info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Membuat Jalan

Nisa Permatasari 15 Juni 2011
Sebuah rapat kenaikan kelas bisa merubah banyak hal. Bagi seorang guru, keputusan untuk meluluskan siswa dari kelas tertentu menuju kelas yang lebih tinggi seharusnya membutuhkan pemikiran yang mendalam. Saya tidak pernah naik kelas dalam hidup saya. Tetapi saya berpikir mungkin ada baiknya jika saya pernah merasakan rasanya tidak naik kelas. Banyak perdebatan mengenai mentalitas seorang anak saat dia divonis untuk tidak naik kelas; saya ingin merasakan supaya saya benar-benar tahu. Pada akhirnya seorang guru bertanggung jawab penuh atas pendidikan siswanya; pendidikan formal yang dinilai dengan standar kompetensi menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tahukah Anda bahwa penilaian secara ideal sungguh menyeluruh dan rumit? Bagi guru, rapor adalah sebuah cerita sekolah siswa, seharusnya. Angka di rapor itu menceritakan banyak hal. Dalam dunia yang sempurna, angka-angka itu menceritakan kebanyakan tentang siswanya. Dalam keadaan yang lain, angka rapor juga bisa menceritakan tentang kompetensi gurunya, atau ketidakkompetensiannya. Angka diatas standar ketuntasan bisa jadi menunjukkan bahwa siswa tersebut telah berusaha maksimal dengan bimbingan maksimal untuk melewati standar kompetensi suatu mata pelajaran. Tetapi angka tersebut juga bisa berarti siswa tersebut sudah terlalu tua untuk berada di kelas tertentu sehingga terpaksa “dituntaskan”, dan mungkin tanpa bimbingan yang maksimal. Paragraf diatas adalah pendapat seorang terdidik, mungkin. Pendapat seorang guru dari kota, yang mengenyam pendidikan terbaik, yang memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, yang baru tinggal di desa selama enam bulan, yang hanya menetap selama setahun. Ini adalah pendapat saya. Mungkin ini juga pendapat Anda, atau paling tidak Anda setuju dengan idealismenya. Sekarang lupakan tentang pendidikan terbaik. Buang saja. Oh, saya saja yang melakukan itu. Anda sebaiknya tetap menyimpan itu. Jika saya adalah Ibu dari seorang siswa yang sudah berumur 13 tahun dan masih duduk di kelas 3 SD, dan anak saya ini masih terancam tidak naik kelas. Bukankah saya akan memohon kepada Kepala Sekolah untuk mempertimbangkan keputusannya? Apalagi saya tidak pernah berencana memasukkan anak saya ke SMP. Saya Cuma ingin anak saya bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Saya tidak merencanakan anak saya untuk jadi Presiden. Jangankan Presiden, saya saja tidak mau anak saya bekerja di kota. Saya Cuma ingin anak saya lulus SD, dan membantu saya di kebun. Kalau dia sudah cukup tua, biarkan dia menikah dan tanggungjawab saya sebagai Ibu selesai. Anda berpikir saya Ibu yang tidak bertanggungjawab? Apakah saya Ibu yang tidak sayang kepada anaknya hanya karena saya ingin anak saya hidup layaknya orang lain hidup di daerah ini? Berani-beraninya! Saya membesarkan 5 anak saya hanya dari hasil kebun. Tidak berlimpah, tapi keluarga saya bisa makan 3 kali sehari. Saya tidak menelantarkan keluarga saya. Saya berikan mereka atap, saja ijinkan mereka bermain, saya ijinkan anak saya mendapat pendidikan dasar. Dan karena saya memohon kepada Kepala Sekolah agar anak saya naik kelas, Anda pikir saya melakukan hal yang rendah? Orang kota inilah yang tidak tahu diri! Kembali lagi menjadi guru. Saya ini guru, yang digugu dan ditiru. Tetapi ada yang berubah sekarang. Pendidikan itu bukan untuk ditawarkan, atau diberikan begitu saja. Pendidikan itu harus dipilih. Pendidikan itu harus diinginkan. Saya tidak bisa begitu saja datang dan menjejali orang-orang ini mengenai ide sebuah pendidikan disaat pendidikan itu belum menjadis sesuatu yang diinginkan. Saya datang dari pusat kemajuan, benar, tetapi apakah kemajuan ini yang diinginkan? Apakah berarti budaya yang saya bawa lebih baik? Jika memang yang ingin dikenalkan adalah kemajuan maka saya memang harus percaya bahwa budaya saya lebih baik, dan kita ingin mengubah budaya desa yang lebih jelek daripada budaya saya. Pendidikan yang baik mewakili sebuah kebudayaan yang maju. Tapi pendidikan ini begitu abstrak. Jadi jangan bicara tentang menawarkan pendidikan. Saya lebih setuju dengan membuat jalan, secara harfiah. Saya berasal dari SD inpres di sudut kota Surabaya. Tidak begitu berbeda keadaan sekolahnya dengan sekolah tempat saya mengajar sekarang. Sebagian besar teman SD saya masih menetap di perkampungan di sekitar SD saya. Mungkin mereka akan menetap disitu selamanya. Tetapi saya tidak. Kenapa? Karena saya pergi ke Jakarta. Ibu saya memang seorang guru dan Beliau sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, tapi mari kita lupakan dulu fakta ini. Saat saya bepergian dari Surabaya ke Jakarta, saya melihat banyak hal, menemui banyak orang. Saat saya berangkat dari rumah saya di Pamulang menuju SMA saya di Jakarta Selatan, saya juga mengalami banyak hal, melihat banyak hal. Apa yang memungkinkan saya untuk bepergian? Jalan dan alat trasnportasi. Saya menginginkan hal yang lebih untuk hidup saya saat saya tahu bahwa memang ada hal-hal lebih yang bisa saya dpatkan di luar sana. Karena saya sudah pernah melihat hal-hal itu. Setiap orang harus melakukan perjalanan agar kosakata di daftar pilihan hidupnya bertambah. Di Amerika itu ada juga daerah-daerah terpencil, jauh dari kota-kota besar. Ada juga kota-kota kecil yang hanya dihuni oleh segelintir orang dengan rumah yang berjauhan jaraknya satu sama lain. Tetapi apa bedanya daerah terpencil di Amerika dengan di Indonesia? Jalan. Amerika memiliki jalanan yang mendukung untuk menghubungkan satu tempat dengan tempat yang lain, seterpencil apapun daerah tersebut. Pembangunan jalan itu mewakili kemajuan, dan yang lebih penting, tidak abstrak. Jalanan itu dapat dilihat, dipegang, dan dilalui. Saat kita melihat jalan, bukankah kita ingin tahu apa yang ada diujung jalan itu? Inilah yang harus diberikan. Pilihan untuk melalui, untuk menjalani dan mencari tahu. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kompleksitas geografisnya luar biasa. Tapi pembuatan jalan yang layak dapat dimulai paling tidak menuju kota-kota kecil dari desa-desa terpencil di sekitarnya. Mungkin argumen saya disini perlu dibantu seseorang ahli tehnik tapi saya harap ide saya bisa cukup dimengerti. Saya percaya keinginan untuk hidup yang lebih baik itu selalu ada dalam diri setiap orang. Kata pepatah, when there is a will there is a way. Well, let’s make the way, literally. Lalu bagaimana dengan pendidikan? Pendidikan itu adalah kosakata baru yang akan muncul saat seseorang telah melakukan perjalanan ini. Paling tidak itulah yang terjadi pada saya. Kita selalu bisa menunjukkan gambar hiruk-pikuk jakarta, bercerita tentang kehidupan kampus kita, bercerita tentang 4 musim berbeda di negara lain. Tetapi berdasarkan pelajaran yang saya dapatkan selama ini, melihat dan merasakan semuanya secara langsung adalah hal yang sama sekali berbeda dari sekedar mendengar cerita. Berada di tengah kemacetan Jakarta adalah perasaan yang tidak bisa dimengerti oleh orang yang hanya sering mendengar beritanya saja di TV. Bukankah Anda setuju dengan hal ini wahai penduduk Jakarta? Berada di tengah sekolah umum di Amerika adalah pengalaman yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini kita lihat di film-film Holywood. Pendidikan itu harus dipilih. Dan karena itu merupakan pilihan, maka pasti ada pengorbanannya. Pendidikan itu tidak bisa gratis karena ada opportunity cost yang muncul. Bagi saya sekarang, biaya yang saya keluarkan adalah untuk mempertahankan ide pendidikan terbaik itu hal setiap siswa dan kewajiban setiap guru di tempat yang bahkan belum menginginkan pendidikan itu sendiri. Tidak mengapa, saya menunggu Anda untuk membangun jalannya. Toh kita semua memang punya peran masing-masing bukan? Saya berdoa kita semua bisa menjalankan peran ini sebaik mungkin. Iya, ini semua pemikiran saya setelah sebuah rapat kenaikan kelas.

Cerita Lainnya

Lihat Semua