info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Hanya Sedikit Kisah dari Daerah Terpencil Bernama Paminggalang

Luluk Aulianisa 3 Maret 2012

 

 

Paminggalang. Itulah nama desa yang membuatku penasaran sejak pertamakali datang ke Limboro. Begitu banyak orang menyebutnya dan cerita tentang Paminggalang selalu terdengar sensasional. Desa Paminggalang termasuk Kecamatan Sendana, Majene, sama dengan Desa Limboro Rambu-rambu, tempatku bertugas. Akses menuju Paminggalang bisa ditempuh melalui beberapa pilihan, yaitu lewat Passau, Tinggas, Puttada dan Limboro. Jika ingin ditempuh dengan jalan kaki, orang biasa memilih lewat Puttada. Namun, jika memakai motor, orang biasa memilih lewat Limboro karena kondisi jalan yang paling ‘ramah’ bagi pengemudi meskipun lebih jauh.

Lantas , apa yang begitu menarik dari Paminggalang ?

Disana ada SD dan SMP satu atap, yaitu SDN No.41 Paminggalang dan SMPN 8 SATAP Sendana, yang benar-benar kekurangan guru. Hanya ada 4 PNS dan 2 honorer. Mereka harus berhadapan dengan 6 kelas SD dan 3 kelas SMP. Kelas 1 dan 2 SD digabung menjadi satu rombongan belajar dengan wali kelas yang sama. Keberadaan guru yang terbatas itu lantas tak jadi masalah paling krusial. Infrastruktur menuju Paminggalang sangat parah. Banyak orang berpendapat mungkin Paminggalang lah yang paling parah aksesnya se-kecamatan Sendana. Kuteringat juga di Lomba Olimpiade Sains Kuark yang telah lalu, SDN No.41 tidak satupun mengirimkan wakilnya. Apa mungkin karena tidak tahu informasi atau memang tak bisa mengirimkan wakilnya ?

Aku sering bertemu dengan Kepala Sekolah SDN No.41 Paminggalang di kediamannya. Beberapa kali juga aku bertemu dengan Ibu Kartina, wali kelas 1 dan 2. isi cerita yang mereka utarakan hampir-hampir mirip, mengisahkan tentang keadaan sekolah dan cerita mereka menuju Paminggalang.  Perlu diketahui, dua orang tersebut tidak memiliki rumah di Paminggalang. Jika mereka bertugas di sekolah, berarti mereka harus meninggalkan rumahnya sendiri dan menumpang di rumah warga atau komite sekolah di Paminggalang.

Ibu Kartina menceritakan perjalanannya jika hendak berangkat ke Paminggalang. Ia terbiasa lewat Puttada, berangkat jalan kaki pukul 07.00 dan sampai jam 15.00, dengan ritme jalan santai dan banyak istirahat. Jalan yang ia tempuh adalah pendakian dan penurunan gunung serta sungai yang ada anak tangganya dengan bebatuan besar. Lain lagi cerita Bapak  Kepala Sekolah yang terbiasa mengemudikan motor ke Paminggalang lewat Limboro. Dari rumahnya di Binanga sampai Jalan Poros Palla-Pallang memakan waktu 15 menit. Belum lagi ia harus melanjutkan jalan naik ke Limboro sejauh 7 km selama kurang lebih 15-20 menit dan setelah itu lanjut lagi ke Pullobe lalu Paminggalang dengan waktu tempuh minimal 1 jam dikarenakan jalan rusak. Karena itulah, baik Ibu Kartina atau Bapak Kepala Sekolah baru kembali pulang ke rumah aslinya setelah 2 minggu ada di Paminggalang atau mungkin lebih. Begitu hebatnya perjuangan mereka menuju Paminggalang.

Minggu, 26 Februari 2012 lalu akhirnya aku bisa membunuh rasa penasaranku untuk pergi ke Paminggalang. Aku pergi kesana bersama indoq (ibu angkat), Falia (keponakan indoq, murid kelas 2 MAN), dan Kak Masna, tetanggaku sekaligus guru MTS DDI Limboro. Kak Masna lah yang menjadi tour guide Paminggalang karena ia memiliki banyak saudara disana. Kami memang berencana untuk tidak bermalam, perjalanan pulang pergi, berangkat pagi dan pulang siang, Keputusan kami dianggap bercanda oleh warga Limboro. Banyak yang menyarankan kami untuk bermalam tapi indoq ku bilang bagaimana kalau Afdal, adikku yang masih kecil itu ditinggal semalam ? Tentunya akan menangis mencari ibunya. Baiklah, akhirnya dengan segenap keyakinan dan bermodalkan rasa keingintahuan yang besar jam 07.30, kami berangkat menuju Paminggalang dari Limboro dengan berjalan kaki.

Perjalanan ke Paminggalang lewat Limboro harus melewati Dusun Pullobe, masih dalam Desa Limboro Rambu-rambu. Jarak Limboro ke Pullobe kurang lebih 5 km dengan tanjakan dan turunan yang curam. Kondisi jalanan rusak parah meskipun ada beberapa bagian yang sudah dilapisi semen. Percayalah, jalanannnya benar-benar rusak! Saat kami lewat, sedang musim hujan, tambah becek pula. Jalanan jadi licin. Jangan salahkan jika banyak kecelakaan! Sepanjang perjalanan, aku terus bertanya-tanya. Selihai apakah orang yang sering melintas dengan motor melewati jalan ini ? Tentunya jika tidak mengetahui medan, ia akan jatuh. Sekuat apakah kendaraan yang sering melintas wara-wiri disini ? Apakah tidak rusak mesinnya ? Apalagi jika satu motor membawa banyak macam barang dan harus melewati jalanan menurun yang curam. Aku lihat sendiri dengan mataku bagaimana seorang pengendara motor begitu bersusah payah saat hendak melewati turunan licin yang curam itu.

Pukul 10.30 kami sampai Pullobe dan sempat istirahat di rumah warga sebentar. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, ada beberapa orang yang kami temui dan mereka memberikan rambutan dan langsat untuk bekal perjalanan. Begitu menariknya perjalanan ini, banyak hal baru yang kutemui.

Rasa keterkejutanku tidak cukup sampai disitu. Kami dihadapkan dengan sungai yang banyak bebatuan besar. Dulu memang ada jembatan namun sudah lama hancur. Saat itu, ukuran airnya diatas mata kaki sedikit. Bagaimana jika ada motor yang akan melintas ? Solusi : motornya diangkat. Lalu, bagaimana jika arus sungai sedang deras ? Aku hanya bisa mengelus dada membayangkannya. Inikah yang dinamakan kondisi jalan yang paling ‘ramah’ untuk pengendara motor ? Atau jangan-jangan akses dari jalan lain lebih parah ? Aku hanya terdiam dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di hatiku.

 Setelah menyeberang sungai, kembali kami dihadapkan dengan pendakian dan penurunan. Disambung lagi dengan sungai-sungai lain yang tetap harus kami lewati. Benar-benar petualangan yang luar biasa. Akhirnya pukul 12.00 kami sampai di Paminggalang yang tidak ada sinyal dan listrik, sama seperti Limboro.

Setelah makan siang di rumah saudara Kak Masna, kami berkeliling desa, pergi ke sekolah dan berinteraksi dengan warga. Bangunan SDN No.41 Paminggalang termasuk bagus. Lapangan sudah dilapisi semen, tembok batu, lantai keramik, cat sekolah berwarna pink, papan tulis putih dan ruang kelas cukup bersih. Ruang Guru dan Kepala Sekolah cukup besar dan rapi. Ya, masalah yang krusial adalah tenaga pengajar dan sulitnya akses menuju kesana. Sangat serius!

Warga Desa Paminggalang  memiliki mata pencaharian rata-rata sebagai petani. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada orang yang biasa menjual ikan dari bawah atau warga memanfaatkan hasil kebunnya. Jika musim hujan, jangan harap ada orang bawah yang naik ke atas untuk jual sayur atau ikan. Biasanya warga membeli beras atau keperluan hidup dalam jumlah banyak dengan menggunakan motor. Mobil tidak bisa masuk ke Paminggalang.

Jam 13.30 kami bergegas melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang ke Limboro. Melintas lagi jalan yang persis sama dengan keberangkatan. Melintas pendakian, penurunan dan sungai. Ada bonusnya di perjalanan pulang pergi ini yaitu pemandangan yang sangat cantik. Hamparan gunung dan persawahan begitu memikat. Semakin sore, aku merasa seperti berjalan di kaki langit, kabut tipis menyelimuti puncak gunung dan aku berada di atasnya. Rintik hujan turun namun tidak deras menambah dinginnya cuaca namun itu tak membuatku berhenti melangkahkan kaki. Kalau dihitung-hitung sekali perjalanan ke Paminggalang dari Limboro berjarak 9-10 km. Kami melakukan perjalanan bolak-balik, berarti dalam sehari itu kami berjalan sejauh 18-20 km

Pukul 18.30 kami sampai Limboro. Kedatangan kami disambut dengan pertanyaan orang-orang “ Mengapa tidak bermalam saja ? “. Bahkan ada yang menyangka kami hanya sampai di Pullobe, mereka tidak percaya kami sampai Paminggalang. Kami hanya tertawa-tawa dan memperlihatkan foto bahwa kami benar-benar sampai di Paminggalang. Reaksi orang terkejut dan geleng-geleng kepala.

Perjalanan ini tidak hanya petualangan semata. Aku jadi teringat Bu Kartina dan Bapak Kepala SDN No.41 Paminggalang tentang perjuangannya mengajar disana. Di tengah kesulitan, ternyata masih ada guru-guru yang mau mengajar di Paminggalang dengan segala ceritanya. Namun, cerita ini tidak lantas sampai disitu, bagaimanakah nasib SDN No.41 Paminggalang selanjutnya ? Adakah guru-guru yang akan dikirim mengajar kesana ? Bagaimana akses jalan dan infrastruktur menuju Paminggalang, akankah diperbaiki ?

Pertanyaan itu mungkin ada di benak setiap orang yang mendatangi Paminggalang. Sampai sekarang pun, aku masih bertanya-tanya dan berdecak kagum dengan ketahanan warga disana. Kisah daerah terpencil bukan sekedar rekaan, cerita sekolah kekurangan guru juga bukan fiktif. Keadaan ini nyata adanya dan aku rasa tidak hanya Paminggalang saja yang butuh diperhatikan, melainkan masih banyak lagi daerah lain di negeri ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua