info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Susahnya Menjadi Perempuan Mandar…

Nisa Rachmatika 14 Desember 2010

Posted on December 14, 2010 by Nisa Rachmatika

13 Desember 2010 Saya adalah seorang perempuan. Tetapi saya menyadari bahwa banyak sekali hal-hal tentang perempuan (dan yang juga dilakukan oleh perempuan) yang tidak dapat saya pahami. Termasuk yang dilakukan perempuan dalam budaya Mandar. Salah seorang kawan saya sesama Pengajar Muda, Firman BK, pernah berkata bahwa ia tidak bisa membayangkan pemberdayaan masyarakat macam apa yang bisa dilakukan oleh Pengajar Muda perempuan di daerah Majene. Pasalnya, di daerah ini budaya patriarki-nya tergolong sangat kental. Ya, saya pun menyadari hal itu. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, jika ada tamu laki-laki datang, maka perempuan harus SELALU membuatkan minuman panas. Lalu kemudian nanti laki-laki asyik mengobrol di ruang tamu, sementara perempuan di dapur. Kalau sudah tiba waktunya makan, maka sibuklah sang perempuan menyiapkan makanan ke depan. Lalu dimana perempuan makan? Tetap, di dapur….(saya jadi berpikir kok perempuan di sini jadi persis pembantu ya?). Dengan kondisi tersebut, mungkin sedikit sekali kesempatan bagi perempuan untuk berbicara di depan publik. Saat mendengar perkataan Firman, Arrum (yang juga sesama Pengajar Muda) bilang bahwa dia tidak diperlakukan seperti itu. Biarpun perempuan yang lain seolah ‘termarjinalkan’ di dapur, Arum masih diajak makan sama-sama dengan laki-laki. Bahkan ketika tetangganya menikah, Arrum duduk sejajar dengan tokoh-tokoh masyarakat laki-laki di desanya. Saya sendiri lantas berpikir, bagaimana perempuan lain selain Arrum? Apakah mendapat perlakuan yang sama? Bagi saya, Arrum masih bisa mendapat ‘keistimewaan’ karena ia baru datang dari Jakarta. Ia dianggap Messias, sehingga wajar jika ia diperlakukan begitu. Apalagi posisinya masih sebagai tamu. Tapi sekarang satu bulan sudah berlalu, dan kami sudah bukan tamu lagi. Saya sudah merasa dianggap sebagai bagian dari keluarga di sini. Positifnya, tentu saja, saya tidak dianggap sebagai orang lain. Negatifnya? Saya juga ‘kecipratan’ diperlakukan selayaknya perempuan Mandar. Jadi kemarin kejadiannya begini. Saya sekeluarga (bersama beberapa teman) pergi ke daerah Mamuju untuk berenang. Selesai berenang, kami singgah di rumah yang ditinggali salah satu kemenakan pak desa yang bernama Darmansyah. Di rumah tersebut, selain Darmansyah, tinggal pula atasannya. Nah, saat hendak makan malam, para wanita langsung masuk ke dapur untuk memasak. Yang laki-laki? Tiduran tentu saja…(Hiks…ndak adil..!! Padahal kami sama-sama lelah). Selesai memasak, makanan mulai disajikan. Kami bolak balik membawa hidangan, nasi, minum, sampai teko. Yah…pokoknya laki-laki hanya tau jadi sajalah.. Setelah selesai, bu desa meminta saya untuk menutup tirai di dapur. Saya ikuti, walaupun masih heran juga. Ternyata kami yang sudah lelah memasak dan menyajikan hidangan ini tidak makan di ruang tamu seperti laki-laki. Karena itu tirai ditutup. Laki-laki makan di ruang tamu, perempuan makan di dapur. Selesai makan, perempuan juga yang membereskan semua: dari mulai mengangkut piring kotor ke dapur, mencuci piring, sampai mengepel lantai. Entah mengapa saat itu sebagai perempuan, saya merasa rendah sekali. Kejadian berlanjut ketika setelah makan, kami semua berbaring. Juli bercerita bahwa Anti, mantan istri dari Idung sakit keras. Juli bercerita bahwa semasa menikah dengan Idung, Anti sudah banyak berubah menjadi lebih baik, terutama karena ia tidak suka mengenakan pakaian seksi lagi. Anti takut dengan Idung. “Keluarga di sini memang fanatik Nis. Apalagi kalau sudah menikah, itu perempuan harus nurut sekali,” kata Juli. Anti sendiri akhirnya diceraikan Idung karena susah sekali diajak shalat (dan saat Juli bercerita, saya berkata pada diri sendiri bahwa saya akan berpikir seribu kali jika hendak menikah dengan laki-laki Mandar). Dan hari ini ketika datang ke sekolah, saya dan para guru mengobrol. Entah mengapa, tema obrolannya pun tentang pernikahan. Jadi bu Andi Asmanti bilang bahwa tidak lama lagi adik laki-lakinya akan menikah. Sebagai mahar pernikahan, pihak perempuan meminta uang sebesar 20 juta, beras 4 karung, gula 1 karung, dan terigu 1 karung. “Di sini untuk menikah memang susah sekali Nis, mahal biayanya. Makanya kasihan itu banyak yang sudah berpacaran tapi tidak bisa menikah karena maharnya tinggi sekali..” kata bu Juli. Yah, mungkin dibanding di Jawa, modal pernikahan di sini memang lebih gila-gilaan. Tetapi justru para guru menganggap ritual ini jadi seperti ritual menjual anak perempuan. Dan di beberapa tempat, adakalanya proses pernikahan jadi proses (yang bagi saya) mempermalukan perempuan. Pak Hammadong bercerita bahwa ia pernah menghadiri pernikahan macam ini. Setelah menikah, semua orang menunggu pengantin yang sedang melakukan malam pertama. Apa tujuannya? Si perempuan harus bisa membuktikan kalau dirinya memang masih perawan (saya tidak bisa membayangkan jika saya harus melakukan malam pertama, dan kemudian seprei yang masih ada bercak darahnya diperlihatkan ke semua orang. Weksss….!!). Dan bagaimana dengan laki-laki? Mengapa tidak ada juga tes untuk membuktikan keperjakaannya? Tidak adil. Bu Andi kemudian bertanya, bagaimana jika kemudian si perempuan tidak bisa membuktikan kalau dirinya masih perawan? “Maharnya dipotong setengah. Kalau awalnya 20 juta, ya jadi 10 juta.” Tuh kan, benar-benar seperti membeli barang saja. Barang cacat, langsung minta potong harga. Bu Juli yang mendengar ini pun langsung berkomentar, “Iya, sesudah menikah, nanti itu suami bebas melakukan apa saja. Kata suami, saya kan sudah membeli kamu..” Setelah melihat kondisi perempuan di sini, saya bersyukur saya hanya tinggal setahun disini. Saya tidak mau menjadi orang Mandar. Saya mau menjadi orang Bandung saja.

Cerita Lainnya

Lihat Semua