Aku, Terminal Bus, dan Sopir Angkutan Umum

Novia Budiarti 6 Maret 2015

        Sejak kecil, ayahku yang akrab kusapa Babeh sangat protektif denganku untuk urusan pergi jauh, tempat-tempat rawan kejahatan seperti terminal, stasiun, pasar, dan lain-lain. Dahulu, saat muda, Babeh memang tinggal dekat stasiun dan terminal di Ibu Kota Jakarta, dan terbiasa dengan kehidupan keras jalanan. Jadi Babeh selalu memperingatkan aku mengenai bahaya di jalanan. Maka itu, sehari sebelum aku diterjunkan ke daerah penempatanku, Bima, Nusa Tenggara Barat, berkali-kali beliau mengingatkanku untuk selalu, selalu dan selalu waspada akan kejahatan yang mungkin bisa terjadi di segala tempat, terutama terminal bus. kebetulan, transportasi menuju desa Paradowane, penempatanku, menggunakan Bus.

         Satu hingga dua bulan masa penempatan, memang ketakutan akan kejahatan di terminal bus masih sangat besar. Dulu, saat kuliah di Yogyakarta, memang aku sering menggunakan bus untuk pulang kampung. Namun bedanya, dulu aku tidak pernah sendiri ke terminal, beramai-ramai bersama ke terminal dan naik bus juga bersama-sama. Dulu hanya bus eksekutif yang menjadi pilihanku dengan alasan utama kenyamanan dan keamanan. Maklum dulu bus eksekutif yang kugunakan memiliki track record yang sangat bagus. Kali ini, bus ekonomi yang selalu setia mengantarkanku ke kota dan ke desa. Bus ini jauh dari kata nyaman, berdesak-desakan bukan hanya dengan manusia lagi, tapi dengan hewan seperti ayam, bebek, dan kambing. Ditambah jalan yang rusak. Sungguh sangat tidak nyaman. Belum lagi aku harus bergelut dengan ketakutan dan kenyamananku selama di terminal.

       Menginjak ke bulan ke tiga masa penempatan, semua terasa berubah ketika aku memberanikan diri lebih banyak bertanya dan mengakrabkan diri dengan seorang sopir bus jurusan Parado-Bima dan sebaliknya yang setia menemani perjalananku. Namanya Dahlan, tapi akrab disapa Aba Lan. Aba Lan juga sekaligus berprofesi sebagai pengusaha bus jurusan daerah lain di pulau Sumbawa. Awalnya aku memang takut dan memilih menjaga jarak dengan Aba Lan. Namun, kesan Aba Lan yang jauh dari kesan menyeramkan, ternyata lama-lama membuatku akrab dengannya. Aba Lan juga memiliki anak buah yang jumlahnya lumayan di terminal, sehingga mereka ditugaskan menjagaku. Ah...baru kali ini aku merasa aman jika berada di terminal. Anak buah Aba Lan di terminal juga sering menyapaku dengan panggilan “Ibu Guru”. Kadang mereka menawarkan ojek gratis padaku. Alhamdulillah....

      Aba Lan juga mengenalkanku dengan sopir-sopir bus lainnya. Uniknya, dan belum pernah aku alami selama hidupku, setiap mereka bertemu dengnku di jalan, pasti mereka mengklakson dan memanggilku. Ah senangnya....aku punya keluarga baru di terminal ^_^

      Selain naik bus, ada juga kendaraan lain menuju Parado. Hanya waktu keberangkatan saja yang berbeda. Kendaraan itu adalah bemo. Bemo, jika di Jakarta adalah angkutan bermotor yang beroda tiga, tetapi jika di Bima, bemo adalah angkutan bermotor biasa, atau orang jakarta menyebutnya angkot. Sopir yang kukenal pertama kali bernama Aba Hafid. Aba Hafid ini orangnya lucu dan suka bercerita. Maka itu aku suka jika naik bemo Aba Hafid, aku duduk di kursi sebelah sopir. Selain bisa berbagi cerita, aku juga bisa belajar bahasa Bima bersama Aba Hafid.

     Yah...itulah sepenggal cerita tentangku, terminal bus dan sopir angkutan. Babeh, lihatlah sekarang anakmu bisa berada disini, bisa berbaur dengan tempat dan dunia yang dulu Babeh geluti sejak kecil. Babeh, walaupun tubuhku kecil dan masih sering dibilang anak SMP/SMA, tetapi aku punya banyak teman di terminal mulai dari tukang parkir, tukang ojek, sopir bus, sopir bemo, dan lain-lain. Babeh, tenang ya, anakmu bisa menjaga diri, mereka yang babeh bilang harus diwaspadai, kini menjadi pelindungku, tapi tenang Babeh, aku tetap waspada.


Cerita Lainnya

Lihat Semua