Cepat ! Ada yang meninggal

Nita Juniarti 25 Februari 2017

Jam baru menunjukkaln pukul 1.30 WITA, keluarga angkat saya ribut di luar rumah, bercakap riuh rendah. Saya segera meraih kerudung dan keluar dari kamar.

“Ada apa Mak?” Tanya saya

“Ada orang meninggal”

            Suara pengumuman dari corong satu-satunya Mesjid di Desa kami mulai terdengar tanpa ampun seperti di komando, beberapa orang keluar dari rumahnya, tidak peduli udara dingin menusuk tulang.

“Ayo kak, kakak mau tinggal di rumah sendiri?” Tanya Vina, adik angkat saya di desa penempatan

“Tidak, saya ikut saja. Sebentar baganti dulu”

“Torang mau ke rumah duka” Ujarnya lagi

“Cepat, ada yang meninggal” Mamak Angkat Saya memberitahukan tetangga depan rumah

            Saya berlari ke kamar untuk segera berganti pakaian, udara di luar dingin sekali. Saya dan keluarga angkat segera menuju rumah duka yang jaraknya 7 menit dari rumah. Suasana sepanjang jalan seperti siang hari, ramai dengan orang berlalu lalang dan bercakap-cakap.

“Kenapa meninggal ya?” Tanya saya

“Belum tau kenapa, padahal tadi malam baru saja dia lewat-lewat di depan kios” cerita Vina

            Ketika kami sampai, orang-orang sudah memenuhi rumah. Desa yang hanya terdiri dari 300 kepala keluarga tampaknya tidak menampung banyak orang di dalam rumah sehingga jalanan beberapa meter juga terlihat banyak orang. Mereka masih menunggu jenazah datang.

“Jenazahnya masih di kayu tanyo” kata seorang warga

“tadi sempat di bawa ke rumah sakit Hunduhon” ujar yang lain.

            Rumah sakit, satu-satunya hanya ada di kecamatan yang jaraknya sekitar 35 menit dari Desa. Desa hanya punya satu pukesmas pembantu dengan satu orang ses (perawat).

“Enci” sapa seorang murid tempat saya mengajar, mereka memanggil ibu guru dengan sebutan “enci”

            Saya hanya mengangguk, sedang serius mendengar cerita penyebab meninggalnya jenazah tersebut.

“Kasian, padahal masih cewe” Ujar seorang Ibu

            Cewe dalam percakapan orang Saluan (mayoritas suku di desa penempatan saya) maksudnya adalah belum menikah.

“Umurnya besok 20, dia ulang tahun besok” ujar seorang gadis, mungkin temannya.

            Saya hanya berdiri manis di antara orang-orang yang bercakap-cakap. Ketika jenazahnya sampai, orang-orang semakin ramai dan banyak yang datang membuat sesak keadaan. Orang-orang seperti tidak peduli saat ini sudah jam 2.30 Wita. Saya dan keluarga angkat berada di sana sampai jam 4.00 Wita dan orang-orang masih ramai di sana.

“Pulang Mak” ujar Adik bungsu angkat saya, itulah alasan kenapa kami pulang kecuali Papak (Ayah) angkatku.

“Dorang yang bajaga akan, torang pulang saja dulu” usul seorang Ibu setengah baya

            Rasa pusing karena bangun terpaksa membuat kami melangkah gontai. Hal ini selalu menarik bagi saya. Selama dua bulan di desa penempatan saya sudah melihat tiga kedukaan orang meninggal dan gelagatnya selalu sama. Orang Desa datang ke rumah duka setelah melihat jenazah mereka akan bantu-bantu sambil menangis, meski itu bukan keluarganya. Mereka datang berbondong-bondong dari yang kecil hingga yang besar dari yang tua hingga yang muda. Rasa memiliki sebagai warga Desa dan gotong royong di Desa Baya kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah ini terasa sangat kental.


Cerita Lainnya

Lihat Semua