Hari Pertama Masuk Sekolah, Antara Melongo dan Optimis

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 17 Maret 2012

Senin, 11 Juli 2011, masih tercatat jelas dalam ingatan, hari pertama saya masuk sekolah. Saya tidak pernah lupa hari itu. Hari bersejarah. Hari mengapa saya dikirim ke pulau ini. Hari untuk mengajar. Hari untuk mengispirasi. Hari pertama masuk sekolah.

Sepanjang perjalanan, banyak sepasang mata yang menatap saya. Sepanjang perjalanan, banyak senyum-sapa yang terpampang di bibir orang-orang. Melihat sosok saya, orang-orang itu tampak keheranan. “Gegena...”, “Oh, ini ibu yang dari Jawa itu?”, “Halo, Ibu?”. Jujur, bagi saya, semuanya tampak asing. Walaupun sudah dua minggu berada di pulau ini untuk beradaptasi, menjalani hari pertama masuk sekolah rasanya tetap saja membutuhkan penyesuaian tersendiri.

Setelah melewati puluhan tatapan orang-orang di sepanjang jalan, setiba di sekolah, yang harus saya hadapi selanjutnya adalah tatapan anak-anak. Anak-anak itu, ada yang malu-malu, tidak peduli, sampai ada juga yang sibuk cari perhatian. Maklum, saya adalah satu-satunya guru perempuan di sini. Dari tujuh guru, saya perempuan sendiri. Kehadiran saya sebagai satu-satunya guru perempuan di sekolah menjadi harapan tersendiri. Dengar saja kata kepala sekolah ketika menyambut kedatangan saya, “Inilah saatnya bagi anak-anak yang mengidam-idamkan guru perempuan. Siapa tahu Bu Hety adalah jawaban bagi anak-anak yang haus belaian guru perempuan.” Antara ekspresi melongo dan rasa optimis untuk menjadi lebih baik langsung berebut merasuki tubuh saya begitu mendengar sambutan ‘unik’ si kepala sekolah.

Itu belum seberapa. Hari pertama masuk sekolah, ada yang tidak kalah uniknya. Membuat saya melongo heran dan optimis untuk menjadi lebih baik. Gara-gara hari pertama masuk sekolah, jangan dibayangkan langsung melihat seragam, tas, dan sepatu serba baru dikenakan anak-anak. Tak ada satu pun. Satu-satunya pemandangan yang menyambut saya setiba di sekolah adalah anak-anak perempuan sedang sibuk menyapu halaman sekolah yang penuh debu dan sampah. Hari itu, saya baru tahu sebuah ‘tradisi’ menyapu sekolah. Menyapu adalah tugas anak-anak di sekolah untuk mengisi kekosongan jam pelajaran. Jika ada guru yang tidak datang mengajar ke sekolah, maka seorang guru hanya tinggal memberikan aba-aba.  Selanjutnya, anak-anak pun langsung berhamburan berebut sapu yang tersimpan di kantor guru. Kata seorang guru, “Daripada tidak ada pelajaran, anak-anak berlarian ke barat- ke timur tidak jelas, lebih baik mereka disuruh menyapu sekolah saja. Lebih berguna kan?”. Saya hanya manggut-manggut melongo dan langsung optimis untuk mengajar di sekolah ini.

Hari pertama masuk sekolah. Saya masih ingat. Anak-anak tidak langsung duduk manis di kelas. Selain menyapu, sebagian dari mereka sedang berkerumun, mengumpulkan massa. Satu dari mereka tampak sibuk menghitung dan mendata. Ada pula yang berteriak memanggil temannya untuk bergabung di gerombolan. Kemudian, ada yang cermat mencatat nama anak-anak dalam gerombolan. Setelah saya tanya, ternyata anak-anak itu sedang mempersiapkan pertandingan persahabatan SD se-kecamatan.

Pertandingan persahabatan SD se-kecamatan adalah kegiatan rutin yang diadakan UPT Dinas Pendidikan untuk menyambut tahun ajaran baru. Kasti, voli, sepak takraw, dan sepak bola adalah cabang-cabang olahraga yang harus dimainkan. Semua anak-anak itu tampak berani dan siap beraksi. Oh ya, sekolahku lumayan ‘jago’ dalam bidang olahraga. Jadi, tidak salah jika kepala sekolah dan guru-guru sangat mendukung anak-anaknya berlatih di sekolah sebelum hari-H pertandingan.

“Ibuuu, ayo ke lapangan!” ajak seorang anak, “Kita akan latihan kasti di lapangan. Kalau di sekolah untuk voli dan sepak takraw.” “Oh, jadi belum akan ada pelajaran ya?” tanya saya tanpa menjawab ajakan anak itu. Tetapi sepertinya anak itu sudah tahu, tanpa diajak pun saya pasti mau diajak ke lapangan. “Hmm, sepertinya seminggu hanya akan diisi latihan olahraga, Bu,” jawab anak itu polos. Dalam hati saya pun berkata, pertandingan persahabatan antar-SD se-kecamatan ini sepertinya adalah ajang SEA GAMES bagi sekolah saya. Mahapenting. Sekali lagi, antara melongo takjub dan ekspresi optimis langsung menyerbu tubuh saya untuk mengajar di sekolah ini. Good Luck, kids!


Cerita Lainnya

Lihat Semua