Pesparawi Molu Maru: Behind The Scene (3)

Dedi Kusuma Wijaya 4 Desember 2011

Hai pembaca, sesungguhnya ini tulisan yang sudah tergolong basi. Saya terakhir menulis tentang pesparawi dua bulan lalu, dan momennya sungguh sudah lewat. Namun tiba-tiba saya teringat sepotong cerita yang sedianya akan melengkapi dua kisah tentang pesparawi sebelumnya. Kalau pada tulisan pertama saya menceritakan bagaimana perjuangan tim ini dari latihan sampai menjelang lomba, dan di tuisan kedua saya menuliskan hasil lombanya yang sungguh mengejutkan (tim Molu Maru meraih juara 3), kali ini saya ingin menulis cerita apa yang terjadi di kampung pada saat lomba ini berlangsung di Saumlaki dan juga saat tim sudah pulang membawa piala ke MoluMaru.

Sedikit mundur ke sesaat sebelum tim berangkat ke Saumlaki, saat itu Gereja Jemaat Adodo Molu mengadakan sebuah ibadat khusus untuk mendoakan tim Pesparawi yang akan berangkat, tepat di malam sebelum tim ini berangkat. Dalam ibadat itu Pak Camat, yang bertindak sekaligus sebagai dirigen tim, meminta segenap penduduk desa untuk berdoa bagi tim ini, mulai sejak saat mereka bernagkat dan terutama pada saat waktu di mana lomba dilakukan. Pak Camat memberithukan bahwa tim ini akan tampil pada hari Selasa jam 7 malam, sehingga jemaat diminta untuk berdoa secara khusus pada waktu itu. Pak Camat juga menambahkan, bahwa tim ini tidak perlu didoakan untuk menang, melainkan cukup agar mereka bisa menampilkan yang terbaik saja, mengingat ini adalah penampilan perdana mereka.

Seperti diketahui di tulisan bagian kedua, tim ini akhirnya secara mengejutkan bisa meraih juara 3 pada Lomba Pesparawi Tingkat Kabupaten. Yang terjadi di Saumlaki pada saat Hari-H sudah kuceritakan, namun yang terjadi di hari itu di Adodo Molu, kuketahui dari cerita mama piara Bagus. Di hari Selasa, tepat jam 7 malam sebagaimana disampaikan Pak Camat, seluruh desa senyap. Walau Pak Camat dan Pendeta tidak ada, warga tetap berkumpul di gereja. Mereka berdoa bersama di gereja, mendoakan tim pesparawinya yang di waktu bersamaan sedang berjuang di Saumlaki. Bukan cuma gereja, tua-tua adat juga berkumpul di waktu itu. Walau jalurnya lain (satu ke Tuhan, satu ke leluhur), namun para tua adat ini juga ‘mendoakan’ hal yang sama. Mereka berkumpul di pusat desa, melakukan ritual adat. Konon, sudah lama di Adodo Molu tidak dilakukan ritual adat sekuat ini. Para tua adat melakukan sumpah adat (berbicara pada leluhur) bersama, dan setelah itu mereka lalu berpencar ke titik-titik keramat di desa. Beberapa tua adat pergi ke hutan, berbicara kepada leluhur memohon berkat dari sana.  Yang digereja pun demikian. Setelah semua berkumpul beroda bersama, warga lalu pulang kembali ke rumah, masing-masing berdoa dari rumah.

Kami yang di Saumlaki sungguh tidak tahu, bahwa ada kesatuan hati yang begitu besar dari warga-warga Molu Maru nun jauh di sana. Mungkin memang berkat dari doa yang kencang ini, pada saat waktunya tampil tim Pesparawi memang tampil sangat baik. Jauh lebih bagus dari apa yang ditunjukkan selama latihan. Hal inilah yang membuat Pak Camat selalu mengatakan, ia meyakini ada kekuatan dari Sang Pencipta yang begitu besar yang hadir pada saat tim ini tampil.

Setelah menyelesaikan perlombaan dengan gemilang, tim ini pun kembali ke kampung. Sayang sekali saya tidak bisa menjadi saksi mata kemeriahan perayaan keberhasilan tim ini di kampung, karena harus bertahan di Saumlaki untuk beberapa urusan. Namun konon, katanya, pesta penyambutannya dilakukan dengan sangat meriah. Pesta dilangsungkan sampai subuh malahan. Pestanya memang dilangsungkan di Adodo Molu, namun Pak Camat ingin kemenangan tim ini menjadi kemenangan semua warga Molu Maru. Karena itulah di sela-sela kesibukannya, Pak Camat membawa tim Pesparawi untuk roadshow dari desa ke desa. Di setiap desa mereka tampil dengan kostum dan dandanan persis seperti yang ditampilkan di Saumlaki, dan tampil di gereja pada saat ibadah minggu. Teman saya, Bagus, pun menyanyikan lagu Kemenangan Hati pada saat roadshow ini, untuk menceritakan bahwa kemenangan tim ini adalah kemenangan seluruh warga molu Maru yang selama ini dipandang sebelah mata oleh orang-orang lain di kabupaten ini.

Semangat memang sebuah bola salju besar. Selepas keberhasilan tim pesparawi meraih juara 3, Pak Camat memberanikan diri untuk mengajukan Molu Maru sebagai tuan ruma pesparawi berikutnya. Beliau meyakini, dengan menjadi tuan rumah pasti akan mendorong banyak pembangunan dilakukan di kecamatan termuda ini. Bukan Cuma dari atas, semangat ini juga lahir dari bawah. Beberapa guru dari desa-desa di Molu Maru lalu membentuk  vocal group Molu Maru voices, dan menciptakan sebuah lagu yang berjudul ‘Molu Maru Manise’. Tim ini lalu ikut berkeliling mengikuti roadshow pesparawi untuk tampil memperkenalkan lagsunya dari desa ke desa.  Saya lalu mendengar lebih banyak lagi cerita seputar pesparawi. Pelatih pesparawi, Pak Massa, seorang pensiunan kepala sekolah yang tinggal di Desa Tutunametal, ternyata meninggalkan lahan rumput lautnya selama melatih di ADodo Molu hampir dua bulan. Hasilnya, rumput lautnya hancur, dan dia mengalami kerugian hampir sepuluh juta. Tapi itu tidak membuatnya jengkel, ia tetap saja dengan bangga selalu hadir di setiap roadshow pesparawi dari desa ke desa.  

Rangkaian panjang perjalanan Pesparawi Molu Maru yang from zero to hero ini telah berakhir. Kisah ini menjadi satu bagian dari rangkaian kisah-kisah yang ada di Molu Maru, sebuah kecamatan kecil dengan semangat besar. Semoga menginspirasi anda semua!

LAut Banda, 7 Desember 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua