Mengarungi Manawoku: Membuka Peta Baru SBT
Nurul Wulan Maulidia 14 Februari 2025Aku sering berandai-andai.
Berada di Pulau Gorom selalu mengingatkanku akan Furina, karakter dari Genshin Impact. Dengan kekuatannya, Furina bisa berjalan di atas air seakan ia berjalan di daratan. Perandaian itu membawaku pada keinginan untuk berjalan di atas laut yang membentang antara Pulau Gorom dan Pulau Manawoku. Sayangnya tentu saja itu hanya perandaian semu. Saat laut tengah teduh, ia terlihat seperti kolam pudding raksasa berwarna biru tua gemerlap, menggoda untuk melangkah di atasnya. Saat laut tengah angin berombak, jangankan merasa ingin berjalan di atasnya, tanpa ada rupa bak pudding raksasa malah yang ada hanya rasa takut tertelan gelombang yang mampu menjungkirbalikkan perahu-perahu kecil kapan saja.
Memang butuh usaha lebih untuk mengarungi peta baru bernama Manawoku, salah satu pulau di Kecamatan Pulau Gorom, Seram Bagian Timur. Empat tahun, dan baru tahun ini PM ditempatkan di Kecamatan Pulau Gorom, sehingga mendaratkan pilihan untuk berkegiatan di Pulau Manawoku ibarat membuka sebuah peta baru yang belum dijamah selama tiga tahun PM sebelumnya. Aku tentu sangat menantikan ini.
Saat aku dan Ilham mendapat undangan untuk berkunjung ke Pulau Manawoku, badai sedang senang-senangnya menyapa dalam seminggu terakhir. Menemukan langit cerah dan laut teduh jadi sulit dilakukan, apalagi memutuskan untuk menyeberangi bentangan laut sejauh sepuluh kilometer dengan perahu speed mesin 15 tak. Berkat badai tersebut, kami tertahan di Ondor selama dua hari. Melewati jadwal yang seharusnya kami sudah di Arwouw, Pulau Manawoku, dari hari Sabtu untuk melakukan pelatihan Kurikulum Merdeka di SMPN 48 SBT pada hari Senin.
Kondisi ini memaksa kami memindah jadwalnya karena baru bisa hadir pada Selasa, itu pun sambil menaiki speed bersama dua orang ibu-ibu yang barusan pulang berbelanja dari Kataloka. Kondisi pasca badai di siang hari, dan laut berombak agaknya membuat kami banyak-banyak berdoa saat mulai meninggalkan dermaga Kataloka. Beberapa guru yang mengantar kami pun mengucap bahwa doa mereka senantiasa menemani iringan jalan kami.
Di awal jalan, salah seorang ibu menawarkan diri untuk mendekap tanganku, kurasa ia juga bisa melihat bagaimana rasa takut tercetak jelas di raut wajahku. Di seperempat jalan pula, kedua ibu itu masih mengajak mengobrol sambil tertawa sesekali, berbanding terbalik denganku dan Ilham yang berdoa kencang-kencang dalam hati.
Memasuki paruh pertama, ombak mulai naik turun melemparkan speed bak tanpa penumpang. Aku mulai membiasakan diri dengan terjangan ombak dan cipratan air ke sana ke mari. Terus begitu hingga kami berjarak sekitar dua kilometer dari bibir pantai Manawoku. Dari yang mulanya tanganku didekap, sekarang giliran aku yang mendekap tangan si ibu. Dari yang tadinya tawa terdengar dari mulut mereka, kini aku dengar “Laa ilaha illallah” terucap dari ibu yang lain hingga ombak mulai terasa agak berbaik hati.
Turun dalam kondisi basah kepala hingga ujung kaki, Bu Ifa sudah menunggu di dermaga Amarsekaru dengan beberapa ibu. Melepas cipika-cipiki, kami bergegas ke kediaman Bu Ifa di Arwouw dengan dua motor sambil menenteng bawaan yang untungnya kering, serta sepatu yang sama basahnya dengan pakaian yang melekat ini. Butuh nyaris 75 menit dari dermaga Kataloka hingga ke Amarsekaru, dan ini terhitung lebih lama dari biasanya yang hanya 45 menit.
Jadwal sudah ditentukan ulang. Pelatihan akan dilakukan pada Rabu, 5 Februari.
