info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tradisi Naik Pangkat Mengaji: Telur dan Ayam

Astri Lestari 10 Maret 2012

Aku bersemangat dan rasanya menemukan napas baru hari ini. Hari dimana aku diperkenalkan dengan sebuah tradisi yang sangat unik dan belum pernah aku lihat sebelumnya. Berkumpul bersama disalah satu rumah warga, bercengkrama ringan, sambil menyibukkan diri bersama ibu-ibu di dapur. Dapur bagi daerah ini adalah tempat favorit para wanita, yang jika ingin makan harus menunggu sang suami makan terlebih dahulu. Setelah selesai, barulah waktu kami, para wanita mengisi perut.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WITA. Aku yang baru saja datang dari jalan poros (red: kecamatan) langsung diajak ibuku untuk hadir ke acara selametan pengajian siswa-siswiku. Dengan keadaan lelah setelah mengarungi derasnya air hujan saat perjalanan pulang, aku pun kembali pergi keluar memenuhi undangan tersebut.  Tepat pukul 20.00 WITA aku sudah siap untuk berangkat, ditemani ibu, bapak, dan adik kecilku yang bernama Gita. Seperti yang pernah aku ceritakan dulu, disini belum ada listrik, sehingga saat perjalanan ke tempat selametan kami gunakan senter hape dan senter kecil sebagai alat penerangan.

Aku akan mulai bercerita tentang selametan pengajian ini. Prosesi selametan disini berbeda dengan selametan-selametan pengajian yang biasa terjadi di daerah Jawa. Ada dua kelompok pengajian yang akan mulai mengawali langkah mereka untuk belajar mengaji. Kelompok pertama, terdiri dari anak-anak kecil berjumlah tujuh orang, yang baru saja akan belajar Iqra. Sedangkan, kelompok yang kedua terdiri dari anak-anak yang mau “naik pangkat” dari yang awalnya belajar Iqra menjadi baca Al.quran, berjumlah lima orang. Ini bisa dibilang sebuah prosesi yang serius dan harus dilaksanakan, karena jika tidak maka sang anak belum bisa melanjutkan belajar mengaji. Ini tradisi.

Baik, aku akan mulai bercerita dari kelompok anak-anak kecil. Ada beberapa prosesi yang harus dilewati. Pertama, anak-anak ini berkumpul membentuk lingkaran dengan mengelilingi makanan yang berupa ketan merah dan ketan hitam yang telah dimasak, dan diatasnya ditaruh telur rebus. Serta ada sebuah piring yang berisi uang sebesar seribu rupiah, dua ribu rupiah dan lima ribu rupiah yang jumlahnya ada tujuh juga sesuai dengan jumlah anak yang diletak ditengah-tengah makanan. Kemudian Pak Imam datang, dan duduk ditengah-tengah mereka sambil membawa rekal (alas Al.quran) dan Iqro (saya kira anak-anak ini mau di tes mengaji, ternyata salah), kemudian pisau yang ukurannya besar (red: parang). Pak Imam menunjuk salah satu anak untuk duduk berhadapan dengan beliau, sambil memilih makanan yang sudah tersedia. Pak imam memotong sedikit telur bagian atas, mengambil sedikit ketan hitam dan ketan merah dengan menggunakan pisau. Kini makanan itu sudah berada dibagian tengah pisau. Kemudian si anak yang saya lihat berwajah tegang, sudah siap dengan santapan dihadapannya. Pak imam pun menyuapi anak tersebut tetap menggunakan pisau. Makanan tersebut harus ditelan tanpa dikunyah oleh si anak, karena akan melanggar adat. Kegiatan ini berlangsung terus hingga semua anak mendapat giliran. Setelah itu, piring makanan mereka harus diletakkan lagi ke nampan.

Kegiatan kedua, Pak Imam meletakkan Iqra dihadapannya, Posisi iqra menghadap ke arah beliau dan membelakangi si anak. Seperti kegiatan pertama, Pak Imam memilih kembali anak untuk duduk dihadapan beliau. Setelah mereka berhadapan Pak Imam menekan-nekan batasan Iqra berwarna merah, yang terletak dibagian tengah. Menurut kepercayaan disana, batasan itu melambangkan hati. Kemudian si anak diharuskan memilih salah satu huruf hijaiyah sesuai dengan hati nuraninya. Ada anak yang memilih huruf alif, ada yang memilih huruf ba dan tsa. Setiap huruf yang dipilih memiliki arti, misalnya huruf Alif, artinya si anak akan cepat dan lancar belajar Al.quran. Kemudian,  Pak Imam mengarahkan telunjuknya di kepala anak, kemudian beralih ke pundak kanan dan kiri. Dan yang terakhir mengusapkannya didada si anak. Begitu bergiliran hingga semua anak mendapat giliran. Namun untuk anak perempuan, hanya mengarahkan telunjuk sampai pundak kiri dan kanan.

Setelah kegiatan pertama dan kedua selesai, kegiatan terakhir adalah doa bersama. Saat pak Imam memimpin doa, anak-anak mengangkat tangan mereka dan meng”amin”kan doa dari tersebut. Kemudian ada salah satu warga mengambil piring yang berisi uang, kemudian membagikannya kepada setiap anak. Kini setiap anak memegang uang masing-masing. Setelah doa selesai, Pak imam menghampiri setiap anak untuk bersalaman. Sambil bersalaman, anak-anak tersebut memberikan uang tersebut kepada Pak Imam dan guru ngaji mereka. Uang tersebut menandakan ucapan terima kasih kepada guru ngaji mereka. Acara pun dilanjutkan dengan makan ketan bersama.

Sementara itu, untuk anak-anak yang mau beralih dari membaca Iqra ke Al.quran mulai melakukan ritualnya. Hanya saja kegiatan untuk kelompok ini lebih singkat dibanding yang pertama tadi. Mereka berkumpul bersama, tetap bersama Pak Imam dan guru mengaji. Mereka hanya berdoa bersama dengan sangat khidmat. Seperti halnya pada kelompok pertama tadi, pada kelompok ini juga dihidangkan makanan. Akan tetapi, makanannya berbeda, untuk kelompok ini makanannya adalah nasi putih yang diatasnya sudah diletakkan potongan ayam dengan ukuran yang luar biasa besar. Setelah selesai berdoa, mereka pun bersalaman dan anak-anak langsung mengambil makanan mereka masing-masing. Yang lucu dari kegiatan ini adalah keberadaan tali rapia pada ayam mereka masing-masing, dengan warna yang berbeda. Ketika aku tanyakan apa fungsi dari tali rapia tersebut pada salah satu warga, ternyata tali tersebut sebagai penanda ayam mereka dan tidak tertukar satu sama lain ^^.

Berdasarkan kepercayaan setempat, penggunaan telur sebagai hidangan bagi anak-anak yang baru mau belajar mengaji memiliki arti bahwa telur adalah lambang kelahiran. Lambang dimana seorang anak akan mulai menapaki jejaknya untuk belajar. Sedangkan, pemotongan ayam bagi anak-anak yang akan belajar Al.quran memiliki arti bahwa belajar mengaji mereka akan lancar dan cepat pintar jika telah memotong ayam. Selain itu, memotong ayam dilakukan demi keberkahan yang tiada artinya jika dibandingkan dengan gantinya kelak diakhirat (Sebagai informasi: Disini memakan ayam adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan jarang dilakukan, sehingga menjadi sesuat yang sangat WAH). Namun yang disayangkan adalah jika sang anak belum memiliki rezeki untuk memotong ayam, maka anak tersebut belum bisa naik pangkat untuk mengaji walaupun sudah pintar.

Baiklah, ini adalah malam yang sangat istimewa bagiku, karena menemukan hal baru yang belum pernah aku  lihat sebelumnya. Terima kasih untuk kesempatan ini, kesempatan melihat sisi lain dari Indonesia. Kesempatan menjadi bagian Timur Indonesia. Kesempatan untuk memiliki keluarga baru yang luar biasa. Terima kasih Indonesia Mengajar.. :D

 

Malam Jumat, 01 Maret 2012

Lombang – Majene – Sulawesi Barat

Astri Lestari

Pengajar Muda – Indonesia Mengajar


Cerita Lainnya

Lihat Semua