Deru Debu

Beryl Masdiary 27 Juli 2012

Judul sinetron? Jelas bukan. (walaupun menonton sinetron jadi agenda bersosialisasi dan bercerita disini ^^) tapi ini yang kurasakan setelah 3 bulan bercengkrama dengan pasir dan debu Sarae, juga dari 3 hari tercepat selama di Tambora. Ajakan mendadak dari Kepala sekolah untuk menghadiri Diklat Evaluasi Diri membuatku belajar banyak hal, bahwa sekolah menilai kinerja dirinya dari 8 standar; Standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Masing-masing standar berisi poin-poin yang harus dideskripsikan beserta bukti fisik, dibuat rekomendasi dan skala prioritasnya, lalu dituangkan dalam usulan program beserta estimasi biaya dari berbagai sumber, misalnya BOS atau block grant. Tim Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) NTB yang harus memperjuangkan rekomendasi program di DPRD meminta kami menyelesaikan seluruh laporan dalam waktu 3 hari. Bukan waktu yang singkat, kalau semua orang punya media pengetikan, pencetak, pemindah data. Tetapi menjadi waktu yang cukup lama jika satu orang harus melengkapi data 4 sekolah sekaligus. Debu di SMPN 3 Tambora menjadi saksi bahwa kami harus menderu, mengikuti persyaratan administrasi demi dibangunnya pagar sekolah atau peningkatan kualifikasi para guru yang sebagian besar masih berstatus tenaga sukarela.

Setelah Evaluasi diri dibuat, kertas sebesar data tenaga pendidik pun rasanya tak cukup untuk memuat daftar pekerjaan yang harus dilakukan. Proposal stimulan perbaikan sekolah, menghidupkan kelompok kerja guru, menyusun seluruh silabus dan RPP, inisiasi ekskul, serta remedial dan pengayaan harus dikerjakan tahun ini. Belum lagi seabrek kelengkapan administrasi dan rapat-rapat yang harus segera diadakan. Mengamati para kepala sekolah bermata teduh, sederhana tapi bersahaja, dan para guru yang semangat mengisi borang dengan kunyahan jajan Bima dan isapan rokok Surya, aku menyadari (lagi) satu hal. Tentang perjalanan ini, dan nanti.

Aku pernah menganggap kehidupan ini seperti video game, dan menamai diriku sebagai bebe the explorer yang harus mengikuti set permainan sampai selesai. Kenapa video game? Karena kita dilengkapi dengan versi nyataplay, pause dan stop. Tombol play akan selalu ONjika kita masih menjalani hidup dan menyelesaikan apa yang ada di depan, belakang, atau kiri dan kanan kita. Kita mengisi hidup dengan berbagai upaya dan harapan,  terus meringsek kedepan karena waktu memandu kita untuk begitu. Ada saat-saat pause ketika kita diminta untuk beristirahat (baca : sakit), memperbaiki diri (baca: ditolak atau diberhentikan dari sesuatu), atau merefleksi diri (baca: keluar dari rutinitas, mencoba sesuatu yang baru). Stop hanya akan berlaku ketika kita sudah diminta kembali dari kehidupan, untuk berpulang kepada-Nya. Jangan tanya tombol replay, karena hanya Dia yang pegang kuasa untuk itu. Dia pula yang memberi kesempatan buat kita untuk kembali ke permainan sebelumnya atau memulai semuanya dari awal, walaupun dengan kondisi yang berbeda.

Memulai petualangan di Indonesia Mengajar bagi seorang bebe the explorer adalah hal yang mendebarkan dan memberikan pengalaman baru setiap hari. Setelah track panjang lurus (medannya hanya naik turun, dengan sedikit kesepian dan banyak keramaian disana sini) pada saat training, kendaraan 72 orang ini telah sampailah pada saat yang dicita-citakan (kok jadi kaya pembukaan UUD? :p), yaitu tempat yang luar biasa indah, dengan banyak “benda” berserakan di mana-mana, terutama di pondok yang namanya “pendidikan”. Dilengkapi perbekalan ketika training, kini kami harus mengolah dan menggunakan “bekal” itu untuk menempuh 365 hari perjalanan yang berliku, meniti peta berwarna-warni dengan jalan yang tak selalu mulus, petunjuk jalan yang tak selalu jelas, pihak yang tak selalu ramah, dan hasil akhir yang tak selalu sama persis dengan yang kami harapkan. Tantangan yang kami hadapi bersifat look alike, serupa tapi tak sama, hingga cara dan senjatanya pun bisa berbeda-beda. Keputusan bahkan tak selalu benar, tetapi multiperan sebagai smart picker, planner, excecutor, balancer dan relationship maintainer membuat kita memiliki energi yang terbarukan setiap hari. Mengingat betapa sempitnya waktu namun begitu besarnya cinta, setiap bata untuk membangun 4 dimensi kinerja pengajar muda harus disusun perlahan tapi pasti. Semua yang tak sama dan tak selalu itu muaranya sama, to stop curse the darkness and light the candles, dengan Corps Spirit Pengajar Muda.

Oh ya, Selamat membuat sentuhan terakhir, Pengajar Muda I!

Selamat bermain cantik di tombol Play-part Indonesia Mengajar, Pengajar Muda II!

Dan, selamat datang Pengajar Muda III & IV! ;)

*ditulis dengan penuh semangat di tengah masa penugasan


Cerita Lainnya

Lihat Semua