Alih-alih beristirahat pasca membasuh diri, aku dan Ilham lebih tertarik untuk berjalan menyusuri Arwouw ke Danau Sole. Kami bertelanjang kaki akibat kebodohan kami untuk meninggalkan sandal di Ondor. Tak apa. Bertelanjang kaki bukan masalah, apalagi kalau tempat yang dituju adalah Danau Sole. Betul saja, hanya tiga puluh menit berjalan kaki, kami sudah sampai di Sole Kecil, danau indah dengan air sejernih kaca berwarna toska muda. Teduh, tenang, dan terlalu menyatu dengan alam. Mengingat hari beranjak sore, kami segera pulang ke Arwouw, berjalan kaki lagi. Untungnya, sampai di rumah Bu Ifa, kami dipinjamkan motor untuk kami gunakan menelusuri Manawoku sampai ke Desa Wawasa yang ramai padat di bagian belakang Manawoku. Dulunya tak ada akses jalan ke Wawasa, tapi sekarang sudah ada jalan dan jembatan penghubung sehingga akses pun tak lagi terputus.
Esoknya, kami bergegas naik motor dari Arwouw ke Derak, tempat SMPN 48 SBT berada. Kalau kau pikir jaraknya hanya beberapa tikungan, salah besar. Kami melewati Arwouw, Loklomin, Amarsekaru, Kilurat, Siksik, baru sampai ke Derak. Jalannya awalnya rata, lalu naik turun, mengarah ke bibir pantai. Bisa aku bayangkan setiap hari Bu Ifa naik motor sampai setengah jam dari Arwouw ke Derak, tambah daftar perjuangan lain bagi para guru di Timur.
Kedatangan kami sudah ditunggu oleh para guru dan murid di sana. Segera, kami memperkenalkan diri dan menyampaikan salam dari para Pengajar Muda SBT yang lain karena belum bisa menyempatkan diri untuk hadir saat itu. Para murid kelihatannya masih malu-malu, mungkin karena melihat ada orang baru dari dunia luar sana yang hadir bersama mereka kala itu.
Ilham dan aku membagi peran. Dengan Ilham, para murid melakukan Kegiatan Bermain dan Belajar, setelahnya denganku, para guru melakukan Pelatihan Kurikulum Merdeka. Aku bisa melihat rasa senang yang terpancar dari sorot mata para murid selama kegiatan, mungkin karena syarat utama mengikuti kegiatan ini adalah mereka harus aktif dan senang, jadi tiba-tiba ketika waktu sudah berlalu dua jam, mereka terlihat enggan bubar dan mengharapkan kedatangan kami di lain kesempatan.
Setelahnya, Pelatihan Kurikulum Merdeka. Ada delapan dari dua belas guru yang hadir. Aku sudah menyiapkan presentasi dan beberapa media untuk apersepsi karena aku juga butuh mengetahui secara pasti seberapa jauh pemahaman para guru tentang materi ini. Sayangnya, Manawoku masih dijatah listrik dua belas jam, jadi siang hari tidak ada listrik yang bisa aku pakai untuk menyambungkan ke proyektor. Tak apa. Pakai laptopku saja dengan audiens kecil sudah cukup. Modelnya aku ubah ke diskusi bersama.
Terang saja, semua berjalan lancar dan para guru bisa mengikuti setiap instruksiku. Mereka bahkan bersedia aku tantang untuk membuat CP/ATP di tempat setelah selesai kami membahas CP/ATP. Terlihat jelas bagaimana mereka menikmati pelatihan tersebut tidak hanya sebagai saran belajar tapi juga sebagai sarana berbagi satu sama lain. Berada di tengah mereka, lagi-lagi aku mengucap syukur dalam hati karena sudah berada di SBT, membagikan semua pengetahuanku pada jiwa-jiwa yang haus ilmu.
Selepasnya, kami berfoto dan bergegas menuju Dusun Loko untuk menghadiri pernikahan salah satu guru dari Sunda yang secara ajaib kami temui kemarin. Belum 24 jam dan sudah diundang ke nikahannya. Semua Bisa Terjadi banget.
Setelah menghadiri undangan tersebut, aku dan Ilham memutuskan untuk mengakhiri hari di jembatan penghubung jalan ke Wawasa. Menikmati senja sambil melihat Pulau Panjang di seberang sana.
Berakhir sudah perjalanan singkat membuka peta Pulau Manawoku. Mungkin, suatu ketika, saat kau memiliki waktu dan kesempatan untuk mengunjungi SBT, semoga Manawoku bisa kau sambangi juga. Laut, perjalanan, desa, pemandangan, sejarah, warga, segalanya akan membuatmu berpikir, andai laut yang membentang bisa kau langkahi di atasnya maka Manawoku bisa kau jadikan tempat menutup hari. Andai kekuatan Furina bisa kau rasakan barang sekali, jangan lupa untuk melangkah di atas lautan pudding antara Gorom dan Manawoku. Saat laut teduh, tentunya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda