Selamat Jalan Bapak Desa

Novandi Kusuma Wardana 5 Maret 2017

Pagi di minggu awal bulan November, suasana terasa lebih sepi dari biasanya. Aku lihat jam tangan yang kutaruh diatas tumpukan buku ternyata masih jam 5.40 pagi. Ku buka pintu kamar dan melangkahkan kaki ke arah kompor yang ada di sudut belakang rumah kopel distrik yang kutinggali. Kunyalakan api dan kurebus air untuk membuat minuman hangat pengganjal sebelum mengajar di sekolah. Belum mendidih air yang kurebus kudengar sayup sayup gema suara toa keliling menggunakan perahu memberikan  sebuah pengumuman, masih belum terdengar jelas apa yang Bapak Linda (sepertinya yang bertugas saat itu) sampaikan. Sampai putaran dayung mendekat ke arah komplek rumah kupasang daun telingaku baik-baik. “Telah meninggal Kepala Desa Wooi pada tanggal 4 November pada pukul 03.00 pagi, ibadah pemakaman akan dilaksanakan pada 6 November”. Seketika itu aku diam, “Meninggal? Jadi bagaimana rencana kami tentang diskusi mengenai sekolah, membuat pencatatan penduduk desa?”

Aku dan Pak Noak Wihyawari

Perkenalan kami dimulai sejak bulan Juni 2016, seperti biasa untuk memperkenalkan diri dan ijin untuk melaksanakan tugas selama satu tahun kedepan. Baru kutahu namanya setelah perkenalan kalau nama beliau adalah Noak dari marga Wihyawari. Karena kesibukan aparat kampung mengurus berbagai administrasi di kota sehingga pertemuan kami pun tidak dapat dikatakan sering. Putrinya – Naomi Laksmi Wihyawari – adalah muridku yang sekarang duduk dibangku kelas 4. Karena jarangnya bertatap muka dengan beliau aku hanya sering menitipkan salam ke putrinya “Naomi bapak ada?” kalau jawabanya ada aku bilang “tolong sampaikan bapak ya, Pa Guru mau main kerumah” atau kalau Naomi bilang “Bapak pi serui” berarti aku hanya menitipkan salam dan pesan kapan pak guru bias ketemu. Sampai akhirnya di bulan Agustus aku dengar bapak desa sakit dan harus bolak balik ke Serui untuk berobat. Masih ingat di memoriku saat perayaan Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 71 kemarin beliau tidak ada di jajaran kepala desa dan pejabat distrik yang berdiri bejejer. “Bapak sakit parah kah?” dalam hati pertanyaan itu muncul.

Beberapa hari setelah upacara dan perayaan 17 Agustus itu aku berencana kerumah beliau. Sepulang sekolah disiang itu aku bertanya ke Naomi, “Bapak ada?” Naomi pun menjawab “ Ada pa guru”. Tanpa ijin kepada Naomi kalau aku hendak berkunjung lalu kuambil tasku diruang kantor dan berjalan sendiri kerumah beliau. Kulewati jembatan kayu dan tibalah di jalan terakhir menuju rumahnya di belakang balai desa. Pelan pelan aku lewati jembatan yang disusun dari bambu itu supaya orang dapat masuk ke rumah beliau. “permisi selamat siang” aku sedikit menoleh ke pintu rumahnya yang terbuka ternyata pak desa sedang duduk di dalam rumahnya sambil sedikit-sedikit mengeluarkan batuk. “Mari pak guru silahkan masuk, aduh bapak tara tau kalau pa guru mau datang, tara siapkan apa-apa lagi” sambil membungkukkan badan aku masuk perlahan dan duduk didepan beliau. Gelagatku mungkin sudah kelihatan kalau aku mau menjenguk beliau , bukan untuk keperluan lainnya. “Bapak pucat sekali, mohon maaf bapak saya dengar bapak sakit ya dan dibawa ke Serui” Bapak desa menjawab “itu sudah pa guru, saya ini rasa sakit sekali apalagi kalau tidur malam itu batuk itu tara berhenti-berhenti dan badan itu menggigil” pembicaraan terus berlanjut, bapak cerita tentang diagnose dokter yang katanya terlalu banyak merokok, tidak ada malaria, yang mantra beberapa waktu sudah memberikan obat dan suntikan, dan juga menurut kepercayaan lokal beliau mendapat serangan dari seseorang yang jahat alias sakit suwanggi? “bapak sebelum saya pulang saya boleh ijin mendoakan bapak sesuai dengan kepercayaan agama saya?” lantunan doa yang kuucapkan lirih itu pun diaminkan oleh bapak, aku tidak tahu apakah boleh atau tidak tapi sepengetahuanku kesehatan adalah hak universal, dan sebagai manusia saya wajib melaksanakan tugas saya sebagai manusia yaitu mendoakan manusia yang lainnya.

Sejak kesempatan aku menjenguk beliau aku hanya mendengar kabar kesehatan beliau dari anaknya, atau kadang aku bertanya kepada bapak Nelius tetanggaku yang masih satu marga dengan beliau. Aku dengar kabar yang mungkin bukan sesuatu yang ku harapkan, dimana kondisi beliau tidak membaik malah semakin parah. Sengaja kabar itu tidak kuminta ke putri beliau karena pernah kutanya namun justru membuat Naomi kecil sedih. Minggu kedua bulan Oktober pun datang, hari ini aku yang memimpin piket guru sekolah. Seperti bisasa setiap pagi anak-anak kubariskan sebentar, menyanyi lagu pujian, dan berdoa. Tangan-tangan kecil itu menggenggam erat dan dilafalkan doa. Selagi anak-anak berdoa aku pun juga dengan mengadahkan kedua tanganku keatas sambil berpikir kalimat apa yang akan ku keluarkan setelah doa diakhiri. “Selesai” Ketua kelas memberi aba-aba selanjutnya yaitu salam “Selamat pagi bapak ibu guru dan teman teman” ku jawab pagi dan mereka balas menjawab serentak “pagi!”. “hari ini sepulang sekolah pa guru akan mengajak seluruh murid yang tidak keberatan untuk datang kerumah bapak kepala desa kita”. “kalian tahu kah kitorang mo bikin apa kesana “ anak-anak menjawab “jenguk orang sakit”, kabar tentang sakitnya bapak desa pun meluas, seantero Teluk Rembai ini sudah tahu termasuk anak-anak. Setelah lonceng pulang dibunyikan rombongan anak-anak yang besedia ikut sudah siap berkumpul di depan kelas 5. Kira-kira sekitar 20 anak, kebanyakan anak kelas 4 teman Naomi. Saya memberikan kode dan kamipun berjalan. Diperjalanan saya berpesan kepada anak-anak untuk menjaga sikap karena hari ini kita bukan berjalan untuk bermain-main tapi untuk mengunjungi orang sakit dan anak-anak pun menjawab lirih “iyo pa guru”. Karena rumahnya tidak terlalu jauh kami pun segera sampai. Belum masuk ke dalam rumah kulihat dari celah lorong itu keluarga sudah duduk dengan raut wajah muram, suasana tegar yang coba kupasang itu bobol juga dengan suasana rumah yang memang benar-benar muram, belum jadi masuk kerumah pun seseorang yang sambil menahan isakan tangis mempersilahkan aku masuk. Kuberi kode anak-anak untuk mengikutiku berjalan dari belakang.

Sampai didalam rumah pak desa sudah terbujur layu dikelilingi anak-anak dan keluarganya. Ketika pak desa dibantu untuk duduk aku langsung menyela “tidak usah kakak, biar tidur sudah”. Ketika sudah duduk rapi semuanya langsung saja aku mencoba mengajar bicara dengan bapak desa “Bapak, bagaimana? “ tapi dengan susah menjawab saya terjemahkan apa yang keluar dari lisannya, beliau bilang badan semua terasa sakit semua. Karena takut terlalu lama bertamu, maka saya memohon ijin kepada keluarga bapak desa “Bapak , Ibu, saya ijin dengan anak-anak sembayang untuk bapak desa!” karena anak-anak tidak ada yang bersedia memimpin doa akhirnya saya yang menuntun anak-anak berdoa.”Anak-anak pak guru akan berdoa sesuai keyakinan pak guru, dan kalian silahkan nanti menyesuaikan dengan menyebut nama tuhan kalian juga. Mengerti ya?” anak-anak mengangguk. Perlahan doa saya ucapkan dalam kalimat bahasa Indonesia karena Tuhan Maha Mendengar hamba Nya. Doa sedikit demi sedikit saya panjatkan kehadirat Nya. Tangan saya mengadah keatas, dan anak-anak menundukkan kepala dan mengepalkan tangannya. “Aamiin”, tanda doa telah selesai. Langsung saja saya mencoba menjabat tangan kepala desa beserta anak-anak lainnya. Beliau berkata “terimakasih” sambil meneteskan air mata.

Namun jalan Tuhan siapa yang tahu? Sejak kali terakhir aku dan muridku datang kerumahnya kabar kondisi kesehatannya tidak berangsur membaik. Sampai akhirnya beliau dipanggil selamanya untuk beristirahat di alam yang sejatinya tempat kita hidup nanti. Seluruh prosesi pemakaman aku ikuti sebagai wakil dari sekolah dan sebagai guru dari putri beliau, Naomi. Sampai jenazah diangkat keatas perahu dan dibawa ke pperistirahat terakhir yang ada di ujung desa, diatas pantai menghadap ke Teluk Cendrawasih. Sampai senja datang dan mengantar kepulangan kami dari tempat pemakaman itu. Semua warga desa berduka, juga Naomi kecil. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua