuran dalam nilai besar yang ternyata didapat dari hasil hutang sana-sini. Akibatnya, setelah bermegah-megah di upacara pernikahan, ternyata sang istri harus pontang panting membantu suami melunasi hutang. Jujuran, pada kenyataannya, tidak selalu menjadi jaminan kebahagiaan masa perkawinan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua