Alam yang Mengajarkan

Nia Setiyowati 22 Januari 2012

"Tunggu bulan keluar, baru katong jalan. Kalau tidak, bisa bahaya."

Begitulah kalimat nelayan yang akan mengantarkan kami. Yah...harus menunggu lagi? itulahyang melintas dalam pikiran. Lalu kapan bulannya keluar? Seolah tahu pertanyaan dalam hatiku, nelayan itu berucap, "sebentar jam sepuluh malam."

Oh ya Allah...bagaimana ini? mana besok pagi harus mengajar. Aku tidak mau bertemu para pengagumku di kelas dengan wajah lesu dan tak cantik.

waktu itu masih jam lima sore, saat rombongan akan bergegas pulang ke Rote dari Usulai-masih Rote juga namun terpisah pulau. Aku ke Usulai untuk menghadiri pemakaman saudara bapak angkatku. Setelah prosesi pemakaman yang sangat panjang, kami segera pamit pulang dan berjalan sedikit tergesa menuju bibir pantai. Saat itu senja sudah separo membungkus cakrawala. Sampai dipinggir pantai, ternyata kami sudah ditinggalkan oleh perahu yang saat berangkat tadi mengantarkan kami ke Pulau Usu ini. Entah kenapa Bapak nelayan itu pergi. Mungkin karena sudah terlalu lama menunggu.                                                                                                    

Akhirnya, setelah keliling pantai, kami bertemu juga dengan salah satu nelayan setempat yang mau mengantarkan kembali ke Rote. Tapi ya itu, seperti percakapan awal tadi, bahwa kami harus menunggu jam sepuluh malam.

Seperti biasa, sambil menunggu aku coba merenungi banyak hal, berdialog dengan diri sendiri. Bahwa betapa ilmu itu sangat luas. Tidak hanya terbatas pada bangku sekolah formal, buku, dan pena. Tapi alampun bisa mengajarkan banyak hal, dan bahkan ilmu itu langsung teraplikasikan dan bermanfaat untuk sesama.

Nelayan tadi buktinya, hanya dengan melihat ke arah laut sepintas, dan mendongak memandang langit sebentar saja, muncul kesimpulan yang luar biasa, prediksi berdasarkan analisis yang tidak sembarangan, analisis atas penelitian yang panjang tentunya. Ya, selama ia menjadi nelayan, sepanjang umurnya saat ini mungkin. Bahwa malam itu akan ada gelombang katanya. Dan memang prediksi itu bukan hanya bual kosong,karena keesokan paginya kami menemukan jawabannya.

Jam sepuluh malam, benar bulan memang muncul tapi ternyata nelayan tadi tidak berani mengantarkan kami, karena ternyata ada angin katanya. Loh? Bukannya dari tadi memang ada angin, batinku. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Kalau pemilik perahunya saja tidak mau mengantar, kami tidak mungkin memaksa, tidak mungkin juga kan kami pulang dengan berenang.

Ternyata yang dimaksud oleh nelayan tadi adalah angin ini berpotensi gelombang, memang tidak besar, tapi jika memaksa menyebrang saat malam, nelayan itu tidak akan bisa melihat arah gelombang karena gelap, “jadi katong son bisa atur perahu untuk potong gelombang” (jadi kita tidak bisa mengemudikan perahu untuk memotong gelombang). Potong gelombang? Hemm...aku sudah semakin tidak mengerti maksud kalimat ini.

Akhirnya saat subuh nelayan itu baru menyiapkan perahunya dan memutuskan untuk mengantarkan kami. Suasana masih gelap, tapi tak sepekat tadi malam.

Saat akan berangkat mesin perahu sedikit jual mahal tak mau menyala. Setelah sedikit diutak-atik ia mau bekerja. Tapi itu cukup membuat kami was-was dan akhirnya segera berdoa supaya mesin tidak “ngambek” di tengah laut.

Pagi itu agak dingin, ditambah semalaman menunggu dipinggir pantai membuat badan rasanya meriang dan remuk redam. Perlahan-lahan perahu motor itu melaju meninggalkan pantai diiringi rintik-rintik hujan. Suasana itu tak pelak menambah ketegangan. Semua penumpang perahu itu membisu, mungkin mereka merapal doa-doa dalam hati agar perjalanan lancar dan tiba dengan selamat di pulau seberang. Sampai ditengah lautan-ketika menengok kebelakang pantai sudah tak terlihat lagi, dan melihat ke depan belum terlihat daratan- ombak mulai mempermainkan perahu kami. Bergoyang kiri-kanan. Air dari atas, yaitu air hujan dan air dari samping kiri-kanan perahu mulai masuk kedalamnya. Selain membisu, tangan-tangan penumpang lain mulai berpegang erat pada dinding perahu. Beruntung saat itu aku sempat melihat betapa lincahnya kakak yang berada di belakang kemudi. Ia begitu lincah memutar setir supaya perahu tidak terbalik dihantam gelombang. Opa disebelahku berbisik, “dong sedang berusaha potong gelombang”. ooww... ini yang dimaksud dengan potong gelombang, pikirku.

Sekali lagi ini membuktikan bahwa betapa ilmu itu sangat luas. tidak hanya terbatas pada bangku sekolah formal, buku, dan pena. Tapi alampun bisa mengajarkan banyak hal. Dan bahwa kecerdasan juga bukan hanya milik para profesor dan orang-orang dengan rentetan gelar memanjang dibelakang namanya, tapi kecerdasan juga bisa kita temukan pada sosok-sosok sederhana yang kepandaiannya berbalut kearifan.

Masih ditengah laut. Tak terasa rintik hujan sudah berhenti dan lautpun menjadi tenang. Langit berangsur-angsur mulai terang karena mendung telah bergeser. Dikejauhan matahari yang sempurna dan besar seolah muncul dari dalam laut. Begitu terang, tenang, dan menawan. Sungguh romantis sekali pemandangan itu-cocok sekali untuk teman-teman yang sedang galau-hehe.. aku menarik nafas dalam, semua ketegangan terbayarkan. Banyak ilmu yang kudapat dari perjalanan ini, ditambah bonus panorama yang sangat indah. Aku menggamit lengan Opa disebelahku dan tersenyum. Samar kudengar Opa mengucap syukur.


Cerita Lainnya

Lihat Semua