Satu Orang Baru, Dua Malaikat Maut, Delapan Bulan

Dedi Kusuma Wijaya 25 Februari 2012

 

Orang barunya, adalah saya, yang datang delapan bulan lalu di Wadankou. Hasil pembicaraan antara Camat dan Kepala Desa, saya akan tinggal bersama kepala desa (dulu pernah kutulis di ‘Tinggal Bersama Raja’). Rumah bapak kades cukup ramai, karena diisi dengan tiga anak laki-lakinya: Daniel dan si kembar Nus dan Ipus, bersama bapak kades dan istrinya. Nus sudah beristri, begitu juga Daniel yang sudah mempunyai dua orang anak. Jadinya kami bersembilan orang di dalam rumah.

Seperti yang pernah juga kuceritakan, tiga bulan setelah berada di kampung, malaikat maut yang pertama datang menyinggahi rumahku. Saat itu saya sedang di Saumlaki menemani rombongan Pesparawi kecamatanku. Seorang warga Adodo Molu, desa tetangga, menelepon dari Kota Larat dan memberitahu bahwa Bapak Kades meninggal dunia karena terjatuh dari speedboat. Sebagai bagian dari keluarga Sainlia (nama marga dari almarhum Kades), saya turut sedih dan merasa kehilangan bapak angkatku ini. Entah saya beruntung atau tidak, saya tidak berada di kampung pada saat terjadi peristiwa yang mungkin paling menghebohkan selama beberapa puluh tahun terakhir, mengingat Bapak Kadesku adalah orang yang sangat penting di desa, telah menjadi Kades selama lebih dari 35 tahun. Pemakamannya menjadi pemakaman paling rame sepanjang sejarah desa. Banyak tangis, banyak kesedihan, yang sudah reda pada saat saya datang di desa. Yang ada hanya pusara di depan balai desa yang sudah disemen namun tidak bernisan. Beberapa cerita unik yang berbau supranatural selepas kepergian Bapak Kades kuceritakan di tulisan ‘Percaya Gak Percaya’.

Lima bulan setelah mangkatnya Bapak Kades, ada satu hal yang saya perhatikan terjadi. Anak Daniel, Fa’u, yang merupakan cucu almarhum, senantiasa sakit-sakitan sejak perginya Bapak Kades. Anak ini sering demam, badannya kurus, dan jarang berbicara. Dulu di awal-awal ia masih sering bermain denganku, tapi belakangan tidak lagi. Ia lebih sering berada dalam gendongan ibunya atau kalau tidka neneknya. Dua minggu terakhir ini keadaan Fa’u memburuk, ia tidak mau makan sama sekali. Alhasil beratnya menyusut drastis, sehingga ia kelihatan sangat kurus dan lemah. Sepanjang hari hanya digendong dan digendong saja. Sejak lama saya sudah prihatin dengan keadaan Fa’u. Saya bolak balik menyarankan agar diperiksakan di puskesmas, tapi mamaku dan mamanya Fa’u seperti enggan berurusan dengan tenaga kesehatan. Entah kenapa, padahal seharusnya biaya bukan menjadi masalah karena saya sudah mengatakan akan menemani mereka. Walau sudah diberitahu, mereka –dan juga orang desa pada umumnya- lebih senang mencekoki anak yang sakit dengan kombinasi obat Paracetamol, Kloroquin, dan Amoxicilin. Sudah jelas obat-obat yang diperuntukkan untuk orang dewasa ini tidak akan sesuai untuk anak kecil, tapi rupanya ketiadaan dokter selama ini di desa membuat masyarakat lebih suka menjadi dokter sendiri. Malah saya pernah mendengar, sewaktu saya sedang tidak di kampung mereka pernah menyuntik Fa’u dengan ampul dan spuit yang diminta dari puskesmas. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa tubuh anak kecil yang dihantam dengan berbagai macam obat-obatan itu.

Hari itu, 16 Februari 2012, saya dan rombongan murid-muridku akan berangkat ke Larat untuk mengikuti Olimpiade Sains Kuark. Pagi itu rencana untuk berangkat lebih awal diurungkan karena ferry merapat di depan desaku. Orang-orang pergi ke ferry, ternyata Pak Camat dan Kepala Sekolahku ada di dalam ferry. Rencana keberangkatan jadi ditunda, karena ada beberapa hal yang ingin dibicarakan oleh Pak Camat. Saat sedang berbicara dengan Pak Camat, ada berita bahwa Fa’u di rumah sedang sekarat. Saya pun ke rumah, melihat Fa’u yang nafasnya sedang naik turun, matanya terpejam dan sangat tampak sedang kepayahan. Perasaan saya langsung mengatakan, anak ini sedang berada di detik-detik terakhir hidupnya. Mamanya, neneknya, dan beberapa ibu-ibu berkumpul di dalam kamar, sementara bapak-bapak berkumpul di luar kamar. Saya masuk sejenak ke kamarku, berdoa memohon kesembuhan kepada anak kecil ini, lalu keluar lagi. Saya memaksa untuk membawa Fa’u ke Rumah Sakit di Larat. Diagnosa sederhanaku, anak ini kurang gizi karena tidak mau makan sehingga akhirnya kehabisan energi seperti ini. Ia perlu diinfus sambil didiagnosa lebih lanjut penyakitnya, kataku kepada mereka (mamaku dan mamanya Fa’u). Namun orang-orang kampung yang tidak pernah berhubungan dengan rumah sakit ini masih ragu-ragu. Keengganan mereka tampak jelas dari wajahnya, juga dari percakapan antar mereka yang dilakukan dalam bahasa daerah dengan sesama mereka (karena mereka tahu saya tidak paham maknanya, tentunya).

Setelah mempersuasi dengan sangat, akhirnya mama bersedia membawa Fa’u pergi. Karnea Fa’u tidak mau makan sampai saat itu, saya mengambilkan biskuitku yang ada di dalam kamar untuk diberi ke Fa’u. Ajaibnya, tiba-tiba dia mau makan. Dia bangun, menggigit biskuit itu dengan lemah dan matanya terbuka lagi. Saya langsung mengeluarkan sisa sebungkus biskuit lagi yang ada di kamarku sebagai stok makanan untuknya. Saya senang, ada sedikit harapan kalau begini. Saya pun lalu bersiap-siap untuk berangkat, pergi memanggil guru dan anak-anak yang akan berangkat. Sejam setelahnya, saat semuanya sudah siap, saya pun lalu pergi ke dalam kamar lagi, siap membawa Fa’u pergi. Tanpa diduga, mama mengatakan: “Pak Dedi pigi sudah, Fa’u tinggal saja”. Aku mulai lemas lagi. Mama menjelaskan, bahwa Fa’u ini mengidap yang disebut penyakit ‘laki-laki’. Saya juga tidak tahu pasti penyakit apa ini, katanya penyakit ini membuat buah zakar penderita tertarik sampai ke perut (entah dalam medis ini apa namanya). Kata mama lagi, pantangan dari penyakit ini adalah terkena uap air asin. Kalau terkena uap air asin, penyakit ini akan bertambah parah. Sementara pengobatannya sendiri adalah dengan membungkus tubuh dengan daun rumbia. Jujur saja, saya tidak tahu mau berbicara atau bereaksi seperti apa saat itu. Mereka ini memang berat merelakan anaknya pergi ke rumah sakit, dan mungkin karena kueku tadi ini membuat Fa’u bisa membuka mata lagi, keinginan mereka untuk tetap tinggal di kampung saja terkuatkan.

Pada titik itu, saya bingung harus memaksa seperti apa lagi. Thoughts become things, batinku. Kalau mereka percaya adanya uap air asin akan menambah parah sakit anak ini, bisa-bisa itu yang bakal terjadi. Saya juga jeri membayangkan harus bertanggung jawab seandainya terjadi apa-apa sewaktu perjalanan dari kampung ke Larat itu. Akhirnya kuputuskan pergi tanpa membawa Fa’u ke Larat. Baru menjejakkan kaki di Larat, saya sudah mengsms Dokter Yul, Kepala Dinas Kesehatan MTB yang cukup dekat dengan para Pengajar Muda untuk menanyakan perihal sakit laki-laki yang misterius ini. Dokter Yul lalu mereferku ke salah seorang dokter, yang pada intinya juga harus memeriksa sendiri anak yang dimaksud ini. Saya berencana akan bertanya-tanya lagi tentang penyakit ini, agar nantinya bisa membawa obat yang tepat ke kampung untuk mengobati Fa’u.

Kemarin sore, saya bertemu dengan Pak Itranbey, ketua PNPM Mandiri Kecamatanku yang barus saja datang di Larat. Saya mengajaknya makan bersama, dan saat makan itulah dia menyampaikan sebuah berita yang mengejutkanku: Fa’u baru saja meninggal dua hari lalu, atau sehari setelah kutinggal pergi. Dan saya terdiam, membiarkan kilatan pikiran datang dan pergi. Apakah ini salahku, karena tidak memaksanya ke rumah sakit? Kenapa saya yang punya banyak akses ini malah tidak bisa menyelamatkan anak ini? Atau ini memang di luar kuasaku? Kenapa dalam delapan bulan ada dua jiwa yang diambil di rumahku? Bagaimana kalau mereka menganggap kedatanganku membawa ‘sial’ bagi mereka? Kenapa malaikat maut datang pada saat saya tidak ada di tempat? Apakah dia menungguku tidak ada dulu?

Merenungi kisah malaikat maut kedua ini, saya jadi sadar, betapa pendidikan itu penting. Dengan lebih banyaknya wawasan, tentunya tidak akan ada lagi yang sembarang minum dan menyuntikkan obat, tidak ada lagi yang takut dengan rumah sakit dan membiarkan saja nasib membawa jiwa seseorang pergi. Masalah keberadaan dokter dan tenaga medis lainnya yang seharusnya ada di kecamatan, itu di luar kendaliku. Saya hanya bisa menundukkan kepala, berdoa untuk almarhum Fa’u, untuk saudaraku yang kehilangan putra bungsunya, dan untuk warga desa lainnya, semoga tidak akan ada lagi nyawa yang pergi karena kekurangtahuan. Amin.

Larat, 19 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua