28 Januari 2012

Novianus Efrat 28 Januari 2012

Baru kali ini aku mengeluarkan “taring”-ku. Selama ini hanya senyum manis yang kupampang pada semua orang. Ada apa sehingga aku menjadi begitu ofensif?

 

     Ceritanya begini, kawan. Hari Jumat ini sebagian besar guru hadir di sekolah. Fenomena yang jarang terjadi. Melihat kesempatan ini, Kepala Sekolahku yang kata orang-orang adalah Kepala Sekolah terbaik di Kecamatanku -  dan aku sepenuhnya setuju akan hal ini, memutuskan untuk melakukan apel. Di lain kesempatan, akan kucoba ceritakan biografi singkat dari Kepala Sekolahku.

     Apel dimulai. Saat itu sedang waktu istirahat. Jujur saja, aku tidak sadar bahwa apel sudah dimulai. Aku sedang asik membaca buku. Lagipula, memang suara Kepala Sekolahku itu kecil dan kurang jelas. Barulah kusadari ketika ada kata Ujian Nasional, sontak aku sebagai wali kelas 6 menoleh ke arah sumber suara, sang Kepala Sekolah. Ternyata beliau sudah memulai apelnya…

     Beliau memberi tahu kabar kepada semua guru bahwa menjelang Ujian Nasional ada baiknya dilakukan pelajaran tambahan di luar jam sekolah khusus untuk kelas 6 – aku setuju kembali. Ia bertanya, kira-kira siapa guru yang mau membantuku mengajar anak-anak? Ada satu guru, ia berkata bahwa pada tahun sebelumnya, hanya Pengajar Muda saja yang memberikan pelajaran tambahan. Mendengar hal itu, senyum manisku perlahan-lahan kutanggalkan.  Aku mengerti maksud perkataannya. Kurasa, kalian, para pembaca pun cukup pintar untuk mengerti benar akan arti perkataannya.

     Kepala Sekolah bertanya kepadaku seolah-olah ia mengetahui isi pikiranku apakah aku sanggup melakukan hal ini sendiri. Sontak kujawab, “Tentu saja saya butuh dukungan dari guru yang lain,Pak.” Sekarang gantian, raut muka para guru yang berubah. Kepala Sekolah hening sesaat. Ia berpikir sebelum mengambil keputusan. Dengan santainya ia berkata, “Pak Guru A nanti mengajar mata pelajaran ini. Pak Guru B mengajar ini. Pak Guru C yang ini. Lalu,Bu Guru D yang ini. Pak Efrat nanti mengajar IPA ya,Pak?” Sontak aku hanya menjawab, “Siap!” Guru-guru yang lain sepertinya enggan berkomentar.  Senyumku kembali pada tempatnya. He he he

     Di luar jam sekolah, kucoba datangi satu guru yang rasanya belum bisa terima atas keputusan Kepala sekolah tadi. Aku mencoba berbicara dengannya baik-baik. Usut punya usut, ternyata hanya ada satu hal yang menjadi kendala beliau untuk mengajar pelajaran tambahan. Malas.

   Seingatku dia pernah bercerita alasan dia menjadi guru, yakni memajukan kondisi pendidikan di desanya sendiri. Dan di sinilah letak desanya itu. Kuingatkan kembali kepadanya. Dia berkilah, ini sebenarnya tugas Indonesia Mengajar dan dia bukanlah wali kelas 6. Sungguh, perkataan ini menyulut emosiku. Dengan tegas kukatakan, memang benar tugas kami mengajar. Tapi, kalau ditelusuri secara profesional, jam kerja kami adalah 20 jam kerja per minggu. Jika dihitung dengan pelajaran tambahan malam setiap hari, maka jam kerja kami sudah jauh melewati batas. Kuingatkan juga padanya, bahwa beliau dalam proses memperoleh sertifikasi guru. Aku bertanya, apakah ia ingin menjadi guru sertifikasi tanpa melakukan sedikit pengorbanan lebih dalam mengajar? Ia pun terdiam. Kuharap ia mulai sadar.

     Langkah terakhir. Kukatakan kepadanya bahwa kami bukanlah lulusan pendidikan. Sungguh tidak adil jika mereka yang lebih berpengalaman malah tidak mengambil kontribusi untuk mengajar pelajaran tambahan ini. Merekalah guru yang sebenarnya. Kami hanyalah guru “bayangan”.  Kedatangan kami di sini hanyalah sementara. Untuk jangka panjang, guru-guru “nyata” inilah yang memegang peranan penting untuk kemajuan pendidikan anak-anak. Check mate.  Aku selesai berbicara. Ia terdiam tanpa bisa berkomentar atau membalas perkataanku. Sekarang, hanya tinggal menunggu keikhlasan darinya untuk memberikan pelajaran tambahan pada murid-murid kelasku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua