Suburbia Bia
De Rizky Kurniawan 18 Maret 2017Setelah beberapa waktu lalu anak – anak kelas 5 dan 6 SDN Ampimoi berkreasi dengan dedaunan kering, kertas, dan lem. Minggu lalu mereka ‘naik level’, kamis lalu anak – anak berkreasi dengan kertas, lem, dan tidak menggunakan dedaunan melainkan kulit bia (kerang). Di Ampimoi mencari bia lebih mudah daripada mencari beras di bulan januari, hanya dibutuhkan ketelitian mata dan kerelaan hati untuk memiliki tubuh yang dipenuhi oleh lumpur, biasanya anak – anak mencari dengan menggali tanah yang berada di bawah rumah – rumah panggung (terutama rumah yang paling dekat dengan lautan) dengan menggunakan kaki, lalu saat menyentuh sesuatu yang keras baru gali dengan tangan, apabila sedang tidak beruntung itu hanya kayu atau benda lainnya.
Dua minggu sebelum ‘eksekusi’, saya sudah mengumumkan hal apa saja yang harus mereka bawa disaat membuat prakarya kulit bia, sejak itu pula anak – anak hampir setiap hari bertanya dengan antusias mengenai hal tersebut. Seperti halnya Trisno yang bertanya “Pak Guru, nanti tong bawa kulit bia kodok kah? Atau kulit bia babi kah? Atau kulit bia hujan kah? Atau kulit bia karang kah? Atau kulit bia batu kah?” lalu saya menjawab “Trisno, a tara tau beda kulit bia babi dengan kulit bia babi atau dengan kulit bia lainnya, nanti koi tunjukan dulu baru Pak Guru bisa bantu jawab.” Jauh lebih banyak dibanding ragam kerang yang tersedia di menu restoran kerang kiloan. Beberapa hari kemudia Trisno dan Fales membawa seluruh kulit bia yang Trisno tanyakan agar Gurunya yang memiliki pengetahuan minim, terharu.
Hari yang ditunggu – tunggu pun tiba, sebagian besar anak membawa kulit bia dalam jumlah yang sangat banyak, ternyata selama dua minggu semenjak saya mengumumkan untuk mengumpulkan kulit bia, anak – anak setiap hari rajin mencari bia. Selama kurang lebih dua jam, anak – anak dengan serius mengerjakan tugasnya, sama seriusnya seperti nenek rabun tanpa kaca mata yang sedang mencari lubang jarum. Dua jam pun berakhir, ada yang membuat gambar rumah, wajah orang, bunga, tengkorak, ikan, perahu, bintang, gereja dan masih banyak lagi. Semua anak mengagumi pekerjaan satu sama lain, tidak terdengar ada yang mencerca, bahkan setelah tugas mereka ditempel, dengan antusias mereka mengajak anak kelas 1 hingga kelas 4 untuk melihat hasil karya mereka. Bite my lip, try not to cry.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda