info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Pak guru, Pukul saja saya...

Mohammad Aqim Askhabi 17 Maret 2017

     Malam itu selesai solat magrib dan menyimak bacaan mengaji beberapa anak murid, tiba-tiba terdengar bising suara knalpot yang sudah tak asing bagiku. Suaranya meraung-raung tak karuan  macam gergaji mesin yang sedang memotong kayu besar nan keras. tapi jangan kira motor itu melaju dg kencang seperti anak muda yg sedang kebut-kebutan, justru lajunya sangat pelan bahkan kalau kau berlari bisa dengan mudah mengejar.

         Akhir-akhir ini hampir setiap hari raungan  mesin itu sering terdengar datang dirumah menjelang isya' atau stelah isya'. Kalau orang yg baru datang dikampung pasti bertanya siapakah pemiliknya itu. Tapi bagi warga kampung mereka sudah tahu kalau itu pak Sumarwan, sekertaris desaku. Usianya sekitar 30an. Cukup muda dan masih sangat berenergi.

        Tak seperti biasanya, kali ini dia datang sambil membawa sebuah tas ransel di punggungnya dan menyapaku di ruang tamu "pak guru, sekarang saya bawa laptop ini, kita belajar lagi mi." sambil membuka tas hitam dipunggungnya. Katanya itu laptop hasil meminjam seorang polisi yg bertugas di kantor sawit samping desa. "wah tambah cepat pintar itu pak kalau sudah bawa sendiri" jawabku.

         Sejurus kemudian terdengar langkah kaki dan ucapan salam dari luar "assalamualaikum", dari suaranya jelas saya tahu kalau itu pak Jumar, guru PNS satu-satunya di desaku,usianya sekitar 40an. Rumah singgahnya tak jauh dari rumahku, dulu katanya atlit voli tapi setelah cidera di kaki, gerakannya tak gesit lagi. Seperti pak sekdes, beliau juga akhir-akhir ini rajin datang kerumah sambil membawa laptop kesayangannya.

       "Waalaikumsalam..mari pak, kesini." kupersilahkan mereka duduk dan menyalakan laptop masing-masing, serta mencoba mengulang-ulang kembali bagaimana cara pembuatan surat (untuk pak sekdes) dan soal matematika (untuk pak jumar) yang beberapa hari ini mereka coba kuasai.

       Yah bapak-bapak ini adalah sosok pembelajar yang tangguh, mereka sadar semakin kesini tak bisa lagi abai terhadap teknologi. Meski berada dilembah dan dikurung lebatnya hutan serta gunung yg menjulang, mereka tak ingin terus-menerus ketinggalan, meski usia tak lagi remaja mereka tak mau abai begitu saja dg perkembangan. Meski berulang kali bilang "duh saya suka lupa-lupa pi" tapi tak bosan untuk terus ingin diajarkan dan mencoba berbagai metode agar cepat paham.

       Saya ingat betul dulu stelah beberapa bulan saya datang di desa, mereka sendiri yang berinisiatif untuk meminta saya mengajari komputer sampai saya pulang. Katanya sekaligus buat kenang-kenangan.

Lucunya saat baru pertama belajar pak jumar langsung bilang "Pak, pukul saja saya kalau salah-salah nanti, jangan sungkan sungkan" dan aku hanya bisa nyengir lalu tertawa. "eh betul ini pak, biar saya cepat paham kayak anak-anak". ah, bagaiamana pula ini, saat dibilang salah saja mereka sudah bingung dan takut bagaimana memperbaikinya. Dan harus dijelaskan berulang-ulanh, bayangkan bagaimana jika benar-benar saya bawakan rotan. Bisa ditebak, pasti tak ada yang masuk dikepala dan hanya memar dibadan. Tapi yah begitulah persepsi mereka, mengajar harus ada unsur kekerasannya, karena mereka dulu juga begitu, dengan dipukul mereka selalu ingat, entah ingat pukulannya atau ingat apa yg diajarkan dalam pemukulan itu (setahu saya yang pertamalah yang pasti), yang meresahkan upaya mereproduksi perilaku itu selalu ada dan ditumbuh suburkan. Mendidik dengan memukul dianggap lebih efektif dan singkat untuk mendiamkan mereka yg tidak sesuai dg keinginan kita.

Lalu ku jawab "Ah, janganlah pak, memar memar betul itu nanti kalau saya pukul betulan, haha." sambil ketawa.

         Ada pepatah bilang, belajar diwaktu muda bagai mengukir diatas batu, belajar diwaktu tua bagai melukis diatas air. Tapi tak ada yang tak mungkin, meskipun mereka sering lupa-lupa mereka selalu mencoba beberapa metode berbeda, mulai dengan mencatat setiap tahapan belajar, lalu merekam suara penjelasan saya, sampai membuat vidio praktik setiap tahapannya. Ah kalau bigini "melukis diatas airpun" tak lagi menjadi hal yang tidak mungkin. Dan yang lebih penting badan mereka tak harus memar-memar usai belajar karena saya pukuli dengan rotan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua