Asrama Dari Desa

Khairil Hanan Lubis 27 Juli 2012

 

Ini kisah tentang sebuah desa kecil nan terpencil yang sanggup membangun asrama bagi anak-anaknya yang menjadi mahasiswa.

Petang itu beberapa tetangga saling mengobrol di teras rumah. Aku tak begitu paham apa yang dibicarakan karena menggunakan bahasa daerah. Tapi terlihat seru kali.

“Orang-orang yang kerja bangun asrama di Ambon baru sampai. Tadi naik kapal Sabuk,” kata salah seorang warga padaku.

“Bangun asrama untuk apa?”

“Untuk anak-anak mahasiswa dari Lamdesar Barat yang ada di sana.”

Lamdesar Barat merupakan salah satu desa di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Letaknya di ujung timur Pulau Larat. Dari Saumlaki, ibukota kabupaten tersebut, naik ferry 16-20 jam untuk sampai di Larat. Lanjut lagi dengan motor laut selama 4 jam atau via darat 3-4 jam untuk sampai di desa itu. Tak ada transportasi umum karena parahnya kondisi jalan. Tak ada sinyal. Listrik pun terbatas.

Tapi keterbatasan tak pernah menghalangi keinginan kuat mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.  Mereka pun merelakan sebagian lahan mata pencaharian mereka di laut guna mendapatkan dana membangun asrama mahasiswa di Ambon.

Sebagian wilayah laut Lamdesar Barat, tempat mereka biasa mereka mencari “makan”, telah dikontrakkan pada seorang pengusaha selama lima tahun. Jadi selama kurun waktu itu si pengusaha bebas memanfaatkan hasil laut. Masyarakat yang tetap ingin memanfaatkan wilayah itu boleh saja, tapi hasilnya harus di jual pada pengusaha tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar.

Nilai kontraknya dibayarkan di awal. Uangnya pun langsung di dapat. Maka, di pilihlah 20 orang warga yang dianggap handal dalam bidang bangun-membangun. Sebagian besar berumur paruh baya. Mereka berangkat dengan kapal Sabuk Nusantara dari Larat, menempuh perjalanan 3 hari, untuk membangun asrama bagi anak-anak mereka di Ambon.

Selama ini anak-anak Lamdesar yang berkuliah di Ambon kerap putus kuliah karena persoalan biaya. Ada yang akhirnya memilih bekerja, ada pula yang akhirnya pulang kembali. Orang tua mereka tak bisa banyak mengirim uang. Rata-rata penghasilan warga Lamdesar Barat, hanya Rp 300 ribu perbulan.

Karena itu buat mereka, tempat tinggal adalah modal awal yang paling penting. Mereka tak perlu lagi bayar ongkos karena asrama ini dibangun masih dalam lingkungan Universitas Pattimura. Selain itu mereka juga bisa tenang mencari pendapatan lain tanpa perlu lagi memikirkan tempat tinggal. Setidaknya, mereka tak perlu mengemis-ngemis mencari tempat tinggal atau tidur di emperan toko.

Penasaran, aku mendatangi rumah salah satu warga yang baru pulang membangun asrama tersebut. Ia sakit demam. Kelelahan. Mereka bekerja siang malam karena mengejar jadwal kapal selanjutnya. Dana tak banyak, tak mungkin bisa lama-lama di sana.

Ia bercerita, di malam terakhir sebelum pulang, mereka semua tak tidur. Semalaman mereka berkumpul, memberi macam petuah dan nasehat untuk anak-anak, penentu masa depan Lamdesar Barat.

Dong (anak-anak itu) semua menangis.”

Yap. Anak mana yang tak terharu dibangunkan tempat tinggal langsung oleh orang-orang tua mereka yang datang jauh-jauh dari desa?

Kini berdirilah sebuah asrama sederhana di sana. Temboknya belum lagi sempat di cat. Kamarnya ada 8 untuk total 16 orang mahasiswa.

“Sekarang katong juga tidak susah lae kalau mau mengirim sesuatu, sudah ada alamatnya,” tambah pria bercucu ini.

Ya, begitulah besarnya perhatian mereka terhadap pendidikan. Bersatu untuk kemajuan para penerus mereka. Meski tanpa bantuan sedikit pun dari pemerintah desa.

Asrama ini juga diharapkan menjadi motivasi anak-anak di desa untuk terus bersekolah hingga mencapai bangku kuliah. Sekarang memang belum ada SMA di Lamdesar Barat. SMP juga masih satu atap. Tapi semangat mereka bisa jadi terus terlecut. Karena, sudah ada asrama yang menunggu di Ambon.       

 

Salam,

Manise Tanah Beta!

 

 

 

    


Cerita Lainnya

Lihat Semua