Lights, Camera, Action!
Nicko Rizqi Azhari 31 Oktober 2014Heri dan Fatimah baru pulang dari Jakarta. Mereka adalah dua murid pertama dari sekolah kami yang pernah pergi ke Jawa dan naik pesawat. Mereka diundang ke Jakarta mewakili sekolah kami. Naskah cerita yang kami tulis sebelumnya membuat kami terpilih sebagai satu dari sepuluh finalis Kid Witness News (KWN) Indonesia 2014, suatu kompetisi nasional video pendek untuk siswa SD dan SMP. Karena terpilih sebagai finalis, kami harus membuat film dari naskah yang telah kami buat sebelumnya. Selama berada di Jakarta, Heri dan Fatimah mendapatkan banyak materi tentang penulisan naskah dan pengambilan gambar video. Ya, kami akan membuat film!
Satu sore di sekolah, kami melakukan syuting. Naskah sudah kami siapkan, berikut propertinya. Para aktor pun bersiap. Dua kamera yang masing-masing melekat di atas tripod sudah di posisinya. Satu menyorot adegan dari depan, satu lagi dari samping. Sineas-sineas cilik ini pun siap beraksi. Agustina, Mutiara, dan Enilawati memegang naskah dan akan mengecek setiap dialog dan adegan yang akan diambil. Riziren, Darman, dan Wendi akan bergantian mengoperasikan kamera. Suryan dan Aris yang jadi pemeran. Sementara Heri dan Fatimah berperan menjadi sutradara bersama-sama.
“Lights, camera, action!” teriak sang sutradara cilik.
Adegan pun bergulir. Para aktor mulai memainkan peran-perannya. Adegan pertama, gagal. Aktor belum siap berakting.
“Take two. Lights, camera, action!” sekali lagi adegan yang sama diulang.
Bukannya berakting, aktor justru tertawa. Satu tawa pecah, tawa-tawa lain menyusul, membawa keriangan suasana. Adegan kedua gagal. Demikian dan demikian, hingga satu adegan memerlukan 10 kali pengulangan pengambilan gambar, hingga kami menghabiskan satu pak kek lapis buatan Malaysia. Ya, sepuluh kali pengulangan adegan di mana aktor makan sebungkus kek lapis, berarti habis pula sepuluh bungkus kek lapis. Kami pestamakan bersama dengan sisa-sisa kek lapis dari setiap adegan yang gagal.
Satu adegan selesai, kami melanjutkan adegan yang lain. Satu take, dua take, tiga take… Lagi-lagi satu adegan harus diulang-ulang berkali-kali sampai mereka merasa puas dengan hasil gambarnya. Satu adegan selesai, adegan lain dimulai. Begitu seterusnya hingga sepuluh adegan yang ada di naskah selesai diambil semua gambarnya.
Dalam sehari, hanya dua sampai tiga adegan yang bisa kami ambil. Sebuah proses belajar yang cukup melelahkan dan memakan waktu lama. Sehingga rasa jenuh itu datang. Di hari keempat pengambilan gambar, beberapa anak mulai kehilangan semangat. Waktu bermain mereka berkurang karena setiap jam 3 sepulang sekolah, kami harus sudah mulai syuting. Belum lagi, pengambilan gambar yang diulang-ulang, yang memang memakan waktu. Aku pun mulai ikut jenuh, pesimis, dan kehilangan semangat. Baiklah, jadi finalis nasional pun aku rasa cukup, tak perlu mengupayakan menjadi juara, pikirku.
Satu sore, hujan cukup lebat. Aku ingat janji dengan anak-anak untuk syuting lagi sore itu. Tapi aku terlanjur kehilangan semangat untuk syuting, apalagi saat hujan turun dengan begitu lebatnya. Aku semakin malas ketika membayangkan jarak dari rumah keluarga angkatku ke sekolah. Belum lagi, jalanan yang aku yakini sudah menjadi kubangan lumpur karena guyuran hujan. Toh, pasti anak-anak juga tidak akan datang.
“Pak, kita jadi syuting? Kami sudah di sekolah,” kata sebuah pesan pendek dari nomor yang tak ku kenal.
Di bawah pesan itu tertulis nama Agustina. Itu nama muridku. Aku segera mengemas peralatan pengambilan gambar yang memang tidak aku persiapkan. Dengan motorku, aku pergi menuju sekolah melalui jalanan tanah yang licin. Di sana, murid-muridku yang sedang berteduh rupanya sudah menungguku lama.
“Ngapa bapak lama datang?” gerutu muridku.
“Katanya kita nak jadi juara? Kami nak buat sekolah bangga, pak,” lanjut muridku yang lain.
Aku tersentak. Aku merasa bersalah telah menyia-nyiakan semangat mereka. Segera aku meminta maaf dan berusaha membangkitkan semangat mereka kembali.
“Kalian mau jadi juara?” tanyaku.
“Ao, pak!” jawab satu muridku.
“Kalau mau jadi juara harus bagaimana?”
“Harus semangat, pak!”
“Baiklah, mulai sekarang harus terus bersemangat ya. Kita usahakan film kita jadi film yang bagus. Kita tunjukkan semangat juara itu,”hiburku.
Nasib baik,hujan segera mereda. Segera kami bersepeda beriringan bersama-sama menuju dermaga, melanjutkan pengambilan gambar. Jalanan tanah yang becek dari sekolah menuju dermaga merajut-lekatkan kembali semangat kami. Di dermaga kecil di tepi selat itu proses belajar kami berlanjut.
(bersambung)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda