Bahkan Kau tak Pernah Tahu Apa yang Akan Terjadi Nanti :)

Furiyani Nur Amalia 7 Oktober 2011

Sahabal Khoirrr, Indonesiaaa... bagaimana kabar kalian di seluruh penjuru tanah air? I hope there a lot of miracle and litte stars around you.  Hari ini saya akan muncul dan bercerita juga share tentang (lagi-lagi) kegiatan saya disini. 

 

Sebelum saya mulai bercerita, saya akan mengajukan pertanyaan.. Sudah berapa bulankah saya merantau?? Berapa?? Tiga bulan? Empat bulan?? Yap, lebih tepatnya 3 bulan lebih lah, menuju 4 bulan.. Penting ngga sih? Hehehe, sory mungkin ngga penting yaaa.. tapi bagi saya perjalanan ini sungguh sangat menyenangkan, sayangnya kau tak duduk di sampingku kawan :). Ya perjalanan ini menyenangkan dan tiba-tiba langsung 4 bulan saja. Ya, enam bulan yang lalu, jujur aku masih worried too much tentang daerah penempatanku nanti, apakah aku bisa bertahan atau apakah aku bisa menjadi seorang guru?? Ya, sekali lagi aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi sedetik setelah itu.

 

Saya mau tanya, pernahkah kalian diajukan banyak pertanyaan, diminta banyak pendapat, atau hanya menyediakan telinga sekedar untuk mendengar, namun semuanya itu sebenarnya bisa dijawab hanya diluar kepala. Atau mungkin malah itu semua tidak bisa kalian jawab sama sekali. Pernah? Atau mungkin malah bertolak belakang dengan pikiran kalian, namun kalian enggan mengutarakannya atau mengomentarinya?? Pernah? Ayo ngacung! :)

Eh furi kok banyak tanya yaaa...hehehe, sory kawan, tanya kan ngga dosa. Baiklah saya akan mengutip beberapa cerita yang inggggiiiin saya bagi :) , dan untuk menghindari translete yang berulang-ulang sengaja bahasanya saya permudah :)

 

Entah tanggal berapa dan hari apa. Percakapan antara ibu guru dan muridnya, di tepi pantai sambil menunggu fajar tenggelam

“Encik, kita kalau so umur 21, kita so mau pergi ke jawa cari pa Encik, neh??”

“Kita pe cita-cita mau jadi dokter, kata encik kalau rajin belajar, kita bisa jadi apa yang kita mau, neh?”

Saya hanya mengangguk. Jujur dan polos. Dia lantas bercerita dan saya hanya mendengar. Dia bernama Julianti. Kelas 2 SD. Panggilannya Lian. Dia sudah 2x tidak naik kelas karena masih belum bisa membaca dan menulis. Namun kemampuan berhitungnya luar biasa. Tapi ketika dia duduk di samping saya, saya bukan melihat seorang Lian yang tidak bisa membaca, namun saya melihat gadis cilik dengan semangat di pelupuk matanya.  Dengan tekun, dia menjadi muridku yang selalu datang pertama saat les dan selalu pulang terakhir saat les. Tau alasannya? Karena dia tidak mau merepotkanku untuk mengajarinya membaca saat teman-teman yang lain belajar yang lain. Oleh karenanya, sebelum temannya datang, dia selalu belajar membaca dan setalahnya dia belajar menulis. Dengan rajin dan telaten dia selalu berusaha meminta untuk diajari baca dan tulis. Dan sekarang, alhamdulilah, dia bisa menulis kalimat dengan benar. Bahkan saya tidak tahu kalau dia akan secepat ini cara belajarnya.

 

Selanjutnya, entah juga kapan hari itu terjadi. Muridku yang satu ini, terkenal sebagai murid ‘preman di kalangan murid, masyarakat dan guru-guru’. Namun, dia adalah murid yang senang bercerita dengan saya dan selalu menemani saya pulang ke rumah. Beda sekali dengan apa yang orang-orang bilang selama ini. Hari itu, ada anak yang nangis karena dia pukul. Dia bilang ke saya, anak itu mengejek orang tuanya. Merasa tidak terima dia pukul saja temannya itu. Menangislah dia. Namun salah satu guru menyalahkannya. Dan menghukumnya. Tetap saja dialah yang selalu dipersalahkan. Saat pulang, saya bertanya pada dia.

 

“Rinto, ngana harus belajar lebih giat. Ngana boleh cubi (mengail ikan), ngana boleh main gitar. Tapi ngana harus jaga dengar Encik pe nasihat. Ngana boleh nakal, tapi ngana harus pintar. Ngana nyanda boleh baku pukul teman, ngana harus belajar memaafkan kesalahan teman.”

Dia mendengarkan lantas menjawab, “Iyo iyo Encik, torang memang sering baku tengkar dengan teman. Tapi torang janji mau belajar giat Encik. Encik boleh pukul pa kita, kalau kita lupa nyanda ada hati.”

“Encik nyanda mau pukul ngana, selama ngana masih punya telinga yang mau baku dengar encik pe nasihat. Encik bisa percaya ngana nyanda kalau ngana mau berubah?”

“Iyo encik, kita minta maaf neh?”

 

Kelas 6. Dan satu kali tidak naik sekolah. Sebenarnya dia anak yang berbakat. Baik di bidang kesenian dan bidang olahraga. Namun, orang-orang sekitar sudah mengecap dia anak yang nakal. Maka tidak jarang dia bisa memukul temannya sehari 2 orang. Hanya sekali bentak saja, tidak ada anak yang berani mendekat. Seiring dia selalu menjadi pemandu setiaku untuk berkeliling sekitar pulau, dia sering bercerita apapun yang dia mau. Dia sering menulis di buku curhat tentang kegalauan hatinya. Apa yang membuat dia marah, apa yang membuat dia malas dan terkekang. Semuanya. Dan saya tahu bahwa anak ini luar biasa. Bahkan sampai hari ini aku tidak pernah tahu, bahwa akhirnya kemarin dia mendapat beasiswa dari pemerintah sangihe, sebagai siswa yang berbakat di bidang seni dan olah raga. Bangga sekali.

 

Di ruang kelas satu. Semua anak istirahat kecuali ada murid spesial yang selalu saya dampingi saat istirahat. Dia sudah 3x tidak naik kelas. Namun dia tidak mau tidak sekolah. Kata orang tuanya dia selalu nangis kalau tidak sekolah. Makanya, dia selalu dibiarkan saja saat pelajaran. Dibiarkan saja mengerti atau tidak. Karena guru dan orang tuanya juga menganggap selamanya dia tak akan pernah bisa.

“Ayo coba bahitung sama Encik” Dengan mengacungkan jari saya memberti syarat untuk mulai berhitung.

“Satu, dua, tiga, lawo, lawo lawo” (Baca : 1, 2, 3, banyak, lebih banyak) dengan cepat dia menunjuk jari saya. Lalu tersenyum. Lalu saya bantu dia mengulang dan mengikuti apa yang saya ucapkan.

“Satu, dua, tiga, empat, lima.” Dia menirukan. Namun, ketika saya suruh ulang tanpa bantuan saya.

“Satu, dua, tiga, lawo, lawo lawo.” Tetap seperti itu terus.

 

Namanya Doni. Lucu sekali dan dia suka menjadi wasit ketika temannya bermain. Kadang dia menjadi pengambil bola. Kadang dia juga bagian yang mengumpulkan sandal temannya. Apapun akan dia lakukan supaya temannya mengajak main. Umurnya sudah 9 tahun. Tiga tahun lebih tua untuk seumuran anak kelas 1.

Pada suatu hari, ketika kelas 1 dan kelas 2 sudah pulang, dia mengendap-endap ketika saya mengajar di kelas 6. Saya tanya kenapa dia tidak pulang. Dia menjawab

“Encik, kita mau jadi pintar bahitung deng baca.” Di pelupuk matanya ada air mata. Tapi dia tertunduk lantas pergi. Saya melihat dari jauh dia mengusap matanya.

 

Life goes then. Sekarang, kalau saya bertanya, 12 + 5?? Dia selalu menjawab lirih, “12 di hati 5 di jari, 12, 13, 14,15, 16,17. ” Sambil berteriak,”Tujuuh belas neeeh”. Dengan ayunan punggung dengan tas digendongnya, dia tersenyum menjadi urutan pertama yang berhasil pulang setelah menjawab pertanyaan dari saya. Dan sekali lagi saya katakan, bahkan saya tidak pernah tahu Doni akan seperti ini.

 

Ehmm... cukup deh tiga aja dulu ceritanya, entar kepanjangan. Nanti disambung lagi. Oke, saya ingin beerbagi tentang pelajaran apa yang diambil ketika saya berhasil melewati fase itu. Sabar. Apakah sabar itu hanya diam, menunggu sampai ada mukjizat datang?? Apakah sabar itu, hanya sekedar menghembuskan nafas panjang, memaklumi setiap kejanggalan dan ketidak sesuain dalam hidupmu? Sabar itu tidak statis, namun sabar itu dinamis, terus bergerak dengan seluruh upaya terbaik yang kalian punya dan usaha tetap berdoa pada Allah, agar diberikan kekuatan untuk selalu istiqomah menjalaninya. Yakin lah bahwa sesuatu itu akan ada hasil baik jika memang input yang diberikan juga baik.

 

 Dua, istilahnya adalah fall seven times, stand up eight! What does it means? Ya, pantang menyerah. Apa saya pernah gagal? SERING! Menyerah? Entah, apa yang terjadi jika saya harus menyerah terhadap keadaan murid saya yang demikian itu pada saat itu juga. Apapun itu, yakinlah Allah, Tuhan kalian yang Maha Segalanya yang akan selalu membantu kalian dalam bentuk apapun. Maka, mintalah ke Tuhanmu, asal jangan menyerah. Manusia kadang lemah, maka itulah ada Allah yang Maha Penyayang. Manusia tempatnya salah, maka itulah ada Allah yang Maha pengampun. Teruslah mencoba, gagal coba lagi. Lelah? Istirahat. Selalu mencoba belajar dari kesalahan, dan tetap harus berprasangka baik kepada Allah. Kesalahan terbesar adalah ketika kita tidak berani mencoba dan menyerah ketika gagal kemudian.

 

Tiga, kita bahkan tidak pernah tau, apa yang akan terjadi sedetik, semenit, dan atau seabad kemudian. Maka lakukanlah apa yang menjadi tugas dan kewajiban kalian dengan sebaik-baiknya. Jalan yang kita tahu dan yang kita harus tahu adalah tetap bergerak dan tetap bertindak dengan selalu menghargai dan mensyukuri rahmat waktu usia kita yang masih bernyawa. Entah apa yang terjadi jika saya harus menyerah menghadapi murid-muridku yang luar biasa ini. Walk the talk, then do action. Lakukan sesuatu. Apapun itu. Karena kita juga tidak pernah tahu, kemana kehidupan kita berakhir. Buatlah dirimu bermakna dengan apa adanya kamu.

 

Kalian mungkin bisa menambahi, hikmah apa yang bisa kalian ambil ketika membacanya. Tentunya saya yang juga harus dan masih banyak belajar. Semoga kita selalu dalam lindungan rahmatNya. Salam kami untuk kalian yang sekarang sedang mengumpulkan energi untuk berjuang demi hidup. Cause every single of you is wonderfull, so its to early for you to say give up before u try :)

 

Senin semangat, Rgrd Furi


Cerita Lainnya

Lihat Semua