Sambutlah: Ekskul Menulis!

Dedi Kusuma Wijaya 12 Februari 2012

Salah satu amanah yang diemban oleh kami, para Pengajar Muda, adalah mendirikan ekskul di sekolah kami. Untuk mempersiapkan ekskul itupun kami sempat dibekali dengan sedikit pengetahuan tentang Pramuka dan PMR, dan juga sempat diminta membuat ekskul secara bersama-sama pada waktu pelatihan dulu. Sewaktu itu, dengan kumpulan 72 pemuda pemudi penuh bakat, segala macam ekskul pada open house ekskul ini. Ada melukis, olahraga, PHBS, Pramuka, siaga bencana, jurnalisme, musik, arsitektur, sampai ke perikanan. Saya sendiri karena tidak punya keterampilan khusus dalam satu hal dan dulunya juga bukan peserta pramuka yang aktif, pada saat open house ekskul lebih banyak menjadi seksi perlengkapan saja.

Tapi saya tidak bisa jadi seksi perlengkapan selamanya, karena saya harus mengadakan ekskul saya sendiri sewaktu berada di desa daerah penempatan. Tidak ada teman-teman lainnya, hanya saya sendiri, lebih atau kurang dengan segala kemampuanku. Mulailah saya meraba-raba, ekskul apa yang sekiranya bisa saya berikan. Di sisi yang lain, saya mulai keder melihat rekan-rekan Pengajar Muda di daerah lain ada yang sudah aktif di Pramuka (sampai sudah ikut perkemahan segala), ada juga yang sudah mengaktifkan ekskul baris berbaris, majalah dinding, sampai ke ekskul oseanografi segala. Sepanjang semester satu saya sendiri berniat mengaktifkan ekskul pramuka, tapi terkendala dengan tidak adanya sebijipun kemampuan pramuka yang saya kuasai, dan beberapa alasan teknis lainnya (seperti banyaknya saya dibutuhkan untuk kegiatan di kecamatan dan juga kabupaten).

Sebenarnya kepala sekolah saya dulunya adalah mantan guru pembina pramuka di sekolahnya yang lama, dan oleh Pak Camat juga sudah terus-terusan diminta menghidupkan pramuka di kecamatan. Tapi setiap kali saya mengajukan usul: “pak, bagaimana kalau minggu ini pramuka kita mulai pak?”, tetap saja jawabannya berputar-putar tanpa ada ketegasan apakah ya atau tidak, yang ujungnya yah tetap tidak berjalan. Padahal saya sudah menyanjung-nyanjung dia dengan mengangkat keberadaannya sebagai ahli pramuka paling wahid di kecamatan (dia sewaktu SMP pernah ikut jambore sampai ke Cibubur) dan dengan beberapa cara lainnya, tapi tetap saja dengan jurus mengambangnya (memberikan jawaban yang tidak jelas ya atau tidaknya), tetap saja Pramuka masih membeku dalam kuburnya sampai sekarang. Saya sendiri sampai sudah bertanya ke Ambon kapan akan diadakan kursus pembina di wilayah Maluku Tenggara Barat (agar saya bisa ikut dan tidak tergantung kepada kepala sekolahku), tapi inipun belum ada kejelasan, selain karena jarak desaku yang terlalu jauh dari Saumlaki yang membuat koordinasi apapun susah dilakukan. Ya sudahlah, pramuka memang tidak berjodoh denganku (walau saya sudah sangat ‘siap’ dengan membeli baju pramuka lengkap dengan segala macam atributnya yang saya tidak tahu penggunaannya), jadi kutinggalkan saja dirinya.

Saya melompat ke hal lain terlebih dahulu. Beberapa bulan lalu saya pernah mengisi pelajaran kosong di kelas V dan VI. Saya iseng-iseng meminta mereka menulis surat yang menceritakan tentang dirinya, dan berjanji akan mengirimkan surat itu ke sahabat-sahabatku yang saya anggap punya pengetahuan luas tentang dunia, dengan harapan balasan surat itu akan memotivasi anak-anak yang menulis surat ini.  Sewaktu saya pulang akhir Desember kemarin untuk berlibur ke Makassar, saya mengirimkan 17 surat itu ke 17 orang yang berbeda. Dari 17 orang itu, ada empat yang sempat membalas: temanku seorang desainer interior, jurnalis dari sebuah majalah fashion di Jakarta, teman adikku mahasiswa hukum UGM yang banyak mengikuti konferensi di luar negeri, dan satu orang anak Makassar yang menjadi juara 2 lomba storytelling se-Indonesia. Masih banyak deretan surat lagi yang belum sempat kucek keberadaannya, semoga saat sampai ke Saumlaki lagi beberapa surat sudah bisa sampai ke tanganku.

Hasil balasan surat ini ternyata cukup menggembirakan. Temanku yang desainer interior, mendapat sahabat pena seorang siswa kelas V yang memang pintar menggambar. Tuni, nama anak ini, dalam suratnya ternyata menulis bahwa ia suka menggambar, dan bahkan sempat menyertakan gambarnya dalam surat yang ia kirim ke temanku. Temanku lalu mengirimkan surat balasan bersama seperangkat peralatan menggambar. Stella, sahabatku yang seorang jurnalis, dengan secepat kilat mengirim surat balasannya ke rumahku sebelum saya berangkat kembali ke Maluku, sambil menulis di akun Twitternya bahwa ‘hadiah tahun baru terindahnya tahun ini adalah sepucuk surat dari Ruben Metatu, di Wadankou’. Hati saya penuh membacanya. Arlando mendapat surat balasan dari Cindy, seorang mahasiswa teman adikku, yang menceritakan tentang Yogyakarta, kota tempat tinggalnya. Cindy juga menyertakan peta wisata Yogya dan kartu pos dari Paris, yang dibeli Cindy sewaktu berkesempatan ke sana.

Empat pucuk surat balasan ke anak-anak ini, begitu menggetarkan diriku. Ternyata anak-anak banyak yang membicarakan surat itu, bahkan orang tua Tuni membacakan surat balasan anaknya ke banyak ibu-ibu lain yang berkumpul di teras rumahnya. Surat balasan itu menjadi ‘barang mewah’ bagi anak-anak dan juga orang-orang dewasa di kampung ini. Saya jadi ingat pesan yang sering saya sampaikan sendiri, bahwa dengan menulis hal-hal besar bisa terjadi. Dan seketika ide itu tiba: kenapa saya tidak bikin saja ekskul menulis?

Ekskul menulis menjadi jawaban dari semua pertanyaan dan perhitunganku tentang ekskul yang baik. Saya mampu mendampingi dan memotivasi anak-anak ini dalam menulis, dan materi yang diberikan tentunya tidak terbatas. Bisa menulis surat, menulis karangan, puisi, atau apapun itu. Ekskul ini juga output dan bahkan outcomenya jelas, karena hasil karya anak-anak yang masih lugu dan jauh dari polesan teknologi sana sini ini bisa dikirimkan ke berbagai tempat.  Jadilah tanpa pikir panjang saya langsung mengumumkan pada apel pagi, bahwa bagi anak-anak yang berminat mengikuti ekskul menulis dapat datang pada hari Jumat seusai sekolah.

Saya tidak mengharapkan banyak yang mengikuti ekskul ini, karena selain kegiatannya agak berat bagi anak-anak kampung yang setiap hari senangnya bermain saja, masih banyak yang belum bisa menulis dengan baik. Dan menit ini juga saat saya mengetik tulisan ini, sedang duduk 10 orang anak yang sedang asik-asiknya menulis surat di depanku. Untuk pertemuan pertama ini suratnya ditujukan kepada teman-teman mereka di SD Islam Athirah, Makassar. Saat pertama kali saya mengumumkan bahwa tema pertama adalah mengirim surat ke teman-teman di SD Islam, anak-anak ini langsung kaget. Yah, mereka tidak pernah berinteraksi dengan teman-teman yang beragama selain Kristen, lagian sekolah mereka juga sudah bernama SD Kristen Wadankou. Tapi saya menjelaskan, bahwa ini adalah awal bagi anak-anak ini untuk bersahabat dengan anak lain yang beragama berbeda. Dan sekarang sudah hampir sejam mereka memenuhi kertas surat yang kubagikan dengan tulisan mereka. Entah apa tulisannya, tapi saya berharap semoga ekskul menulis ini bisa berjalan dengan baik, dan tentunya banyak membuka jendela dunia bagi mereka.

Wadankou, 3 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua