Tolooonggg!! Muridku bawa parang !!!

Maria Jeanindya Wahyudi 7 Oktober 2011

Kekerasan kerap menjadi isu utama di sekolah tempat aku mengajar, SD Negeri Arguni, Distrik Kokas, Fakfak. Rasanya, makin hari makin banyak anak yang menggunakan kekerasan saat bermain dengan teman sebayanya. Istilah “senggol-bacok” yang sering kudengar di jalanan Jakarta dulu, ternyata juga terjadi di sini. Kalah main bola, baku pukul. Ejek-ejek sedikit, baku pukul.

Beberapa waktu lalu, aku mendengar ‘gosip’ bahwa Salis Turua, seorang murid kelas 3 SD tengah mengamuk. Kabarnya ia marah kepada kedua orang tuanya karena suatu hal. Hari itu, Jumat (16/9) pagi, sekolah diliburkan karena membantu persiapan pernikahan salah satu guru di SD kami. Tiba-tiba, aku melihat Salis berjalan berkeliling sekolah sambil menggenggam batu karang yang berukuran lebih besar dari kepalan tangannya sendiri. Matanya terlihat bengis dan menatap orang-orang penuh benci. Saat aku belum naik ke sekolah (karena panggilan di rumah Kepsek), kabarnya ia mengejar anak-anak yang lain di sekolah hingga mereka terpaksa bersembunyi di dalam kelas. Tete (kakek) penjaga, juga tidak berkutik. Ia hanya menggiring semua anak murid yang ada di sekolah untuk segera masuk ke kelas. Salis memang terlihat berbeda hari itu. Kesurupan kah? Aku juga tak tahu.

Belum selesai obrolan makcik-pakcik tentang kejadian Salis, anak muridku yang lain kembali membuat sensasi. Kebetulan, aku sedang menjadi ‘guru enam kelas’ siang itu. Dan seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara tangisan dari arah kelas 1. Bergegas aku menghampiri asal suara. Di lokasi kejadian, Nasir (murid kelas 2), dengan Jul (murid kelas 1) sama-sama menangis. Dua orang ini memang sudah terkenal sebagai ‘tukang pukul’ di kelas masing-masing.

Saat aku tiba, tete penjaga memang sudah melerai mereka berdua. Ia mendekap Nasir dari belakang agar baku pukul tidak berlanjut. Sembari masih menangis, Nasir meninggalkan lokasi baku pukul. “Beta pulang angkat parang ke sekolah!” teriaknya sambil terus berjalan. Aku tak mencegahnya, karena kupikir itu hanya gurauan anak umur 6 tahun semata. Aku pun menyuruh semua anak murid untuk bubar dan kembali ke kelas masing-masing. Lima menit kemudian, saat sedang mengajar di kelas enam, tiba-tiba aku melihat Nasir bergegas sembari membawa parang di tangan kanannya. Ya! Betul-betul parang! Tanpa cap-cip-cup, aku langsung mengejar, dan mencoba menghentikannya. Tapi langkah kecil Nasir makin cepat. “Jangan pele ! Jangan pele ! Beta mau bunuh Jul!” teriak Nasir padaku sambil mengacung-acungkan parang di tangannya.

Tak mempan, aku ambil langkah seribu untuk menutup ruang kelas 1, tempat Nasir mengincar ‘musuhnya’. Aku mencoba merayu, membujuk, merayu dan terus membujuk agar Nasir mau memberikan parangnya untuk diamankan. “Kalo ko bunuh Jul, nanti pak polisi tangkap ko. Baru nanti kalo pak polisi kasih masuk ko ke penjara, sapa yang jaga kop u bapa? Kasihan kop u bapa dan ko pu ade sendiri. Ko tara sayang mereka kah? Mari sini, kasih ibu parang itu,” rayuku. Nasir bergeming, sambil tetap memegang erat parangnya. Bujuk rayuku tak mempan.

Jujur, aku tak berani merebut parang itu langsung dari tangan Nasir. Aku takut salah satu dari kita akan terluka. Merasa dendamnya belum terlampiaskan, Nasir mencoba menjajah kelas-kelas lain yang sedang belajar. Nampaknya dia tahu betul bagaimana memanfaatkan ‘kekosongan’ guru di sekolah siang itu. Ia masuki semua kelas dan memukulkan parang ke meja, pintu, semua barang yang ia lihat. Aku terus merayu dan membujuknya, tapi tetap nihil. Lima menit.. Sepuluh menit.. Waktu terus berjalan, dan belum ada seorang guru pun yang naik ke sekolah, termasuk tete penjaga.

“Kalau dia tidak juga menyerahkan parangnya, aku akan panggil orang tua anak ini,” pikirku dalam hati. Aku tahu betul, dia akan takut dengan ancaman itu. Namun bila ayahnya naik ke sekolah, Nasir pasti akan dapat pukul habis-habisan. Membayangkannya saja aku tak tega. Tapi aku juga tak bisa membiarkannya terus-menerus begini. Hhhh.. Untung, tak lama tete penjaga tiba di sekolah. Dan langsung menuju tempat Nasir ‘mengacau’. “Heh! Lebih baik ko angkat pulang parang ini! Ato tete panggil ko pu bapak!” ancamnya. Persis seperti yang kupikir tadi.Dan Nasir, seperti dugaanku, langsung berjalan turun dan membawa parangnya pulang.

Kejadian bawa parang ke sekolah pun berakhir di situ. Tapi ternyata Nasir salah menafsirkan ‘sikap lembut’ ku padanya. Ia berfikir bahwa aku takut dengan ancamannya itu. Sekarang, setiap kali ia merasa marah dengan seseorang dan tidak terlampiaskan, ia akan menakut-nakuti orang dengan parang. Meski ia sebenarnya tak berani berbuat apapun dengan parang di tangannya itu. *Semoga ada waktu untuk memahamkannya, agar tidak terbawa sampai dewasa"


Cerita Lainnya

Lihat Semua