Pil Sabar
Dedi Kusuma Wijaya 5 November 2011Delapan bulan menjadi guru di Wadankou, desa paling jauh di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, saya, si anak yang di kota pun tergolong ‘anak mami’ ini belajar banyak hal, merasakan banyak pengalaman, dan mungkin juga belum mencoba banyak pengalaman. Secara singkat, saya merasa cukup diterima oleh masyarakat. Saya mungkin bukan tipe yang sangat membaur, tapi anak-anak sangat dekat denganku, terlalu dekat bahkan, dan orang tua juga menaruh hormat kepadaku. Keadaan seperti itu membuatku bisa melakukan beberapa hal dan perubahan, walau tidak banyak, kepada anak-anak dan sekolah tempatku berada.
Banyak yang bertanya, bagaimana di sana, apa yang kau pelajari, apa yang kau lakukan? Saya bingung menjawab dan memulai dari mana. Salah satu jawaban favoritku adalah: saya banyak belajar menenggak pil sabar. Pil yang diproduksi oleh ketahanan mental, self-talk yang kuat, usaha keras menahan emosi, pemaksaan diri untuk tetap positif, dan juga doa yang kencang. Kenapa saya butuh pil sabar? Saya tertarik untuk menceritakan beberapa deret alasannya, mungkin bisa menjadi bahan bacaan sambil bersabar menunggu antrian busway atau pacar yang janjian tapi tak kunjung datang.
1. Terkait les. Saya selalu memaksa diri saya untuk memasang baterai Energizer berpuluh buah ke dalam diriku. Setelah sekolah, saya biasanya tinggal di sekolah, membuat laporan individual siswa, menghias kelas, lalu pulang sebentar ke rumah untuk makan, dan segera kembali lagi ke sekolah untuk menanti anak-anak kelas IV yang akan datang les, siswa yang saya minta belajar membaca, atau anak-anak peserta OSK yang akan mempersiapkan diri. Tapi walau sudah delapan bulan saya di sini, tetap saja setiap hari saya menemukan bahwa hanya dua tiga orang anak yang datang tepat waktu. Kadang sampai sore pun banyak yang tidak datang sama sekali. Kadang saya menggilir lokasi les di rumah-rumah anak. Dengan les di rumah, kadang ada yang datang, lebih sering banyak yang berlari dan bersembunyi saat saya mulai berjalan. Dalam kelas OSK, pertama-tama banyak yang datang, tapi lama kelamaan mereka tidak datang lagi. Tanpa pil sabar, ingin rasanya kububarkan saja les dari anak-anak yang lebih senang pergi mengail, main bola, bahkan mencuci baju ini. Tapi khasiat dari pil sabar, membuatku tetap memaksa saja memberi les jika anak-anak ada yang datang, dan membiarkan diriku terhina dengan menunggu sendirian di sekolah.
2. Terkait istirahat kelas. Anak-anak punya kebiasaan yang sangat menyebalkan: setiap istirahat atau yang biasa mereka bilang keluar main, mereka dengan seribu satu alasan maupun tanpa alasan sering pulang ke rumah dan tidak kembali lagi. Ada yang memohon mau minum air, ada yang perut lapar sampai katanya jantungnya sakit, ada juga yang langsung memakai tas dan mengambil langkah seribu menuju rumah. Awalnya saya hukum, tapi besoknya perilaku itu terjadi lagi. Ada juga yang kambuhan, kadang rajin, kadang kembali lagi ke perilaku lama yang suka pulang sesuka hati itu. Sebenarnya cara paling baik adalah saya menjemput mereka satu-satu untuk kembali lagi ke sekolah, tapi mengingat jalan ke sekolah yang cukup menanjak, rasanya saya bukan butuh pil sabar, tapi baling-baling bambu untuk mewujudkannya. Jadi sekarang, yang bisa kulakukan adalah memberi pengertian sembari selalu mengawasi anak-anak sewaktu jam istirahat.
3. Terkait kedatangan ke sekolah. Untunglah saya laki-laki berhati baja (geli juga nulisnya,hehe). Kalau tidak, mungkin tiap hari saya kerjanya nangis saja melihat anak-anak yang hilir mudik masuk dan tidak masuk ke sekolah. Lagak mereka seperti buruh harian, yang masuk saat ada pesanan dan pulang kampung lama saat ibu sakit di kampung. Satu hari anak A yang dulunya malas masuk sudah rajin, setelah kujemput dan kulakukan pendekatan personal dengan susah payah. Besoknya, anak B gantian yang tidak masuk untuk satu minggu, karena pergi tidur di kebun. Besoknya anak C karena pergi tidur di tempat budidaya agar-agar. Besoknya si D karena lagi keranjingan mengail, dan begitu seterusnya. Dulu saya menjemput mereka yang tidak datang, tapi lama-lama saya merasa perlu juga menjaga wibawaku agar tidak terlalu kelihatan seperti pengemis sekolah. Anak-anak juga perlu tahu bahwa sekolah itu sangat berharga. Atau mereka tidak datang karena strategiku tidak konsisten? Ah, entahlah, untuk sekarang, kutelan saja pil sabar dan tetap semangat datang ke sekolah.
4. Terkait datang dan perginya barang-barangku. Saya punya kebiasaan yang kurang baik, yang mungkin terbentuk dari kegugupanku menjadi guru (mengingat saya merasa kurang modal keahlian diri jadi mungkin perlu didukung dengan modal barang-barang). Saya membeli krayon, spidol, alat peraga membaca, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi karena anak-anak yang hilir mudik seperti skuter di rumahku, juga karena permintaan pinjam sana sini dan keramaian yang terlalu di sekolah saat saya mengajar (kadang anak-anak kelas lain datang masuk ke kelasku), empat kotak krayonku dalam tujuh bulan sudah raib habis. Juga hampir selusin gunting, bersisa dua buah saja. Entah raibnya ke mana atau oleh siapa. Begitu juga senter, dari enam senter yang kubawa, malam kemarin saya tinggal mengandalkan cahaya dari kameraku saja dan sedikit cahaya dari korek. Si senter ini juga punya cerita sendiri-sendiri perginya, yang teranyar setengahnya karena kesalahanku sendiri. Nanti akan kutulis di poin di bawah ini tentang senter tersebut. Daftar ini akan bertambah dengan kartu remi, kartu peraga baca, buku tulis, korek gas, dan lain lain dan lain lain. Ini masih ditambah lagi dengan penyesalanku membobol tabunganku banyak banyak untuk membeli terlalu banyak barang yang rasanya adalah persediaan mengajar tiga tahun sehingga pasti akan tidak terpakai untukku. Tapi lihatlah, karena pil sabar yang luar biasa ini, saya bisa menertawakan saja hal ini. Hehe.
5. Terkait minta ini minta itu. Anak-anak selalu saja datang mengerumuniku, dengan seribu satu alasan. Bagus juga sih, merasa dicintai. Tapi kadang saya tidak berkonsentrasi pada apa yang mereka minta. Kadang saat saya lagi mengetik, ada yang minta gunting. Kusuruhlah mereka mengambil, entah pengembaliannya. Saat ini anak-anak sudah mulai pintar mengobati luka, jadi kubiarkan mereka mengurus pengobatan sendiri. Tanpa kusadari, plester obat dan alkoholku tau-tau sudah habis. Tapi blunder paling besarku adalah ketika sebuah lentera batereku yang sangat kuandalkan rusak. Lentera ini bagus sekali, mirip emergency lamp tapi memakai batere. Cahayanya terang, sehingga bisa dipakai untuk memberikan les atau membaca sebelum tidur. Apalagi temanku di Makassar menjualnya dengan harga modal kepadaku, bonus batere lagi. Waktu itu seorang anak yang minta pinjam barang itu merusak saklarnya, sehingga tidak bisa dinyalakan. Jadinya barang itu kutaruh saja di meja di depan rumahku. Saya sedang mengetik, dikelilingi anak-anak, dan Ningsih secara beruntun meminta barang ini barang itu. Saya tolak, tapi entah kenapa saat dia minta lentera itu saya iakan, mungkin karena saya sedang kurang berkonsentrasi. Tahu-tahu saat dibawa pulang olehnya, lenteranya nyala! Ingin rasanya kutonjok diriku, karena tidak mungkin barang itu kuminta kembali. Akhirnya, malam-malamku hanya ditemani dengan kegelapan dan kegelapan saja. Begitu juga dengan salep antiradangku, yang digunakan untuk mengobati bisul. Salah seorang anak meminjamnya untuk mamanya, dan tidak dikembalikan padaku. Hasilnya, saat ini tanganku mulai bisul dan obatnya tidak ada. Dengan kombinasi antara pil sabar dan sirup ketidaksabaran, saya bilang ke anak-anak: “hey, stop minta barang-barang. Nanti kalau bapak kasi akan dikasi”. Bagaimana tidak, saat membongkar buku sumbangan, tidak berhentinya mereka meminta ijin membawa pulang atau memiliki buku ini dan buku itu.
6. Terkait perjalanan laut. Perjalanan laut dengan ferry, menghabiskan waktu satu setengah hari. Kalau di ferry masih lumayan, banyak orang dan kita bisa berjalan ke sana kemari. Tapi dengan motor laut, yang tidak laju sama sekali dan suara mesin yang memekakkan telinga plus jalannya yang seperti siput sungguh menguji kesabaran. Mana di atas motor tidak bisa berjalan ke mana-mana, bisanya hanya duduk dengan kaki terlipat-lipat. Jadinya yang bisa dilakukan adalah tidur, melamun, lalu tidur, lalu menahan lapar sekuat tenaga, lalu melamun lagi. Di atas motor antimo memang harus dikombinasikan dengan pil sabar.
7. Tentang suara. Orang-orang di sini suka sekali dengan suara kencang. Aset paling berharga setiap masyarakat adalah salon (speaker). Kalau ada uang, walaupun belum punya genset tetap saja barang yang mula-mula dibeli adalah salon ini. Dan walau yang tidak punya salon, tetap juga punya salon biologis alias suara yang menggelegar. Dengan cengkok Molu yang meliuk (bukan hanya nadanya tinggi seperti logat Maluku biasanya, tapi ini tinggi dan meliuk), mereka senang sekal iberteriak. Ini menyebakan di kelas saya harus menarik urat pita suaraku sekuat tenaga, memutarnya sampai volume pol untuk mengimbangi suara anak-anak ini. Kadangkala volume tinggi juga disertai dengan emosi yang meluap-luap, membuat saya harus lincah mengganti setelan antara kereng dan halus, halus dan kereng lagi.
8.. Rubungan anak-anak sendiri, jujur saja sudah sangat menguji kesabaran. Kehilangan zona pribadi sungguh membuatmu harus banyak bersabar. Saat kau mengetik, mereka ada. Saat kau mandi, kadang mereka berbicara di luar mengomentari wanginya sabun yang kau pakai. Saat kau tidur, mereka mengintip dan bertanya mengapa kau tidur dengan memakai sarung bali menutup kepalamu. Saat kau melakukan apapapun, mereka ada. Kadang saat saya memangbutuh sendirian saya meminta mereka untuk pergi, tapi banyakan juga saya tidak tega dan jadinya seperti kata pepatah: ada gula ada semut, ada dedi ada anak-anak.
8. Terakhir, ketiadaan sinyal sendiri juga sudah menjadi ujian kesabaran. Tidak bisa mencurhatkan hal yang ingin kau ceritakan, tak bisa meminta tolong untuk informasi yang tidak kau ketahui, tidak bisa mengetahui kabar keluarga selama sebulan lebih, membuat selain pil sabar, saya juga semakin terlatih berdialog dengan diri sendiri dan juga dengan Sang Pencipta.
Well, semoga saja pil sabar ini tidak ada dosis maksimalnya, sehingga saya tidak overdosis pil sabar! J
Wadankou, 14 Februari 2012
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda