Am I Coach?

Novandi Kusuma Wardana 16 Maret 2017

Jika harus cerita mundur tentang diri saya dimasa yang lalu, saya adalah tipe orang yang memilih untuk tidak sering berbicara didepan umum. Lebih memilih membuat sebuah karya dibelakang, tanpa orang tahu dan tidak perlu banyak waktu yang digunakan untuk bicara didepan orang banyak. Namun setidaknya saat bergabung menjadi pengajar muda Indonesia Mengajar, tanpa banyak bercerita tentang kekurangan saya itu nampaknya beberapa teman secara natural tahu. Dan dengan bantuan mereka lah saya disuruh untuk belajar untuk belajar berbicara dimuka umum. Mereka yang selalu merepotkan diri untuk saya adalah saudara saya Dika Marantika, Nurreza Rachman, Ibda F. dan Annissa Dwi Astuti. Salah satunya namanya adalah Ricky Kurniawan, kawan penempatan Maluku Barat Daya yang saya pernah ingat saya pernah paksa Ricky dengan bahasa Jawa, “ Rik, mbok aku diajari ngomong ning ngarep.. mbok aku diajari cara coaching i pie?” kutanyakan pada Ricky karena menurutku dia salah satu teman angkatan yang punya cara komunikasi yang baik, terlebih saat harus didepan memberikan pelatihan kepada teman lain. Tidak heran saya sering memanggil dia “Coach”. Namun begitulah Ricky yang selalu merendah “Opo lho mas, koe kan yo iso to... hahaha”.

25 Februari hari itu adalah hari yang begitu mendebarkan bagi saya. Untuk pertama kali dalam hidup, saya diberikan kesempatan untuk mengisi pelatihan guru SD dan SMP di Teluk Rembai. Tulisan di dinding itu “In House Training : Pelatihan Guru Kreatif dan Inofatif”. Tantangan itu datang pada tanggal 23 Februari siang, Kepala Sekolah SMP N Wooi Khaerudin Siswanto yang menyampaikan, “Pak Guru, besok tanggal 25 bisa kasih pelatihan ke guru-guru?” meskipun sebelumnya juga pernah mengisi untuk siswa SMP Wooi, namun kali ini yang dihadapi adalah guru, dimana rata-rata guru di Wooi ini adalah guru senior. “Hmm.... (sedikit mendeham) insyallah bapak, materi saya siapkan dulu bapak ya.” Kesempatan mungkin bagi saya untuk belajar lagi tanpa bermaksud menggurui guru lain, justru ini waktunya untuk belajar.

Supaya tidak merasa terbeban, tanggal 24 Februari ku hubungi Tuti menanyakan materi, kuhubungi temanku Mega lumni PM juga yang mungkin sebelumnya pernah melakukan hal yang sama. Ide dari kedua temanku kemudian kupilah dan kutambahkan beberapa, setidaknya pilihan itu masuk dalam materi yang “sesuai” dengan kebutuhan guru di Teluk Rembai ini dan menjawab permasalahan yang ada.

Hari itupun tiba, panas terik semakin membuat keringat mengucur deras. Kemeja yanag tadinya kering menjadi sedikit basah. Kuatur nafasku supaya tidak terlihat canggung. Di jam tanganku menunjukkan pukul 10.10. “Pa Vandi, silahkan masuk” pak guru Ramandei mempersilahkan aku masuk ruangan. Didalamnya sudah ada sekitar 12 guru sudah ada diruangan. Dari SD Inpres, SD Maria Manayang, dan dari SMP Wooi sendiri. Urutan acara yang telah disusun mulai dimainkan, Pembukaan, Doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan akhirnya giliranku.

Setelah dibacakan sedikit tentang identitasku, kuangkat badanku perlahan untuk berdiri. Dalam hati berpikir “apa yang harus saya sampaikan?” tiba-tiba hidayah itu muncul . “oh iya perkenalan” meskipun hampir semua guru aku sudah kenal, namun mungkin dengan saling berkenalan kembali akan lebih mencairkan suasana. Dari Pak Ramandei sampai Ibu Ester memperkenalkan diri.

Setelah perkenalan dimulai kemudian kemudian giliranku memulai materi dimulai, “ Ibu, sebenarnya apa sih kreatif dan inofatif itu? Sampai siang ini kita harus bicara soal barang itu? “ bapak ibu pun sedikit tertawa. Acara disiang itu lebih kuubah menjadi sebuah diskusi, selain karena saat itu belum disediakan proyektro – padahal materi ppt sudah disiapkan – dan juga supaya guru-guru lebih interaktif dengan diskusi. Kemudian kita bersama mencoba melihat fenomena perubahan yang ada di sekitar masyarakat. Dari masyarakat yang mengubah mesin ketinting menjadi perahu parut sagu, rumah yang dulunya menggunakan atap daun sagu kemudian berubah seng, dulu perahu dari kayu sampai sekarang mulai ada yang ganti menggunakan fiber. Pertanyaan kemudian saya ajukan kembali,”kenapa sih bapak ibu sampai ada perubahan seperti itu?” kemudian masing-masing guru mulai membuat analis mereka. Dari semua pendapat guru dapat dirangkum menjadi satu bahwa intinya adalah tentang efisiensi waktu dan tenaga namun tetap menjawab persolan yang ada. Seperti mesin parut yang katanya memangkas waktu tokok sagu dari 1 pohon per satu minggu menjadi 1 pohon per 2 hari.”Jadi apa artinya apa ini semua ibu?”, aku pun juga sejatinya pada siang itu belajar bahwa proses kreatif sejatinya adalah proses berpikir dan eksekusi untuk menjawab permasalahan dengan cara yang efektif dan efisien. Bukan berarti yang memiliki bungkus indah dengan desain menawan itu disebut kreatif kalau percuma tidak menjawab apa yang ada.

Dari permasalahan disekitar yang kita jadikan pengantar tadi kemudian mulai kita kaitkan kepada persolanan pembelajaran di kelas. Guru-guru mulai membuat permasalahan atau kendala yang pernah dialami didalam kelas. Dari siswa yang terlalu melawan, siswa yang cepat bosan, banyaknya alpa, siswa yang kurang cepat paham, dan banyak cerita lain. Penyampaian itu menjadi bahan senda gurau siang itu, menjadi ajang curhat antar guru karena kurang lebih mengalami hal yang sama. Dari situ lah materi sedikit kusampaikan, apa yang diberitahu kawan, materi pelatihan saat di camp, semuanya kubongkar dan kucoba berikan. Dari pengenalan karaktersiswa dimana siswa ada yang memiliki beberapa tipikal (auditory, visual, kinestetik), pendekatan kepada siswa, guru sebagai teman siswa, faktor eksternal seperti lingkungan yang juga perlu kita ketahui karena berpengaruh kepada siswa. Soal cara mengajar kami berlajar tentang metode story telling, dengan roleplay , dengan bermain, pembelajaran diluar kelas. Juga seputar teknis yang kulihat dari teman saat dulu micro teaching yaitu pembuatan kesepakatan kelas sebelum pembelajaran. Sedikit tepuk-tepuk, menonton video jika memungkinkan. Dan kurang lengkap jika pelatihan siang itu tidak dipraktikan, di sesi terakhir kuberikan 2 kasus permasalahan di kelas. Guru-guru dibagi menjadi dua kelompok, tiap kelompok harus menjawab kasus tadi dengan pendekatan yanag telah disampaikan selama materi berlangsung. Kelompok pertama misalnya harus menyelesaikan masalah di kelas dimana siswa siswi sangat banyak yang alpa padahal waktu menjelang ujian semakin dekat. Bagaimanakah cara menyelesaikannya?

Kedua kelompok itu saling mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok satu misalnya menjawab penyelesaian itu dengan melakukan  pendekatan ke orang tua, memberi konseling kepada siswa jika mungkin ada masalah yang dipendam, jika tidak berjalan pendekatan maka diberikan teguran secara formal dan kembali ke orang tua untuk menjalankan peraturan sekolah. “lalu bagaimana, ibu bapak dorang su praktik begini kah ? su jemput anak dirumah kah?”

Mereka semua tertawa, saling colek satu sama lain. Pelatihan siang itu terus berlangsung hingga waktu menujukan pukul 12.30 siang. Pak Guru Kep memberi kode untuk memberikan penutup sesi dan makan terlebih dahulu. Acara siang itu kami sudahi meskipun setelah makan masih ada sedikit tanya jawab.

Hari itu satu loyang papeda, dengan satu termos nasi, beberapa mangkuk besar berisi cakalang dihidangkan. Semua menghajar sajian itu dengan nikmat, pastinya tidak lupa berdoa yang dipimpin oleh Ibu guru Ester. Musim cakalang begini sudah semuanya makan dengan jumlah ikan yang menutupi nasi atau papeda. Siang itu setelah semua tersampaikan rasanya sangat senang dan lega. Mungkin syukur kepada Rabbi pastinya karena melewati satu tantangan dalam hidup yang bisa dilalui. Tanpa-Nya tidak ada kelancaran dan manfaat.

Meski pelatihan telah usai diskusi masih terus berjalan diluar waktu, misalnya Pak Buney yang mengajakku untuk membantu beliau membuat pembelajaran diluar kelas untuk mata pelajaran IPA, tentang pengamatan terhadap makhluk hidup. Pak Yulianus yang malam itu merancang pembelajaran IPS soal materi globalisasi.

Am I Coach? Apakah saya sudah memberikan pelatihan yang baik? Yang jelas semoga apa yang telah saya coba sampaikan memberikan manfaat dari –Nya dan semoga guru di Wonawa semakin semangat mengajar, karena kreatif itu sendiri muncul dari proses kerja. Bukan diam. Selamat bekerja!


Cerita Lainnya

Lihat Semua