info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kenapa Harus 'Kristen' ?

Maria Jeanindya Wahyudi 7 Oktober 2011
Kali ini aku tak sanggup menahan air mata. Ya, ia tertumpah saat aku sedang berhadapan dengan tiga orang muridku. -6 Oktober 2011- “Sekarang kamong (kamu orang) jujur sama ibu. Sebenarnya ada apa?” tanyaku membuka pembicaraan dengan Sintia (kelas 5, adik angkatku), Sinto (kelas 6) dan Ida (kelas 6) sepulang sekolah. “Tadi Sinto tulis beta pu nama di papan kelas 2. Beta balas tulis dia pu nama di dia pu buku. Itu saja. Beta tara bikin apa-apa lai,” jelas Ida, menjawab pertanyaanku. “Baru?” tanyaku lagi. Karena aku tak yakin hanya hal itu yang membuat Sinto menangis pulang dan mengadu pada Mama Tua nya. “Sudah, beta cuma bikin begitu saja. Sintia yang bilang dia Kristen,” jelas Ida lagi. Tenggorokanku tercekat mendengar penjelasannya. “Kristen? Kenapa sampai harus mengucapkan kata itu? Dan adik angkatku sendiri yang bicara begitu?” pikirku dalam hati. Sinto, yang sekarang sudah menjadi mualaf, tak kuasa menahan air matanya. “Kenapa ko harus bicara seperti itu?” suaraku mulai bergetar. Dua nona di depanku hanya terdiam. “Sinto memang Kristen, ibu juga Kristen. Lalu mengapa?” tanyaku. Bulir air mata jatuh di pipiku. Kecewa, sedih, dan merasa bersalah. Perasaanku campur aduk saat itu. Aku kecewa kata-kata seperti itu keluar dari mulut adik angkatku sendiri. Yang setiap hari dia tidur dan menghabiskan hari-harinya bersamaku. Sedih, di tengah jargon Fakfak “satu tungku tiga batu” yang kupercayai benar adanya, soal agama ternyata masih menjadi bahan gurauan di kampung tempatku bertugas. Dan terutama, aku merasa bersalah kepada anak-anak muridku karena belum berhasil mengajarkan soal toleransi beragama. Homogenitas agama di Arguni terkadang memang mengganggu pikiranku. Dan kejadian hari ini membuat ketakutanku menjadi kenyataan. Aku memang sudah pernah mengajarkan bahwa meski kita semua berbeda suku dan agama, kita semua adalah bangsa Indonesia. Dalam kelas aku pun pernah mengutarakan bahwa aku hafal doa sebelum dan setelah pelajaran yang mereka lakukan secara muslim. “Hanya karena ibu tidak beragama Islam, jangan kamong pikir ibu tidak tahu kalau kalian ucapkan doa dengan salah-salah seperti itu,” tegurku saat mereka mencampur-adukkan doa sebelum dan setelah pelajaran. Masalah toleransi beragama memang belum terlalu sering kuberikan pada mereka. Homogenitas agama Islam itulah yang membuatku selalu menunda untuk memberikan contoh nyata kerukunan beragama secara terus-menerus kepada mereka. Malam harinya, dua orang Ustadz bantuan dari sebuah Yayasan di Makassar bertandang ke rumah. Kita bertiga, dan bapak pun duduk dan ngobrol santai di meja makan. Hingga Ustadz Abdul, salah satunya, membuka pembicaraan. “Ibu, saya baru dengar kejadian tadi siang dari Ahyar (murid kelas 3) waktu mengaji,” katanya. Dua detik kemudian aku baru menyadari, ‘kejadian’ yang ia maksud. Selama hampir 15 menit kemudian, Ustadz tersebut terus meminta maaf dan mengatakan bahwa ia sangat merasa bersalah atas kejadian tersebut. Ia pun merasa gagal dalam mendidik anak-anak di Arguni, yang hampir setiap hari masuk dan belajar mengaji bersamanya. “Bapa tadi juga su tampar Sintia pu mulut,” kata Bapa menyambut perkataan Ustadz. Aku pun berusaha menjelaskan kepada ketiga pria tersebut perasaanku saat kejadian tersebut. Aku berkata bahwa aku sama sekali tidak tersinggung dengan kata-kata yang mereka lontarkan. Karena aku tahu, mereka masih anak-anak dan kemungkinan besar mereka tidak tahu bahwa yang mereka ucapkan itu adalah hal yang sensitif. “Reaksi saya tadi siang sebenarnya bukan karena tersinggung, tapi lebih ke kecewa, sedih, merasa bersalah, dan capek juga. Karena hari ini saya pegang semua kelas,” kataku lalu tertawa, mencoba mencairkan suasana. Akhirnya aku bisa memberikan pengertian kepada mereka bahwa kejadian ini adalah pelajaran bagi semua pihak agar terus-menerus menanamkan soal toleransi beragama dalam kondisi apapun. Sayang, meski di siang hari aku sudah berbaikan dengan Sintia, malam harinya ia sama sekali tidak muncul di rumah. Mungkin ia takut Bapa akan memukulnya lagi. Cerita ini bukan soal fanatisme atau SARA. Ini hanya menampilkan kepolosan seorang bocah, yang belum paham betul tentang toleransi beragama. Kau, Pengajar Muda, dan semua guru di seluruh Indonesia! Menjadi tugas dan kewajiban kita mengajarkan tentang hal tersebut.. :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua