Rumah Baru, Keluarga Baru

Novandi Kusuma Wardana 5 Maret 2017

Apa yang terjadi esok hari adalah kejutan, bukankah begitu?

Menjadi seorang Pengajar Muda adalah sebuah mimpi. Setelah di dua kesempatan sebelumnya gagal dalam proses seleksi tahap esai, akhirnya di kesempatan ketiga ini bisa juga tembus. Tidak lain adalah karena DUIT. Iya DUIT sangat berpengaruh kawan, Doa – Usaha – Ikhtiar – dan Tawakal. Terutama doa ibu, it works sekali. Setelah menjadi dinyatakan menjadi pengajar muda pasca menempuh berbagai pelatihan akhirnya kabar penempatan itupun datang. “Novandi Kusuma Wardana – Papua (Kab. Kepulauan Yapen”. Kejutan kedua muncul. Papua? “Syukurin le, dari dulu selalu bilang ke papua – ke papua sekarang ke Papua juga to?” jawaban orang tua dengan bahasa jawa ketika saya kabarkan tempat penempatan saya. Ke Papua adalah bercandaan saya dengan ibu saya, ketika dirumah atau dipasar. Ibu besok aku main ke Papua ya, bu aku ke Papua ya….” Ibu saya mungkin semakin sensitif mendengar kata main karena sebelumnya sudah main-main terus. Jadi hari-hari di pasar mungkin adalah sebuah penebusan karena tidak pernah membantu ibu dirumah dan memang bekerja di pasar juga merupakan aktivitas yang sangat saya nikmati. Sejak kecil memang saya ingin ke tanah yang dulu disebut Irian Jaya itu, ingin dalam hati, namun memang nihil ikhtiar. Jadi siapa yang akan memberi jalan jika usaha tidak dipanjatkan?

Segala cerita tentang alumni PM di berbagai penempatan lain menambah imajinasi saya ketika ke Papua nanti. Aduh pasti nanti di Papua begini-begitu, dan yang juga penting adalah “pasti di Papua nanti saya juga dapat keluarga asuh/piara seperti Pengajar Muda lainnya”. Harapan adalah harapan, namun besok tetap kejutan. Namanya kejutan siapa yang tahu?

6 Juni 2016 hujan rintik menyambut saya di sebuah desa bernama Wooi, kapal hanya berlabuh ditengah laut, perahu hilir mudik menjemput penumpang yang datang. Segala doa dan angan-angan sudah berada di pundak. Setelah lompat dari kapal ke perahu motor – langsung ke papa atau mama piara – bincang kanan kiri, ngalor ngidul – ketemu kepala desa dan stake holder – dan bisa tidur sebentar merebahkan badan. Siapa tahu ada upacara penyambutan makan ikan laut dan sebagainya.

Perahu yang saya tumpangi melaju, sambil lambaian tangan dari Kak Haiva (Tim Assesment) dan Agung penempatan di Poom. Saya saat itu sendiri, benar-benar sendiri. Sudah tidak ada orang yang saya kenal. Hari itu hanya rintik hujan dari Tuhan yang menemani saya. Tuhan Kejutan apa yang selanjutnya Kau berikan?

Perhau sampai sandar disebuah rumah, yang ternyata adlah rumah kepala sekolah. Karena belum biasa berjalan di perahu bapak yang mengantar tadi memberikan aba-aba perlahan hingga saya sampai di depan rumah berlabuh di laut. Barang dinaikkan dan bapak itu turun kembali ke perahu dan meninggalkan saya. Seorang perempuan sebaya saya yang ternyata adalah anak mantu kepala sekolah menyambut saya. “Selamat pagi, saya Vandi dari Indonesia Mengajar. Kalau boleh tahu bapak kepala sekolah ada?””Selamat pagi juga. Saya agu pa kep pu anak mantu. Aduh eee bapak tara ada, bapak ada di Serui”. Saya disini, bapak disana. Saya di Wooi, beliau di Serui. “Ibu, kalau tau bapak pesan tidak saya akan tinggal dimana?” Kak Agu menjawab “ Aduh, bapa tara pesan apa-apa, kalau rumah guru su penuh dengan ibu dorang dari kontrakan.” Baiklah, kemungkinan saya tinggal di kopel guru tidak mungkin terjadi. Jadi saya gunakan pilihan kedua yaitu tinggal dirumah kepala sekolah itu sendiri. “Ibu kalau sementara saya tinggal disini apakah bisa?” bukannya menjawab ibu itu malah bingung menjawab apa, baru setelah celingak-celinguk dia menjawab “kalau ada kamar boleh saja pa guru, sampai pa guru kep ada. Tapi tara ada jadi….” Kemungkinan kedua juga dicoret.

Gerimis masih terus mengguyur desa Wooi ini, sedikit gaduh karena suara pantulannya di atap seng rumah kepala sekolah. Pagi itu dua guru kontrak yang mendahuluiku datang lebih awal 1 bulan pun memperkenalkan diri. Namanya ibu Roberta Saragi dan Endang Akimin, dua guru yang nantinya akan menjadi partnerku.  “Pa Guru belum ada tempat tinggal ya, coba melapor ke Bapa Distrik, kebetulan sedang ada disini.” Langsung saja aku minta antar oleh ibu Endang kepada Bapak Distrik yang rumahnya tidak terlalu jauh.

Perlahan berjalan dibelakang ibu Endang sambil mengamati sekitar yang masih asing dikepala. Sampai rumah Bapak Distrik kami berkenalan. Nama Beliau adalah Ruben Kafiar, asal dari Biak tepatnya Pulau Rani. Segelas kopi disajikan untuk saya, lumayan sedikit menghangatkan badan. “Jadi ada yang mau disampaikan lagi oleh adek ini?” Tanya bapak Distrik setelah saya menjelaskan tugas dan sedikit tentang Yayasan almamater saya ini.  “Begini bapak, jadi ceritanya saya hendak bertugas di kampung ini namun belum tahu akan tinggal dimana. Sedangkan rumah guru sudah penuh. Jadi mungkin dengan bertemu bapak ada solusi yang bisa bapak berikan?” Bapak Kafiar diam dan kemudian masuk kedalam rumah, berbicara kepada seseorang yang ternyata pegawai Distri bernama Andrias Kaisiri yang biasa dipanggil Pak Andi. Setelah berbicara Pak Distrik kembali duduk disebelahku dan berbicara “Pa Guru, tinggal disini saja dulu. Kalau mau ya tinggal terus disini tidak apa. Nanti dikamar depan kalau mau. Biar Andi bersihkan sebentar.” Akhirnya terhitung sejak 6 Juni 2016 Pengajar Muda angkatan 12 bernama Novandi K Wardana tinggal di sebuah rumah distrik bersama seorang pegawai distrik bernama Andrias Kaisiri. Imajinasi tentang keluarga asuh saya sementara tanggalkan, yang penting hari ini saya bisa berteduh, beristriahat, dan mengembalikan kondisi saya yang sedang mabuk laut – meskipun akhirnya sembuh dalam waktu satu minggu.

Tinggal di Rumah Distrik

6 bulan tinggal di rumah distrik, dan lebih sering tinggal sendiri. Dan mungkin 1 bulan sekali baru bertemu pejabat distrik karena mungkin urusan administrasi di kota yang tidak dimungkinkan untuk ditempuh perjalanan pulang pergi dalam waktu satu hari. Di rumah distrik cukup menyenangkan juga, terlebih ada Bapak Nelius, yang menjadi teman ngobrolku karena rumah kami berhadapan. Beliau bekerja sebagai honor di Distrik Wonawa ini, dan salah satu tugasnya adalah menjaga komplek distrik. Tak elak jika Bapak Nelius ini merebus air di dapur rumahnya, segelas kopi bertamu kerumahku “Permisi pa Guru, ada kopi ini.” Atau kadang kalau ada rejeki berlebih “Pa guru permisi, ada nasi ini… pa guru makan sudah “ begitulah bapak Nelius. Tidak hanya bapak Nelius, kelima anaknya juga sering main dirumahku, Jack, Naomi, Desi, Shanti, Martha. Meski hidup sendiri, masak sendiri, mencuci sendiri, bersihkan rumah sendiri, tidur sendiri, dirumah sendiri, namun kadang anak-anak ini datang juga anak murid lainnya.

Namun sejak istri bapak Nelius (Mama Desi) sakit parah pak Nelius hanya sebentar di rumah distrik, dan istrinya dipindahkan di rumah mertuanya. Jadi bolak-balik pak Nelius ke rumah Distrik. Dan lebih sering tidur menemani istrinya yang sakit. Dalam waktu beberepa waktu sekali harus menemani istrinya berobat hingga ke Jayapura. Suasana rumah distrik semakin sepi. Anjing Pak Nelius bernama Rambo dan Maituanya bernama Hunter dan 2 anaknya yang bersedia menemani didepan rumahku. Jika tiba jam makan maka para anjing menungguku untuk memakan sisa makan dan sisa masakan yang tidak habis disantap. Sesekali Rambo tidur di depan pintu rumah, dan kadang juga semua anjing tidak ada karena ikut anak-anak pak Nelius ke rumah Tete (baca : Kakek) mereka. Mungkin jika terus dilanjutkan, secara pribadi masih sanggup tinggal sendiri di rumah distrik ini sampai akhir penempatan. Tapi dalam perenungan saya bahwa tujuan pengajar muda ikut tinggal bersama warga dan memiliki keluarga asuh tidak lebih adalah sebagai pembelajaran sebagai masyarakat. Tentang, nilai, norma, dan adat yang ada, bukan tentang saya pribadi tapi bagaimana merasakan menjadi mereka.

Terlebih waktu 6 bulan ini dengan segala usaha pendekatan masyarakat dirasa cukup untuk menentukan keluarga mana yang bersedia menampung saya. Mungkin selama di rumah distrik saya secara bebas mampu mengatur makanan saya, ibadah saya, dan aktivitas lainnya. Namun pastinya ketika bergabung dengan sebuah keluarga baru saya harus besiap untuk penyesuaian. Akhirnya tekat untuk berpindah itu sudah bulat. Segala persiapan saya lakukan, dari memberikan pemahaman kepada bapak Distrik yang sangat baik dan mempersilakan saya untuk terus tinggal di rumah distrik. Juga persiapan lain seperti bertanya ke teman lain apa yang perlu dipersiapkan ketika ikut tinggal bersama masyarakat.

21 November 2016, semua barang telah saya kemas dengan rapi. Sedikit saya berjalan berputar di rumah distrik memastikan tidak ada yang tertinggal. Juga memastikan tidak ada barang milik distrik yang terbawa saya. Saya pastikan rumah sudah dibersihkan dan ditata dengan baik. “Pa guru..tok ..tok … tok… paguru, tong su siap. Bawa sekarang kah ..” anak-anak sudah menunggu didepan rumah. Sebelumnya mereka sudah kuberitahu kalau aku mau berpindah rumah, maka kuminta mereka untuk membantuku. Satu persatu anak-anak masuk kerumah membawa barang bawaanku keluar meniggalkan rumah. Sedikit sedih, sedikit berat juga. Waktu 6 bulan ini bukanlah waktu yang sebentar untuk tinggal di rumah distrik ini. Di rumah ini aku terbiasa menghabiskan waktuku dibelakang rumah. Di teras belakang tempat menjemur pakaian sendari minum kopi atau teh sambil menghabiskan waktu membaca buku yang dikirim oleh teman dan keluargaku disana. Kadang juga kalau tidak membaca buku, kuhabiskan waktu untuk melihat anak-anak yang mandi-mandi di kolong rumah atau juga anak-anak yang mencari bia’ saat air surut. Sering juga mama-mama yang mendayung hendak mengambil air menyapaku “Pagi pa guru, ..” “ mari pa guru ….”.

Keputusan sudah bulat, apa yang terjadi 6 bulan kedepan adalah kejutan. Sore ini di minggu ke tiga bulan November kutinggalkan rumah distrik. Kuserahkan kunci sambil berjabat tangan kepada Pak Nelius untuk pamit. Besok aku akan memulai kehidupan baru, kehidupan baru bersama keluarga Bapak Moses Horota. Keluarga yang kupilih untuk menemani selama masa penugasanku di Wooi ini. Apa pun yang terjadi besok dirumah baru itu adalah kejutan dan pembelajaran untukku. Selamat datang keluarga baru, sampai jumpa rumah distrik. Terimakasih bapak Kafiar, terimakasih Bapak Andi Kaisiri, terimakasih ibu Distrik, terimakasih Bapak Nelius, terimakasih Tuhan Subhanahuwataalla. Terimakasih untuk perjalanan baru di keluarga baru ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua