Berita Duka Di Januari

Novia Budiarti 6 Maret 2015

Selasa, 27 Januari 2015

Langit tidak begitu cerah saat itu, dingin juga tak seperti biasanya, kali ini lebih menusuk. Kubuka handphone yang sedari malam tergeletak di sampingku. Kulihat ada sebuah pesan singkat dari rekan guru di sekolah. Ternyata pesan itu sudah masuk sejak dini hari ketika aku sedang tidur nyenyak. Kubuka pesan itu. Bunyinya :

“Innalillahi wa’inna illaihi raaji’un..... telah berpulang ke rahmatullah ibu Lilis Suryani, S.Pdi. Guru SDN Paradowane”

Belum sempat aku bereaksi, selang beberapa detik kemudian, pengumuman serupa datang dari pengeras suara masjid Desa Paradowane. Perlu beberapa saat untuk aku tersadar bahwa in nyata. Bukan mimpi. Bu Lilis, wali kelas II yang kujenguk kemarin, Senin 26 Januari 2015 lalu, kini sudah tiada.

......................................................................................................

Sabtu, 24 Januari 2015

Bus kecil jurusan Bima-Parado itu akhirnya berhenti di depan rumahku menjelang maghrib. Ina(Ibu), Ika (adik pertamaku), dan Dila (adik bungsuku) menyambut kedatanganku dari Bima usai kegiatan Site Visit Indonesia Mengajar. Tak biasanya, aku membawa sebuah hadiah yang dibungkus kertas kado bergambar. Rencananya, hadiah itu akan kuberikan untuk bayi Ibu Lilis yang beberapa hari yang lalu lahir ke dunia ini. Namun, justru kabar duka yang kudengar dari Ika. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan yang baru berumur 5 hari itu sudah meninggal dunia jumat lalu. Hmmmm....sayang sekali, sedih mendengarnya. Kuurungkan niatku memberikan hadiah kelahiran putri kedua Ibu Lilis. Untung saja ternyata ada tetangga dekat rumah yang juga baru melahirkan, jadi kuberikan saja padanya J

 

Minggu, 25 Januari 2015

Hari ini aku berencana menjenguk Ibu Lilis di rumahnya. Kudengar, setelah kehilangan bayinya , kondisi Ibu Lilis drop, ditambah dengan luka sehabis operasi caesar belum mengering. Sebelum menjenguknya, aku mengantar adikku Dila, ke rumah salah satu guru SDN Paradowane untuk mengambil ijasah yang baru keluar tahun ini. Di perjalanan, Dila bercerita bahwa dia mendengar Ibu Lilis sedang dalam kondisi “kacau” dan tertekan di rumahnya. Ibu Lilis sejak kemarin hanya berteriak-teriak memanggil anaknya yang sudah tiada. Sedih rasanya mendengar berita itu. Sepulang mengantar adikku ingin rasanya menjenguk dan memberi support pada Ibu Lilis. Namun, guru-guru lain melarang karena kondisi kejiwaannya sedang tidak stabil. Aku dan rekan-rekan guru berencana esok hari baru akan menjenguknya.

 

Senin, 26 Januari 2015

Pulang sekolah, aku dan beberapa rekan guru pergi menjenguk Ibu Lilis. Rumah Ibu Lilis terletak di ujung belakang kampung yang dikelilingi kebun. Sesampainya di sana, ingin rasanya aku menangis melihat kondisi Ibu Lilis yang memprihatinkan. Hanya berbaring sambil terus menangis dan berteriak-teriak. Keluarganya yang berada di sekitarnya memegangi tubuh Ibu Lilis sambil menuntun Ibu Lilis menyebut asma Allah. Bukan hanya aku yang menangis, guru-guru lain juga menangis. Kupegang tubuh Ibu Lilis, luar biasa panas, padahal kakinya sangat dingin. Ya Allah..... sungguh bukan pemandangan ini yang ingin kulihat................

......................................................................................................................................................Selasa, 27 Januari 2015

Aku adalah orang yang paling takut jika melihat sesuatu yang berhubungan dengan kematian seperti takziah dan prosesi pemakaman. Saat kakek dan nenekku meninggal pun aku tidak bisa hadir. Tapi kali ini, pertama kalinya, di saat aku mengabdi di tanah surga parado ini, aku harus melaluinya.

Tubuh Ibu Lilis, kini sudah terbaring kaku, tidak ada kesan horor ataupun menakutkan saat aku melihat wajahnya terakhir kali sebelum dikafani. Ibu Lilis hanya seperti orang tertidur. Banyak orang yang datang mendoakannya, murid-murid pun mengantri mendoakan gurunya yang kini tidak bisa hadir lagi di tengah-tengah mereka. Banyak sekali orang-orang yang menyolatkan dan mengantarkan Ibu Lilis ke liang lahat.

Aku berusaha keras tidak menangis di makamnya. Ibu Lilis dimakamkan di sebelah makam bayinya. Tatapanku tertuju pada keponakan Ibu Lilis, Rahmawati, yang berkali-kali pingsan L. Tiba-tiba seorang gadis kecil berusia 4 tahun menarik-narik bajuku. Namanya Isti, dia anak pertama Ibu Lilis sekaligus kakak bayi mungil yang sudah tiada. Tak ada raut kesedihan di wajahnya. Isti begitu polos, dia masih tertawa lepas saat melihatku.

“Ibu Via Ibu Via....ayo besok gambar lagi yah”

“Isti mau gambar lagi? Siap deh bossss”

“Hehehehe...Ibu Via pinjam hapenya niii”

“Buat apa Isti?

“Telepon Papa, eh Papa ada disitu... Telepon Mama aja”

“Mama? Mama isti sekarang dimana?”

“Mama maru ara (tidur disini)! Hehehe”

Aku tidak bisa meneruskan kata-kataku, air mata sudah menggenangi mataku.

Ibu Lilis, Isti dan papanya pasti sangat kehilangan dirimu. Murid-murid di sekolah juga. Tidak ada lagi Ibu Lilis yang semangat mengajar di kelas II. Tidak ada lagi Ibu Lilis yang menyapaku tiap pagi. Tidak ada lagi Ibu Lilis yang setia mendampingi Isti saat menerima piala kejuaraan.

Ibu Lilis, kini arwahmu sudah tenang disisi-Nya, bersama bayi mungilmu yang akan menemanimu disana, selamanya ^_^

***


Cerita Lainnya

Lihat Semua