info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia

Nurul Hidayah 18 Maret 2012

“Ibu, kita so tara poha angka meja. Ibu, ini hari torang balajar bareken. Ibu, kita kosong tajam-tajam. Ibu, kita so tara dapa riki ambil kita pe cepatu. Ibu, ayam jaga makan kita pe kui. Ibu kasih kucing pa kita, biar tong yang dukung sudah”.

 

Apakah mengenali bahasa tersebut? Cukup familiar bukan? Pasti ada beberapa kata yang cukup biasa kita gunakan sehari-hari. Seperti kata “kita”, “kosong”, “jaga”, “sudah”, dan kosa kata Bahasa Indonesia lain yang memang biasa kita pergunakan dalam dialog sehari-hari. Tapi pasti juga merasa agak janggal dengan susunan kalimatnya yang secara SPOK Bahasa Indonesia sedikit rancu.

 

Kalau kau tanya bahasa apa yang saya kutip di atas, itu Bahasa Indonesia kawan. Ya, setidaknya jika kau tanya masyarakat disini (Maluku Utara) pasti mereka akan menjawab bahwa itu adalah Bahasa Indonesia.

 

Sebelum saya datang dan bertugas di Halmahera Selatan, saya sempat bertanya pada Pengajar Muda (PM) angkatan pertama yang sudah lebih dahulu bertugas disini. Salah satu hal yang saya tanyakan adalah bahasa apa yang digunakan oleh masyarakat setempat di sini. Agar setidaknya saya dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu. Rahman Adi, PM yang saya tanya saat itu mengatakan bahwa mayoritas desa saya adalah masyarakat suku Buton. Namun saat ini mereka sudah tidak lagi menggunakan bahasa Buton untuk bahasa sehari-hari. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Maluku.

 

Bahasa Indonesia dialek Maluku. Rupanya saat itu saya salah memahami istilah tersebut. Saya berpikir bahwa itu berarti Bahasa Indonesia (seperti layaknya Bahasa Indonesia yang saya gunakan), hanya saja dengan dialek atau logat Maluku. Ternyata saya salah besar. Dan itulah menjadi tantangan pertama bagi saya untuk menjadi guru bagi anak-anak disini. Bagi anak-anak yang tak mengerti bahasa saya, dan anak-anak yang juga saya tak mengerti bahasanya.

 

Suatu pagi di hari Jum’at pertama Saya datang di sekolah, Saya ajak semua murid senam di halaman sekolah. Sebelum senam, saya bariskan mereka untuk posisi senam.

 

Ketika saya beri aba-aba: “merentangkan tangan”. Mereka cuma diam dan menatap saya.

 

Tidak putus asa, saya ulangi instruksi dengan bahasa yang lebih sederhana. “ayo, kita angkat tangan seperti sayap burung”, dengan tidak lupa juga sambil saya peragakan. Yap! Berhasil. Mereka mengikuti saya.

 

Namun mereka merentangkan tangan dan tetap diam dengan barisan yang rapat. Lalu saya katakan, “jika merentangkan tangan dan masih saling menabrak, geser ke kiri biar tidak menabrak sebelahnya”.

 

Dan mereka semua hanya menatap saya dengan wajah bingung. Tidak bergeser sedikitpun. Saya ulangi instruksi lebih pelan, mungkin tadi saya berbicara terlalu cepat. Dan lagi-lagi mereka hanya diam.

 

Saya sudah mulai frustasi ketika Kepala Sekolah datang, dan langsung memberi instruksi,

“Coba...kalo ngana angka tangan itu jangan sampe baku kenal deng ngana pe temang. Ngana yang paling muka badiam, yang lain sorong ka dara sampe tara baku kenal deng ngoni pe temang pe tangan”.

(yang kini sudah saya mengerti artinya) “Coba...kalau kamu rentangkan tangan jangan sampai bersentuhan dengan teman kamu. Kamu yang paling ujung depan diam, yang lain geser ke darat (sebelah yang menjauhi laut) sampai tidak bersentuhan dengan tangan temanmu”

 

Dan mereka lalu bergeser sampai dalam barisan itu mereka tidak lagi saling menabrak tangan temannya. Sementara barisan senam sudah mulai rapi dan siap, kepala saya mulai berputar-putar. Berpikir tentang Bahasa Indonesia dialek Maluku yang dikatakan oleh PM Rahman Adi.

 

Jangan tanyakan pada anak-anak disini apa arti Bahasa Indonesianya “reken”, “riki”, “poha”. Karena itu semua adalah Bahasa Indonesia. Ya, Bahasa Indonesia dialek Maluku. Sebuah hal yang cukup aneh bukan? Bahwa apa yang di sini disebut Bahasa Indonesia ternyata adalah bahasa yang sama sekali berbeda dengan Bahasa Indonesia yang saya tahu.

 

Mengetahui semua yang ada disini, ikut menjadi bagian semua yang ada di tanah Maluku ini, semakin menambah rasa takjub saya, bahwa saya berkesempatan merasai ragam kekayaan nusantara ini dengan seutuh-utuhnya.

