info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

The Power of Cooking

Noveri Maulana 27 Juli 2012
Sudah pernahkah saya bercerita tentang hobi saya yang agak tidak biasa untuk anak laki-laki? Well, let me tell you now! Entah kenapa, dari dulu saya hobi masak. What? Masak?? Yaa..yaa..yaaa..., ndak usah heran begitu. Ini lumrah saja! Coba lihat, chef terkenal dan para koki ternama kebanyakan laki-laki bukan? Apa salahnya kalau saya juga suka masak? Tapi for your information aja, walau suka masak, badan kekar dan kejantanannya tidak bisa diragukan loh! Hehehe :D So, sebagai Orang Padang yang gemar masak, di daerah penempatan ini pun saya sering nongkrong sama ibu-ibu ngomongin masakan dan bumbu-bumbu dapur. Yah, walaupun belum kelas kakap, tapi ilmu masak-memasak saya tidak bisa diragukan. Apalagi, dengan masakan ala Padang, pengalaman dan jam terbang saya di dapur pun cukup bisa diandalkan. Nah, hobi dan sedikit ilmu tentang masak-memasak inilah yang menjadi salah satu senjata bagi saya untuk melakukan pendekatan dan silaturahmi dengan masyarakat di kampung. Seringkali, saya berkunjung ke rumah warga dan mencoba beberapa resep di sana dan disantap bersama masyarakat sekitar. Hasilnya? Cukup mengkhawatirkan! Haha :D Suatu ketika, seorang tetangga saya pernah mengundang untuk masak di rumahnya. Kebetulan, ia punya 2 ekor bebek yang ingin disembelih dan dimasak, tapi dia tidak tahu cara memasaknya gimana. Kata mereka sih, coba dibuat bumbu Padang! Nah, mendengar ada daging bebek, saya langsung tertarik. Yah, you know lah, di sini, ayam, bebek, dan segala jenis daging lainnya adalah ‘makanan mewah’ yang hanya bisa disantap ketika ada hajatan perkawinan. Untuk memastikan, saya menelpon mama yang ada di Padang, bertanya kembali tentang bumbu dan proses pembuatannya. Setelah dikasih wejangan, akhirnya saya pun mulai beraksi di dapur rumah sebelah itu. Dari dua ekor bebek itu, saya membuat tiga menu. Gulai Bebek, Bebek Goreng, dan Tumis Bebek, dan pastinya semua pake bumbu Padang. Selesai satu jam berjibaku di dapur, tiga menu itu pun jadi dan siap disantap. Anggota keluarga dan beberapa tetangga sudah berkumpul untuk menunggu menu yang siap disantap. Tak lama berselang setelah diangkat dari tungku kayu, bebek pun mulai ludes satu persatu. Semua orang makan dengan lahap, tapi yaah, tetap ada saja satu dua orang yang tidak suka makan bebek. Tidak terbiasa katanya! Jadi walau bebek ini bukan bebek biasa dengan bumbu Padangnya, mereka tetap tidak tertarik. Tak lama berselang, bebek pun ludes. Mereka mulai tertawa, kenyang dan mulai bersendawa. Tapi, tak lama setelah itu, mulailah malapetaka itu datang seketika. Satu persatu mulai merasakan gejala aneh di perutnya. Ada yang mulai kontraksi, ada yang sekedar berbunyi, dan ada juga yang mengernyitkan dahi. Efek bumbu Padang yang terkenal dengan ‘pedasnya’ mulai menampakkan hasil. Walau tadi makan kepedasan, tapi mereka tetap lahap hingga bebek hanya tinggal beberapa bagian. Tapi sekarang, selain mulut yang masih kepedasan, mereka pun mulai merasakan gejala lain yang cukup menggelikan. Padahal tadi, bumbu-bumbu yang saya masukkan bukanlah kelas berat untuk menu selera Padang asli, itu sudah saya modifikasi. Tapi, tetap saja, lidah Orang Mandar memang tidak terlalu suka dengan makanan pedas. Jadilah, mereka mulai merasakan aksi-aksi kecil di perut dan kerongkongannya. Tapi syukurlah, gejala dan kontraksi yang mengernyitkan dahi itu tidak berlanjut pada tahap mengkhawatirkan. Selang beberapa lama, semuanya kembali ke sediakala. Dan, saya sebagai koki yang bertanggungjawab tentang keselamatan konsumen, bisa berlapang dada. Lain ketika saya juga pernah masak bersama pemuda-pemudi satu kampung. Suatu ketika setelah musim panen padi tiba, salah satu keluarga mengundang saya untuk membuat satu menu dengan beras ketan hitam yang ia punya. Bagi orang di sini, ketan hitam itu biasanya hanya dibuat menjadi baje, sejenis wajik atau dodol dari ketan. Mereka tidak pernah memasak bubur ketan hitam. Nah, jadilah saya beraksi lagi untuk membuat bubur ketan hitam. Setiap acara masak-masak begini, biasanya saya hanya meminta orang itu untuk menyiapkan bahan pokok dari menu yang hendak dibuat. Sebelumnya, si tuan rumah menyiapkan bebek, dan kali ini tuan rumah menyiapkan beras ketan hitam dan kelapa. Jadilah saya bergerilya dan berbelanja ke warung untuk membeli bumbu tambahannya. Kali ini, kami masak malam hari. Saya ajaklah beberapa muda-mudi yang kebetulan sedang ada di kampung karena musim libur sekolah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan silaturahmi dan meruntuhkan kebekuan komunikasi yang terjalin selama ini. Saya memang jarang berkomunikasi dengan anak remaja itu karena mereka jarang berada di kampung. Sebagian besar mereka tinggal di kecamatan untuk bersekolah di SMP atau SMA yang memang hanya ada di ibukota kecamatan. Jadi, sehari-hari di kampung, saya memang jarang bertemu mereka. Jadilah, momen masak-memasak ini saya gunakan untuk meningkatkan silaturahmi dengan mereka. Di dapur pun kami beraksi. Para lelaki hanya duduk dan ngobrol di ruang tengah, sedangkan saya dan para pemudi, berjibaku di dapur. Awalnya, mereka masih segan dan sedikit canggung untuk berbicara dan bertindak ini itu. Yah, yang mereka hadapi adalah seorang guru, jadi tidak bisa bercanda atau berbicara sembarangan. Namun, bagi saya, justru rasa hormat yang terlalu berlebihan itulah yang membuat suasana semakin beku. Jadilah, saya mulai melancarkan beberapa jokes dan mengerjai beberapa orang. Tak ketinggalan pula, remaja-remaja ini pun akhirnya mulai dekat dan berani joget-joget dangdut campur korea dengan dentuman musik dari HP loudspeakernya. Bapak yang punya rumah pun hanya bisa senyum dan tertawa. Satu jam berhadapan dengan tungku di dapur, akhirnya bubur ketan hitam pun jadi dan siap disantap. Tanpa diduga, ternyata selagi sibuk di dapur, di ruang tengah sudah banyak orang berdatangan. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Rumor pun beredar ke seantero kampung, Pak Guru sedang buat acara di rumah sana, ayo ke sana makan-makan!! Begitulah himbauan yang beredar dari satu mulut ke mulut lainnya. Untung saja, ketan hitam yang kami masak cukup banyak, mungkin lebih dari dua kilogram. Jadi, semua warga yang hadir malam itu bisa menikmati bubur ketan hitam ala kadarnya. Tak lupa pula, beberapa koki tadi yang ikut bergabung bersama saya, juga bisa membawa ekstra ke rumah untuk keluarganya. Yah, begitulah, segala cara saya lakukan untuk melakukan pendekatan dengan warga dari berbagai lapisan usia. Sebagai seorang pendatang yang ingin berbuat sesuatu di komunitas ini, saya sadar harus melakukan pendekatan personal dengan semua warga agar pesan yang hendak disampaikan bisa diterima dengan baik.

Cerita Lainnya

Lihat Semua