info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Senyum bungkus

Nia Setiyowati 1 Maret 2012

Jika ada pertanyaan siapa laki-laki paling romantis?

Maka akan langsung kujawab, anak-anak.

Suatu siang, seperti siang-siang sebelumnya, aku berada di kelas 5. Kelas dimana para “cintaku” berada. Biasanya, saat siang seperti itu, mereka akan mulai kehilangan konsentrasi belajar, mulai beraksi dengan segala keusilannya, dengan segala bentuk keaktifan sehingga membuatku tidak akan bisa duduk di balik meja guru. Saat kondisi seperti itu, kami berada diposisi yang berbeda. Mereka (baca anak-anakku) dalam posisi kelebihan energi, sedangkan aku mulai kehabisan energi.

Akan tetapi, ada yang tidak biasa siang itu. Ada yang sedikit janggal. Berbeda dari siang-siang sebelumnya. Meski mereka sudah keluar bermain (istilah untuk istirahat di sini), mereka kembali serius mengikuti pelajaran berikutnya, padahal biasanya mereka susah sekali untuk kembali konsentrasi. Aku harus berusaha dengan segala cara untuk mengembalikan konsentrasi dan semangat belajar mereka, mulai dari sinyal, tepuk merah, lomba diam, gerakan marina, teka-teki, dan lain sebagainya. Siang itu mereka menyimak tiap penjelasan yang kuberikan, memperhatikan dan melakukan tiap instruksi, serta mengerjakan tiap soal dengan tekun. Aku mengeryitkan dahi, bertanya dalam hati ada apa dengan mereka hari ini?

Karena hari ini mereka begitu tertib, maka siang itu aku bisa sejenak duduk di kursi guru. Sambil memandang mereka yang sedang sangat serius menyelesaikan soal-soal yang kuberikan-tapi tetap dengan ekspresi yang lucu-lucu. Ada tepuk-tepuk dahi, gigit-gigit pensil, bolak-balik ambil tip-ex, atau tertawa bangga saat berhasil menemukan jawaban. Aku memang sengaja membebaskan anak-anakku berekspresi asalkan mereka mengerti,memahami, tetap hormat dan menghargai, serta bertanggung jawab pada tugasnya. Tetapi karena hal ini, aku juga sering sekali kena tegur kepala sekolah karena kelasku dianggap tidak tertib:P.

Nah, pada saat aku duduk, aku sengaja tidak berkutat pada tumpukan buku-buku latihan anak-anak yang harus dikoreksi. Tapi saat itu aku tertarik untuk memperhatikan para “cintaku”. Aku melempar pandangan ke seisi ruang kelas. Geli melihat tingkah mereka hari itu. Sungguh manisJ. Dan aku tersenyum sendiri melihat mereka hingga tanpa sadar ada sebagian anak laki-laki di pojok ruangan berbisik-bisik dan anak-anak lainpun ikut-ikutan tersenyum. Aneh melihat hal itu, aku bertanya pada mereka kenapa berbisik-bisik dan sedang berdiskusi tentang apa? Kemudian salah satu anakku yang bernama Stefen,si jagoan perkalian bilang “Ibu dari tadi senyum-senyum bungkus na”, lalu Yusak, si hitam manis  menimpali, “pasti Ibu sedang mengkhayal dapat mobil mewah oooww” diikuti tawa teman-teman yang lain. “Sonde... Ibu tidak menghayal mobil mewah, justru Ibu heran kenapa hari ini kalian tertib sekali?” Tapi bukan muridku kalau tidak menyangkal, “ah katong sonde percaya! Ibu pasti melamun”.

Akhirnya aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum seraya menyuruh mereka kembali mengerjakan. Tapi sebelum itu aku penasaran pada satu kata yang diucapkan mereka tadi, sehingga aku melemparkan pertanyaan, “senyum bungkus? Apa itu senyum bungkus?” anakku yang bernama Yusak tadi menjawab, “maksudnya begini Ibu (dengan gaya sok bijaknya), coba Ibu senyum ulang”, sambil tetap keheran aku mengikuti kata-katanya untuk tersenyum. “nah...Ibu senyum begitu, katong tangkap, dibungkus, lalu di bawa pulang”- Dia mengatakan itu lengkap dengan gerakan-gerakan seolah menangkap sesuatu, membungkus, kemudian memasukkannya ke dalam saku baju seragamnya sambil tersenyum juga. Oooooowww...seketika itu aku meleleh*serius....dan tersenyum makin dalam. Ah... bagaimana ya menggambarkannya. Bahkan sampai sekarang pun aku masih suka tersenyum sendiri jika mengingatnya.

Betapa bahagianya memiliki perhatian yang begitu tulus, apalagi perhatian itu dari para benih-benih matahari*meminjam istilah Citra. Ketika raga dan jiwa mulai letih, wajah tak lagi segar, fisik tak lagi bugar, lelah dengan segala tekanan, miris dengan segala macam koreng di kaki dan tangan, bahkan ketika sudah kehilangan senyum diplomatis dan lupa bagaimana cara berprasangka baik, anak-anaklah yang mengembalikan semuanya. Merekalah para penghibur yang mengisi rongga jiwa dengan segenap energi positif, menyadarkanku akan tujuan semula, memberikan arti tentang ketulusan, mengingatkanku akan sebuah janji dan menghadirkan kembali senyumku yang layak untuk mereka bungkus dan dibawa pulang.

Aku yakin, teman-teman pengajar muda yang lain pun pasti juga punya kisah-kisah romantisnya. Pun denganku. Kusambing cinta, anonak cinta, batu-batu cinta, puisi dan surat cinta, gorengan cinta, dan satu lagi, aku punya senyum bungkus penuh cinta.


Cerita Lainnya

Lihat Semua