 

Namun di saat yang sama, ada kekhawatiran yang tumbuh di benak saya. Bahasa Indonesia yang kami gunakan, yang anak-anak gunakan di sini dapat menjadi satu penghambat ketika anak-anak harus belajar buku-buku atau mengerjakan soal-soal ujian dari pusat yang notabene semua menggunakan Bahasa Indonesia baku.

 

Pernah pada sebuah pertemuan mata pelajaran Bahasa Inggris di kelas 5, saya sedang mengujikan arti beberapa vocabulary yang sudah saya kenalkan sebelumnya. Metode ujiannya tidak saya buat tertulis, akan tetapi saya berikan dengan cara perintah langsung. Misalkan jika saya sebut “stone”, maka anak-anak harus pergi mengambil batu di luar. Setelah semua selesai saya sebutkan, saya tinggal cek satu persatu apakah mereka mengambil barang yang tepat.

 

Ada satu nomor saya sebutkan “grass”. Anak-anak yang mendapat soal langsung dengan semangat berlarian ke luar kelas untuk mengambil barang sebagai jawaban dari soal yang saya berikan. Ketika mereka kembali ke dalam kelas, betapa terkejutnya saya. Kalian tahu apa yang mereka ambil? Sampah. Ya, mereka mengambil bungks-bungkus makanan dari tempat sampah yang ada di depan kelas.

 

Saya berdiam sejenak, saya mengerti bahwa mereka bukan salah ambil jawaban. Mereka bukan tidak tahu arti kata “grass”. Sepenuhnya mereka tahu bahwa “grass” berarti rumput. Yang membuat salah adalah perbedaan arti rumput bagi mereka dan bagi kita pada umumnya. Kata “rumput”, bagi orang di sini dimaknai sebagai semua hal yang berupa sampah. Jadi, mereka menjawab “grass” berarti sampah.

 

Hari itu, saya banyak berdiam di kelas. Saya sedang mengevaluasi pembelajaran hari itu dan hari-hari sebelumnya. Bukan mengevaluasi anak-anak itu, tapi mengevaluasi diri saya sebagai guru. Sebagai kran informasi bagi mereka, sedangkan bahasa yang kami gunakan saling berbeda arti walau sama istilah. Pertanyaan yang berputar-putar di kepala saya adalah, jangan-jangan selama ini banyak istilah yang saya sampaikan, mereka terima berbeda dengan yang saya maksud.

 

Setelah 3 bulan, sedikit demi sedikit saya sudah mulai menguasai Bahasa Indonesia dialek Maluku di sini. Dan sejak peristiwa “rumput” itu, sering saya mengajar di kelas dengan multi bahasa. Saya pergunakan Bahasa Indonesia dialek Maluku agar mereka dapat menangkap pelajaran yang saya berikan. Saya juga pergunakan Bahasa Indonesia baku agar memperkenalkan dan membiasakan mereka menggunakan bahasa persatuan. Yang notabene adalah bahasa yang akan mereka temui di buku-buku pelajaran mereka dan juga di soal-soal ujian mereka nantinya.

 

Bahkan saat jam pelajaran Bahasa Inggris, sekarang saya juga gunakan 3 bahasa untuk belajar. Saat jam Bahasa Inggris, saya biasakan mereka menggunakan salam dalam Bahasa Inggris. Jadi ketika saya masuk kelas, semua murid akan berdiri dari kursinya dan serempak memberi salam, “good morning, Miss”. Setelah saya membalas “good morning”, saya akan persilahkan mereka duduk dengan mengatakan,  

“sit down please”

“silahkan duduk”

“duduk ka bawah sudah”

 

Dengan mengenalkan, mengajak, dan membiasakan mereka berbahasa Indonesia (baca: Bahasa Indonesia yang seperti kita pelajari di sekolah) saya berusaha mengenalkan Indonesia yang lebih luas di benak mereka. Bukan hanya Indonesia wilayah Maluku. Namun begitu, juga tidak meninggalkan akar budaya yang telah mendarah daging bagi mereka.

 

Perjalanan untuk membuat mereka berbahasa Indonesiapun bukan satu perkara yang simpel. Tentunya, lebih dahulu saya harus menguasai bahasa mereka untuk dapat menterjemahkan Bahasa Indonesia yang ingin saya perkenalkan pada mereka.

 

Jika saya timbang-timbang, sesungguhnya sayalah yang banyak belajar dari segala proses ini. Sayalah yang lebih banyak belajar dari mereka tentang bagaimana saya harus mengajar mereka.

 

Dan dari segala proses ini, saya juga menemukan arti bahwa menjadi seorang pengajar adalah sebuah proses belajar yang tak pernah kenal kata tepi. Bahwa menjadi seorang pengajar sesungguhnya adalah menjadi seorang pembelajar.

 

Begitu sudah torang pe cerita sampaikan pa ngoni. Baik ngoni itu tape temang atau juga ngoni mangkali tara pernah baku dapa deng torang, tapi kitorang samua tetap basodara. Itu sudah...

 

~~dari bawah langit, yang berpayung mendung~~


Cerita Lainnya

Lihat Semua