Saat Kemarau di Neglasari

Nur Wahidah 12 Oktober 2011

Neglasari, 12 Oktober 2011

Masih jelas terngiang di telingaku saat pelatihan Pengajar Muda II di Hubla, banyak kawan-kawan yang merasa penempatan di Lebak adalah suatu hal yang mudah. Kebanyakan menganggap karena Lebak dekat dengan Jakarta maka akan sangat mudah hidup di sana. Tapi tahukah kawan, hidup disini tidak mudah!!

Aku yang terbiasa hidup di Makassar dengan air berlimpah dan cuaca yang hangat harus merasakan bagaimana hidup tanpa air, cuaca yang tidak mendukung, dan kondisi geografis yang menyebabkan hampir sebulan kemarin (Bulan September) kampungku terisolasi.

Wilayah Lebak sangat bervariasi, ada tempat yang memiliki suhu yang sangat rendah seperti di tempat temanku Medha dan Eko. Ada tempat yang memiliki suhu yang tidak terlalu tinggi seperti di tempat Main, Tuti dan Aji. Ada juga yang memiliki suhu yang sangat tinggi yaitu di kampung Neglasari Desa Mekarwangi, Kec. Muncang daerah penempatanku.

Saat musim kemarau adalah saat dimana air tidak ada sama sekali di kampungku, sebulan kemarin aku sudah terbiasa tidak mandi 2-3 hari, aku terbiasa mencuci 2 minggu sekali untuk menghemat air dan tenaga. Untuk mendapatkan air, aku harus pergi berjalan 3 km ke Soropok (ladang dekat lokasi penggalian cadas), di situpun air sangat-sangat sedikit, sedangkan aku harus berbagi dengan 120 keluarga yang hidup di Neglasari.

Bagaimana dengan makanan?

Hmm, itu juga menjadi kendala di Neglasari. Masyarakat di sini tidak terbiasa menanam sayuran, yang mereka tanam hanyalah padi. Khusus untuk kampungku, hal ini terjadi karena kampung ini berdiri di atas gunung cadas yang membuat tanah di sini sangat basa (pH > 8) sehingga akan sangat sulit untuk menanam sayur. Itu adalah salah satu alasan. Alasan lainnya masyarakat disini tidak begitu mahir dalam bertani, yang mereka tahu hanya bagaimana menanam padi secara tadah hujan. Boleh dikatakan masyarakat disini malas untuk belajar atau malas untuk memulai sesuatu yang baru. Sehingga saat musim kering, yang dapat dimakan hanya nasi dan MIE INSTAN.

Tahukah kawan, aku adalah orang yang sangat paham kimia, aku tahu apa akibat buruk dari mengonsumsi mie instan secara kontinyu 3 kali sehari dalam jangka panjang (± 40 hari), tapi hal itu tetap harus kulakukan. Bukan karena aku tidak bisa membeli makanan yang lain tapi karena semua orang di kampung ini makan nasi dan mie instan. Sangat tidak adil apabila aku meminta makanan yang lain. Seperti pesan ibuku, makanlah apa yang mereka makan.

Apabila ada lagi yang bertanya kenapa tidak turun ke kecamatan saja untuk membeli sayuran? Hal itu juga sangat sulit untuk dilakukan karena kondisi jalan yang sangat berdebu dengan batu besar dan tanjakan curam, sehingga tidak ada yang berani turun ke kecamatan.

Jika kau melihat diriku yang sekarang kawan akan kau temukan kakiku membesar karena harus berjalan jauh, tanganku juga ikut membesar karena harus mengangkat air tiap hari. Aku bukan aku yang dulu, ada yang berubah dari diriku.

Bukan masalah fisik kawan, tetapi ada sesuatu yang sangat berharga yang aku pelajari disini. Aku tidak pernah melihat penduduk yang mengeluh saat tidak ada air, semua terjadi seakan-akan sudah biasa. Aku juga tidak pernah melihat nenek mengeluh karena harus berjalan jauh dan mengangkat air bersamaku, aku juga tidak pernah melihat murid-muridku mengeluh saat tidak mandi ke sekolah. Perlahan aku juga bisa melihat dan merasakan aku sudah tidak lagi mengeluh seperti dulu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua