Perubahan Bentuk

Nisa Permatasari 20 April 2011
Ujian Sekolah sedang berlangsung, hari ke-dua sudah terlewati. Seusai ujian terakhir hari ini, yaitu Bahasa Indonesia, saya memutuskan untuk mempercepat les Bahasa Inggris yang biasanya pukul 3 sore menjadi saat itu juga seusai ujian. Akhir-akhir ini hujan sering turun sore hari jadi kelas les saya menjadi kurang laris dikunjungi. Salah satu tema yang harus dikejar untuk ujian Bahasa Inggris adalah tentang penyakit. Iya, dikejar. Saya menuliskan headache, cough, toothache, dan jenis penyakit lain di papan tulis. Saya berucap ke Asdi, yang selalu butuh motivasi lebih untuk menulis, “Asdi, ayo ditulis sekarang!”. Asdi merespon, “Aduuh Miss, ini buat apa?” Saya pun refleks menjawab, “Ya buat ujian kamu nanti dong!”. What a wrong answer! Saya langsung sadar betapa saya mulai menjadi guru kebanyakan. Saya selalu percaya, dan saya rasa saya masih percaya, bahwa pengetahuan tidak hanya sekedar demi ujian. Tapi mengapa saya menjawab demikian ke Asdi? Saya pikir ini adalah manifestasi stres mengajar. When I think I have all it takes to teach my students and when I think I have done all I can to teach, my students are still going nowhere. Coba ya bayangkan, saat saya berkata “Ayo belajar biar bisa jadi pemain bola di Jawa. Kalian pasti bisa kok kuliah di Jawa. Pasti bisa ke Jakarta.”, saya ditatap 24 pasang mata dengan pandangan you-have-got-to-be-kidding-me. Awalnya saya pikir saya cukup bisa menanamkan ide itu. Tapi lama-kelamaan senyum mereka itu sepertinya hanya senyum menenangkan gurunya supaya si guru ini tidak panik dan bunuh diri. Ini mungkin saat tersulit dalam satu tahun saya disini. Iya, rasanya sekarang ini sulit sekali. Saya mulai beradaptasi, saya mulai bisa mendapatkan ritme mengajar, saya mulai bisa berpacu dengan rutinitas. Pengalaman mengajar saya dipenuhi dengan insiden, ide, hal-hal lucu, dan hal-hal baru pastinya. Tapi ini juga saat dimana keyakinan saya mulai dibenturkan dengan realita lokal. Sebagai tambahan, saya juga mulai dibenturkan dengan harapan dan keyakinan orang lain. Rasanya aneh. Kalau saya bisa menutup tirai di sekeliling desa saya, dan saya tinggal disitu dengan hanya berpikir tentang pekerjaan saya saja, maka mungkin rasanya akan baik-baik saja. Saya manusia normal, biasa saja. But all eyes are pressing againts the clear glass walls around me. Saya tidak sedang depresi. Saya sedang berkompromi dengan keyakinan saya sebelum datang kesini. Mungkin memang bukan pilihan terbaik ya, berkompromi. Tapi ini jalan keluar yang bisa saya lakukan sekarang. Saya selalu merasa bersyukur bahwa saya tidak sendirian disini. Saya tahu banyak orang yang mendukung, dengan segala macam bentuk dukungan yang ada. Tetapi terkadang saya berharap saya bisa sendirian saja. Saya mulai jarang menulis mungkin karena saya takut tulisan ini mulai palsu. Mungkin juga karena malu karena tidak ada hal menggembirakan yang baru yang diharapkan banyak orang. Saya sepertinya jadi ular yang sedang berganti kulit, jadi sensitif dan lekas marah, inginnya sendiri saja karena sakit dan gatal (mungkin). But I write anyway. So this is simply a crying out. Bukan untuk kata semangat atau kagum. Tapi cuma untuk tepukan di pundak, tatapan mengerti, dan sudah. Oh, saya masih punya PR memberikan jawaban revisi ya untuk Asdi.

Cerita Lainnya

Lihat Semua