Nyanyi Sunyi Darembang
Maria Jeanindya Wahyudi 10 Maret 2012Hari itu aku bertualang. Menuju dua pulau berjarak sekitar satu jam pelayaran dari Arguni. Kampung itu bernama Goras, dan Darembang. Goras, adalah tempat seharusnya aku bertugas. Tapi karena satu dan lain hal, kantor memutuskan untuk menempatkanku di Arguni (1 hal yang sangat kusyukuri)
Tapi aku tak akan berbicara soal Goras kali ini.
Aku ingin bercerita tentang nyanyi sunyi kampung Darembang....
Lengang, sunyi.
Hening, mati.
Tidak ada suara tawa. Tidak ada anak kecil berlarian. Tidak ada ‘sambutan meriah’.
Sambutan yang kami dapat siang itu hanya tatap mata kosong. Ekspresi heran. Lebih ke tidak peduli.
Ada perasaan tidak enak menyelimutiku. Apa yang berbeda dengan kampung ini? Batinku.
Lapangan tengah kampung itu juga sunyi.
Tak seperti lapangan di kampungku yang selalu penuh dengan anak kecil.
Tak seperti lapangan di kampungku yang seolah menjadi ‘jantung’ Arguni.
Lapangan itu diam. Lengang.
Beberapa mace yang duduk di sebuah teras rumah juga seperti enggan menyapa. Meski raut mereka sedikit heran dengan kedatanganku.
“Kepala sekolah sedang di tempat kah?” tanyaku pada mereka. Mengawali pembicaraan.
“Tidak ada,” jawab mace, sambil tetap mengulum pinang.
“Kalau guru?” lanjutku.
“Tidak ada juga. Su beberapa bulan ini sekolah kosong,” kata mereka, jujur.
“Penjaga sekolah?” ada nada heran, tak percaya dan harapan dalam pertanyaanku.
Tapi mereka tetap menggeleng.
“Tapi kepala kampung atau BAPERKAM ada kan?” masih penuh harap.
“Semua sedang keluar kampung, ibu,” kata mereka, akhirnya.
Baiklah. Aku menghela napas. Kabar burung itu ternyata benar. Darembang bak kampung mati. Beberapa bulan terakhir sekolah tidak buka. Aparat kampung pun entah ke mana. Dan masyarakat, seolah sudah sangat terbiasa dengan keadaan itu.
Tak ada kata protes, melawan, atau keberatan.
Dari wawancara singkat yang kulakukan dengan beberapa ‘murid’ dan masyarakat, ada sekitar kurang lebih 50 siswa tercatat di SD Inpres Darembang. Data itu pun belum tentu valid. Karena aku hanya mengandalkan ingatan para siswa atas teman-teman sekelasnya. Beberapa di antara mereka bahkan lupa ada berapa orang dalam kelas.
“Bodok! Masa ko pu teman-teman satu kelas saja lupa! Terlalu banyak bermain itu lah yang bikin jadi bodok!” maki seorang mace.
Ya bukan salah mereka kalau bermain. Lha wong sekolah juga tutup. Tidak ada guru atau penjaga. Mau ngapain di sekolah? Aku menggerutu dalam hati.
“Sejak kapan sekolah tutup?” tanyaku pada semua yang hadir di rumah salah satu aparat kampung (yang tersisa) siang itu.
“Terakhir waktu bagi rapor kenaikan kelas dulu,” jelas seorang ibu.
Baiklah. Itu artinya hampir 9 bulan yang lalu. Seumur dengan penempatanku di Papua.
“Terus libur kenaikan kelas. Libuuuurr terus sampai kemarin ulangan semester,” lanjutnya.
Wow! Libur ‘semester’ yang benar-benar menghabiskan 1 semester penuh!
“Tapi waktu ulangan semester masuk?” tanyaku setengah tak percaya.
“Iya,” jawab anak-anak polos.
Apa yang ditanyakan dalam soal ulangan? Kan tidak pernah ada kegiatan belajar mengajar selama 1 semester???
“Sudah. Dari ulangan semester kemarin, sampai hari ini, sekolah belum buka lagi,” kata mace yang lain.
Mungkin ini akan menjadi ‘libur semester’ yang kedua bagi anak-anak Darembang.
Gedung sekolah mereka tak kalah sunyi.
Tubuh tua nya seakan enggan ‘bangun’ dari tidur. Mungkin gedung tua itu sudah kehilangan energi. Energi yang biasanya ia dapat dari gelak tawa dan suara riang anak-anak yang bernaung di bawah atapnya. Belajar, dan merangkai hari-hari ceria, di SEKOLAH.
Gedung tua itu hanya mematut diam. Seolah pasrah dengan atap yang banyak berlubang. Memilih diam atas lapisan tebal debu di kaca jendela, dan lantainya.
Tak hanya gedung tua sekolah yang terdiam bisu. Bel sekolah juga menyuarakan denting sunyi. Besi berbentuk tabung berdiameter sekitar 15 cm itu tergantung. Dengan karat yang sudah melapisi hampir seluruh permukaan tubuhnya. Ia pun mungkin menyerah. Tak lagi menjadi pusat perhatian anak-anak.
Tapi lihat! Di sana, di depan gedung tua yang ringkih ada satu bangunan ‘mewah’. Dia berdiri dengan gagah dan angkuh. Keperawanannya nampak jelas dari dinding krem yang masih mulus. Kaca bersih dan lantai yang putih mengkilap.
Pun demikian, nyanyian sunyi tetap melingkupinya.
Tak ada tawa riang anak-anak. Apalagi buku-buku, yang seharusnya tersimpan rapih di dalamnya. Ya. Gedung itu harusnya menjadi tempat bernaung anak-anak untuk membuka cakrawala dunia. Menjelajah dunia lewat beraneka ragam buku.
Apa daya, ia masih mendengkur dalam keangkuhannya.
Mungkin, hingga beberapa tahun mendatang ia masih akan bernyanyi sunyi seperti ini. Dan bukan mustahil, suatu saat ia akan mengalami apa yang dirasakan gedung sekolah tua.
Kehilangan energi. Diam. Lalu mati.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda