Speedboat rasa KRL

Dedi Kusuma Wijaya 27 November 2011

Kali ini tema cerita saya adalah transportasi. Di Jakarta, tema ini adalah tema yang usang seusangnya. Tidak terhitung orang yang menceritakan pengalamannya berjungkirbalik dengan transportasi umum, mulai dari busway, KRL, Kopaja, Bajaj, sampai ojek. Itu kalau di ibukota, tempat lima juta orang berkumpul di jalanan tiap harinya. Bagaimana dengan transportasi umum di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta? Pasti belum banyak tulisan yang menceritakan dengan itu. Dan dari yang belum banyak itu, saya ingin menyumbangkan pengalamanku tadi pagi sampai sore menaiki moda transportasi umum paling premium di Maluku Tengara Barat: speedboat.

Sebelum bercerita tentang transportasinya, saya ingin menjelaskan sedikit tentang medan di kabupaten ini. Maluku Tenggara Barat adalah sebuah Kepulauan yang lebih dikenal dengan nama Kepulauan Tanimbar. Beda dengan kabupaten lain di Jawa, yang kecil-kecil dan sekali jalan kita dapat menempuh 2-3 kabupaten, di Tanimbar, dan di Maluku secara umum, sebuah kabupaten arealnya sangat luas dan mobilitas antar daerahnya sebagian besar harus ditempuh lewat laut. Di Tanimbar keadaannya juga demikian. Kepulauan Tanimbar terdiri dari sebuah pulau besar, Yamdena, dengan dua pulau yang juga besar di sebelah selatan (Selaru) dan di sebelah utara (Larat). Ibukota kabupaten, Saumlaki, terletak di pulau Yamdena sebelah selatan, sementara kota yang paling dekat pulauku, kota Larat, terletak di pulau Larat yang berada di utara. Karena itulah jalur perjalanan yang paling sering saya tempuh adalah jalur Saumlaki-Larat dan sebaliknya. Karena belum selesainya pembangunan jalan kabupaten yang menghubungkan desa-desa di daratan Yamdena, saat ini hampir 75% transportasi dilakukan lewat laut. Hal ini didukung pula dengan keberadaan semua desa di MTB yang terletak di tepi laut (ini unik, karena di tengah-tengah setiap pulau yang ada hanya hutan belaka, tidak ada pemukiman), yang membuat jalur laut memang jalur yang paling nyaman.

ADa beberapa pilihan transportasi di laut, yaitu motor laut, ferry, dan speedboat. Dari ketiganya, speedboat adalah yang paling bagus, karena cepat, walau sekaligus paling mahal. Dengan ferry atau motor laut perjalanan Larat-Saumlaki akan ditempuh dalam waktu 16 jam, sementara dengan speedboat cukup 4-6 jam saja. Tapi kalau perjalanan ferry cukup merogoh kantong 50ribu rupiah untuk kelas ekonomi, menumpang speed harganya mirip dengan Kereta Api Eksekutif Jakarta-Surabaya, 250 ribu rupiah. Namun jangan bandingkan dengan jadwal kereta yang walaupun sering berubah-rubah tapi agak sedikit ‘terjadwal’, jadwal speed ini sangat tidak pasti. Hanya ada satu pengusaha yang memiliki speed dan sekaligus mengoperasikannya untuk kepentingan komersial, namanya Aguan. Aguan mempunyai tiga buah speed, masing-masing berukuran kecil, sedang, dan besar. Yang sering dijadikan angkutan umum adalah speednya yang besar, yang bermuatan sekitar 40 penumpang. Waktu berangkatnya sangat bergantung dari jumlah calon penumpang yang datang ke tokonya yang terletak di tepi dermaga. Kalau kiranya ada lebih dari 20 orang yang berminat berangkat, maka speed dapat beroperasi. Sehingga bisa terjadi dalam sehari bisa sampai dua kali speed itu bolak-balik Saumlaki-Larat-Saulaki jika penumpang ramai.

Hari itu, saya untuk pertama kalinya harus menumpang speed untuk pergi ke Saumlaki. Biasanya saya menggunakan ferry, namun ferry yang jalan seminggu sekali itu sedang dipakai untuk mengantarkan kontingen lomba paduan suara Kabupaten Maluku Tenggara Barat mengikuti lomba tingkat provinsi di Masohi, sehingga satu-satunya alternatif transportasi yang ada adalah speed. Menurut kabar seorang bapak kepala sekolah, kereta laut ini akan berangkat jam enam pagi. Saya pun pagi buta sudah menggotong barang-barang dari penginapan untuk menuju Toko Aguan. Dari kejauhan saya sudah melihat banyak bapak-bapak berjaket menuju lokasi ynag sama dengan saya. Rupanya banyak juga penumpang speed hari ini,  batinku. Benar saja, setelah sampai di dermaga, ada sekitar 50an orang ynag sudah siap berangkat denganku. Saya pun langsung masuk ke toko, membayar ongkos untuk lalu didaftarkan ke secarik kertas yang berisi daftar penumpang. Seorang kepala sekolah yang juga akan ikut rombongan kami nanti bertindak sebagai semacam agen penjualan. Ia mencatat semua orang yang datang, lalu setelah itu sibuk memproses tiket. Kami pun diminta untuk menunggu lagi di luar toko sambil menunggu si speed yang belum tiba di Larat. Saya pun memanfaatkan waktu ini untuk makan bakso KW2 (disebut gini karena walaupun yang menjual orang Jombang, tapi rasanya agak jauh dari bakso yang biasanya) di dekat toko Aguan. Setelah kenyang, saya melihat speed  dari kejauhan sudah datang, dan orang mulai antri mengambil tiket.

Tiketnya unik sekali. Saya pikir bentuknya adalah tiket cetakan sederhana dengan tulisan Larat-Saumlaki beserta harga dan sejenisnya. Ternyata tiketnya jauh lebih personalized lagi, cukup ditulis di potongan slop rokok, dengan tulisan tangan sebagai berikut:

Spid Pasific Larat-Saumlaki

26 November 2011

250.000

Oh yah, tulisan ini masih ditambah lagi dengan tanda tangan di bawah 250.000nya, membuat tiket ini semakin sulit dipalsukan. Dan dengan memegang tiket istimewa itu, saya keluar toko dan mengantri masuk ke speed. Karena orang banyak ,saya dan Bagus (yang bersama-sama dengan saya dalam perjalanan ini) memutuskan untuk masuk paling belakang saja. Asumsiku karena sudah ada ‘nomor kursi’, yaitu bulatan bertuliskan 31 ini, maka kursi kami sudah aman di dalam. Orang-orang, yang kebanyakan adalah rombongan kepala sekolah dan kepala desa yang diundang pertemuan dengan bupati keesokan harinya pun sibuk memasuki speed ynag pintu masuknya terletak di belakang.

Benda ini (si speed) bentuknya efisien sekali, memang dirancang untuk menampung penumpang banyak. Bodinya panjang namun tidak lebar, bercatkan putih dengan garis merah. Nama kapalnya tercat dengan cetakan balok di sisi kiri kapal: Pasific. Speednya tertutup dari depan sampai belakang, termasuk tempat sopirnya. Lima mesin tempel terpasang di bagian belakang, tepat di depan pintu masuk. Antrian sudah selesai, saya pun lalu melangkah menuju speed. Di tangga dermaga si pemilik, Aguan, denga nbertelanjang dada sudah berjaga, layaknya penjaga pintu bioskop ia mengambil karcis slop rokok yang usdah kami kantongi tadi. Saya cukup menyesal belum sempat memfoto tiket yang bentuknya unik itu, karena sudah terburu-buru masuk ke dalam speed. Barang-barangku lalu dioperkan untuk dimasukkan ke bagasi yang terletak di bagian paling depan, sementara saya masuk ke dalam ruangan penumpang.

Saya begitu kaget, keadaan dalam speed persis seperti dalam bus antar kota, hanya lorongnya jauh lebih sempit. Kursi-kursi yang dilapisi busa ini berjejer, satu baris empat kursi dengan lorong untuk jalan di tengah. Sambil bersusah payah karena banyaknya barang penumpang di dalam kabin (tidak jauh beda dengan di bus) saya berjalan terus, mencari tempat yang kosong. Sampai ke bagian depan, hanya ada satu tempat kosong. Letaknya di kursi panjang yang berada di samping sopir. Kemudinya sendiri cukup unik, jadi di bagian tengah depan dari speed ini ada sebuah kursi yang lebih tinggidari kursi lain, bentuknya mirip dengan singgasana, di depannya ada kemudi dan beberapa panel untuk mengendarai kendaraan laut ini.  Tepat di atas kursi pengemudi ada lubang berbentuk kotak yang bisa digunakan si pengemudi untuk berdiri dan melongokkan kepalanya ke atap (yang saya juga tidak tahu pasti fungsinya).

Karena hanya ada satu kursi tersisa, saya mempersilakan Bagus duduk dan saya lalu berdiri di pintu masuk di bagian belakang. Sebenarnya sikap mengalah saya ini bukanlah sikap terpuji-puji amat, karena sejatinya saya memilih berdiri di dekat pintu karena di dalam sangat panas dan pengap. Tidak ada ac, hanya ada jendela kaca kecil di setiap baris (mirip dengan di pesawat terbang), dan karena penumpang yang melebihi batas keadaannya menjadi sangat panas. Beberapa orang duduk di luar pintu, di ruang sempit antara pintu dan mesin-mesin. Saya sendiri duduk tepat di samping pintu, di atas jerigen minyak tanah (untunglah ada jerigen ini jadi ada kursi). Sambil duduk, saya harus ikut mengawasi keyboard (oh yah, saya lupa bercerita, saya membawa keyboard gereja dari desa saya untuk dibawa reparasi di Saumlaki) dan juga lifevest saya dan Bagus (lifevest ini kadang menuh-menuhin tempat, hehe).

Perjalanan pun dimulai, kami akan menyusuri sisi timur pulau Yamdena sampai ke bagian selatan di Saumlaki. Saya sudah beberapa kali naik ferry, tapi perjalanan dengan speed tetap menghadirkan sensasi sendiri. Kalau di ferry, sebagian besar waktu kita tidak melihat laut, karena arealnya yang luas. Tapi di dalam speed, sepanjang perjalanan kita melihat laut, jadi perjalanannya lebih menyerupai perjalanan dengan kereta api ataupun pesawat terbang. Pemandangannya sebenarnya lumayan indah, karena di sisi kanan kami langsung daratan, sehingga kelihatan beragam lanskap pemandangan pulau Yamdena dan desa-desanya. Semua desa di Kepulauan Tanimbar terletak di pesisir, sehingga dalam perjalanan kami akan melihat semua desa di pesisir timur Pulau Yamdena ini. Sayang sekali karena sesaknya penumpang, pemandangan ke laut sedikit terhalang. Padahal saya sangat excited ketika dari kejauhan tampak sebuah desa yang menyembul di antara pepohonan, pengen membandingkan keadaan desa-desa lain dengan desaku.

Perjalanan kurang lebih sejam, saya sudah terantuk-antuk. Sayang sekali karena posisi duduk yang sangat tidak biasanya, saya sama sekali tidak menemukan posisi yang memungkinkan untuk tidur. Dan kengantukan yang tidak tersalurkan ini lumayan menyiksa rasanya. Untunglah setelah hampir dua jam, kami singgah di sebuah desa yang bernama Waturu. Ternyata tujuan kesinggahan ini adalah untuk memberi kesempatan pada penumpang untuk meluruskan kaki, buang air (di toilet-toilet warga), atau membeli makanan/minuman di kios milik warga. Lucu juga, saya jadi teringat bus-bus antar daerah yang sering singgah di pom bensin untuk memberi kesempatan penumpang beristirahat sejenak. Saya pun turun di Waturu, bersama Bagus berjalan-jalan keliling desa dengan tujuan seperti yang saya katakan tadi, membandingkan keadaan desa itu dengan desaku.

Kurang lebih setengah jam di Waturu, penumpang sudah mulai masuk lagi ke dalam speed. Seperti biasa, kami membiarkan penumpang lain masuk terlebih dahulu. Sulit juga membayangkan berumpel-umpelan di dalam seperti sarden, karena itu kami memutuskan untuk mencari tempat yang udaranya paling segar di speed: di atap! Selama ini saya hanya bisa memaki para pengguna KRL yang duduk di atap, mempertaruhkan nyawa. Namun dengan pertimbangan keadaan dalam kabin yang panas, dan kalau jatuh ke laut toh ‘hanya’ air, dan kami membawa lifevest juga, kami langsung mengambil lifevest, dan memanjat ke atap speed.

Ada sebuah cerita menarik ketika akan meninggalkan Waturu ini. Ada dua orang penumpang yang entah kenapa keasikan beristirahat, sehingga membuat yang lain menunggu lama. Setelah ditunggu kurang lebih 15 menit tanpa kejelasan, akhirnya dua orang ini ditinggalkan. Entah dengan apa mereka akan melanjutkan perjalanan ke Saumlaki nanti. Segera setelah awak speed memutuskan meninggalkan kedua orang yang tidak jelas keberadaannya ini, speed pun langsung berangkat.\

Ternyata, duduk di atap adalah pilihan yang luar biasa tepat. Walau matahari terik, namun desir angin membuat badan tidak panas. Selain itu pemandangannya juga begitu indah, karena tidak ada jendela atau badan orang-orang yang menghalangi pandangan. Selama empat jam berikut kami menyejukkan mata dengan hamparan hutan kelapa yang sekali-kali diselingi desa. Kebetulan selain kami di atap juga ada beberapa orang lain, yang kami jadikan ‘narasumber’. Setiap ada desa di kejauhan, bapak itu langsung kami tanyai. Yah, ini hitung-hitung mengenali kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kami lalu membanding-bandingkan, desa mana yang gerejanya paling bagus, desa mana yang paling tertata rumah-rumahnya, yang mana yang kapal motornya paling banyak. Bukan Cuma pemandangan, duduk di atap juga membuat kami dapat tiduran dengan berbantalkan lifevest. Betapa perjalanan fase kedua sungguh berbeda dengan fase pertama!

Menjelang akhir perjalanan, langit menghitam, dan pelan-pelan suara guruh mulai menyambut. Saya menjadi sangat cemas, karena dengan duduk di atap berarti saya memasrahkan diri kepada air yang jatuh dari langit, padahal saya membawa dompet, telepon genggam, dan kamera besertaku, yang otomatis akan basah juga kalau saya kehujanan. Hampir saja perjalanan membahagiakan dengan speed ini berakhir kurang manis, untungnya saat hujan semakin menunjukkan tanda-tanda akan turun, speed­nya berlabuh di Saumlaki.

Demikianlah sepotong kisah tentang perjalanan laut di Tanimbar ini, semoga menambah khazanah anda tentang masalah angkut mengangkut (baca: transportasi) ini, dan siapa tahu, anda tertarik bertandang ke kampung keduaku ini J

Saumlaki, 1 Desember 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua