Persemaian Bernama Kepasrahan
Nia Setiyowati 19 Februari 2012Pernah suatu ketika tiba-tiba menemukan tulisan yang berbunyi seperti ini, "hidup adalah sebutir biji bernama hati yang diletakkan di persemaian bernama kepasrahan, yang selalu disirami dengankeikhlasan".
Sejenak merenungkan barisan kalimat itu. Entah kenapa rentetan kata itu seolah datang tepat waktu. Dimana hati ini mulai kehilangan sebentuk rasa yang bernama keikhlasan. Barangkali rasa itu mulai pudar karena kami (baca aku dengan hati) jarang sekali berkomunikasi. Atau mungkin mulut ini terlalu sering mengeluh, jadi jiwa akhirnya kelelahan.
Sudah enam bulan aku berada di daerah penempatan. segala rasa telah pula dirasakan. Susah, senang, sedih, gembira, kecewa, bahagia, marah, dan rasa yang bahkan tak bernama sudah pernah singgah di hari-hariku selama di Rote. Akupun sudah melewati titik dimana aku merasa harus me-recharge energi dengan mengambil cuti.
Nah, bicara mengenai cuti. Dampak dari cuti, seperti yang telah kubayangkan sebelumnya bahwa bisa jadi aku harus memulai lagi semuanya dari awal, termasuk membiasakan diri dengan segala kondisi didaerah penempatan ternyata memang benar terjadi. tak apalah, yang penting energi terisi dulu dan nanti pasti bisa menghadapi banyak hal disini. Daripada menghadapi segala kondisi di daerah penempatan dengan separuh energi. Lelah sekali.
Ya, teringat kata-kata Rian, “apa aku terlalu berlebihan kalau yang kita hadapi di Rote bukanlah medan yang sulit,atau hal-hal geografis lainnya tapi justru tantangan sosiologis yang memang sangat berat?” aku mengiyakan pernyataan Rian itu. Banyak faktor yang membuat orang Rote cukup sulit “dipengaruhi”. Karakteristik masyarakat, segala kebiasaan, mentalitas, dan..Ah sudahlah, jika ini diteruskan maka akan penuh dengan keluhan.
Hidup ini terlalu singkat untuk tak berbuat. Sudah enam bulan berlalu dan tersisa enam bulan lagi untuk memaksimalkan tiap energi dalam diri. Seperti janjiku sebelum cuti, bahwa aku akan memperbaiki semuanya setelah aku mengijinkan diriku untuk beristirahat sejenak. Setidaknya aku sudah menemukan formulasinya, bahwa dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Orang Rote, hadapi dengan cara Rote* (nasehat ini didapat Cella dari “kawan” yang orang Rote juga). Tepiskan setiap keraguan yang datang sebelum kita melangkah.
Tapi ternyata semua tak semudah yang kubayangkan. Memenuhi janji itu ternyata begitu menantang. Persoalan konsistensi, integritas, dan ketulusan menjadi hal yang harus terus diupayakan. Terlebih ketika sesuatu yang kita tawarkan tidak disambut baik oleh lingkungan karena belum kelihatan manfaatnya. Gemas sekali rasanya. Hei, ini soal proses Bapa dan mama, bukan sesuatu yang instan seperti katong buat mie.
Saat seperti itu, muncullah kata ajaib ini, sekali lagi menyadarkanku akan tujuan semula. "Kita benamkan hati kita di bumi kerendahan, sampai keluar akar kehidupan bernama tawadhu/ rendah hati". Rendah hati disini bukan berarti kita berada dibawah untuk bisa digilas dan di “injak”, karena tidak semua tipe orang bisa dihadapi dengan kita berada di bawah mereka. Kadang kita perlu memperlihatkan diri di hadapan mereka. Asal tetap berpegang bahwa tidak ada yang lebih rendah ketimbang kita. Tetap menyampaikan apa yang perlu disampaikan, cukup mendengar apa yang perlu didengar, dan hanya merasa apa yang perlu dirasa. Dengan begitu kita tidak akan kelelahan bicara, capek mendengar, sedih merasakan hal-hal yang sebenarnya bisa diabaikan.
Teringat kata-kata Pak Anis ketika pelatihan, “save our energy”. Dan yang terpenting adalah terus bekerja untuk kebaikan yang lain. Itu saja.
NB: lampiran puisi dari Taufik Ismail ini sangat menghibur ketika saya mulai merasa tertekan dengan segala kondisi di sekitar sedangkan saya merasa belum melakukan apa-apa :).
"Kerendahan Hati"
Puisi oleh Taufik Ismail
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi Rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda