info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Percaya Gak Percaya dan Pensiunnya Saya Berhypnosis: Sebuah Cerita Magis(?)

Dedi Kusuma Wijaya 1 Januari 2012

Wadankou, desaku, terkenal sebagai desa yang adatnya masih sangat kuat. Adat yang kuat ini bentuknya berupa tradisi adat yang masih dipegang kuat, seperti tarian adat dan sumpah-sumpah adat, dan juga bentuknya berupa kepercayaan yang sangat tinggi akan kehadiran dan peran leluhur. Mereka percaya bahwa leluhur yang telah meninggal tetap sewaktu-waktu datang menghampiri orang-orang yang masih hidup ini. Itulah sebabnya orang-orang sangat berhati-hati akan hal-hal yang berkaitan dengan leluhur.  Cerita yang kali ini saya tulis berkaitan dengan masalah leluhur yang ‘masih berseliweran’ ini. Kalaupun cerita ini sedikit berbau cerita hantu, tidak ada intensi saya menuliskan cerita dengan genre horor di sini J

Ceritanya bermula dari wafatnya Kepala Desa Wadankou, yang juga adalah bapak piaraku pada bulan Oktober kemarin. Saat ia wafat saya sedang berada di Saumlaki ikut serta dengan rombongan pesparawi. Kabar itu sampai dari seorang warga desa tetangga, Adodo Molu, yang menghadiri acara pemakaman dan lalu berangkat ke Kota Larat untuk mengabarkan berita ini kepada Pak Camat dan kami semua di Saumlaki. Saat itu kronologis meninggalnya bapak simpang siur, tapi yang pasti ia tenggelam saat sedang mengendarai long boat. Belakangan setelah saya sampai di kampung baru saya mengetahui ceritanya. Saat itu bapak sedang bermaksud pergi ke kebun untuk mengambil rumbia. Karena kebunnya jauh, beliau memakai long boat desa yang memang biasa dioperasikan olehnya. Bapakku yang sudah sangat uzur ini (69 tahun) pergi bersama cucunya yang berusia SMP, beberapa anak kecil, dan seorang bapak-bapak lain. Saat itu laut sebenarnya sedang tenang, dan mereka juga berlayar tidak ke tengah laut, hanya melewati rute yang saban hari dilewati oleh orang-orang kampung yang mau pergi ke kebun atau mengikat rumput laut. Tapi entah kenapa, tiba-tiba seluruh penumpang long boat kaget ketika bapak tiba-tiba seperti ‘terjun sendiri’ ke laut. Ia ujug-ujug sudah berada di laut, dan ketika cucunya melompat untuk menolongnya, bapak menolak dan berkata ia bisa berenang sendiri. Akhirnya beliau tenggelam dan kemudian meninggal. Sontak seluruh kampung menjadi histeris. Kaget, karena bapak kades ini bukan kades biasa. Secara turun temurun garis keturunannya adalah pemimpin kampung ini. Bapak kades sendiri sudah memerintah selama lebih dari 30 tahun, lebih lama dari Soeharto (saya pernah menulis tentang dirinya di ‘Tinggal Bersama Raja’), sehingga menjadi orang paling berpengaruh di kampung. Tidak heran wafatnya dia sangat ditangisi warga Wadankou, sampai sebagai penghormatan baginya, makamnya diletakkan tepat di samping gerbang desa yang sekaligus berada di depan balai desa.

Setelah wafatnya Pak Kades, banyak kejadian ‘ajaib’ yang dialami warga. Pernah salah seorang warga melewati daerah tempat beliau meninggal, tiba-tiba dengan wujud yang sangat nyata dari dalam laut muncullah bapak almarhum, keluar dari dalam laut. Orang ini langsung sangat ketakutan dan cepat-cepat mendayung pulang ke kampung. Beberapa orang katanya juga ada yang pernah melihat beliau. Saat ada keinginan dari beberapa warga kampung untuk berangkat menyerang Desa Adodo Molu (dua desa ini memang tetangga yang hubungannya sering menegang), beliau menampakkan diri kepada salah seorang warga di depan gerbang desa sambil membawa parang. Memang sejak dulu beliau terkenal sebagai seorang pendamai di antara warga-warga yang berdarah panas. Beliau tidak menginginkan terjadinya serang-menyerang antara kampung. Beberapa keluarga juga sempat disinggahi beliau lewat mimpi dengan berbagai pesan.

Saya tiba di desa lagi sekitar 2 minggu setelah mangkatnya beliau. Saya bukan tipe orang yang percaya pada hal-hal ‘mistis’, namun mungkin suasana supranatural yang demikian tinggi membuatku juga sedikit banyak disinggahi, apalagi sehari-hari saya tidur di kamar yang sewaktu beliau meninggal dijadikan tempat bersemayamnya almarhum ini. Selama beberapa malam saya selalu dihinggapi mimpi buruk, membuatku terbangun di tengah malam. Tapi itu belum puncaknya, suatu malam saya terbangun karena ada semacam benda berbulu yang berbaring di sampingku. Pada saat saya bangun, betapa kagetnya saya ketika melihat seekor kucing hitam tidur di sampingku! Untung saya masih setengah sadar, sehingga tidak kontan menjerit. Saya langsung mengusir kucing itu, memanjatkan doa, dan tidur lagi. Percaya gak percaya, rentetan mimpi buruk dan hal-hal aneh lainnya itu berhenti sehabis 40harian almarhum. Dan terkait 40 harinya, ada cerita menarik lainnya. Sewaktu acara yang direncanakan jam 7 malam itu berlangsung, tepat jam 7 belum ada satupun majelis jemaat (pengurus Gereja) yang datang, pun dengan para undangan. Tiba-tiba hujan yang sedemikian derasnya turun, menembus terpal-terpal yang disediakan di depan rumah. Hujan baru berhenti setelah pihak majelis jemaat datang dan pergi nyekar dulu di kubur almarhum yang terletak di depan balai desa. Percaya gak percaya!

Setelah 40 harian, kehebohan orang-orang tentang hadirnya almarhum bapak kades ini sedikit berkurang, kejadian ‘aneh’ pun tidak pernah saya alami. Sampai di hari minggu kemarin, hari minggu yang tidak pernah kulupakan. Sedikit cerita, saya sering bermain berbagai hal dengan anak-anak. Kadang-kadang saya bermain sulap dengan mereka, kadang juga saya bermain hypnosis dengan anak-anak ini. Hypnosis yang saya lakukan sederhana saja, membuat mereka tertidur, dan biasanya saat bangun membuat mereka lupa nama mereka, atau tidak bisa berdiri dari kursi, dan sejenisnya. Hypnosis ini tidak pernah gagal, terutama karena anak-anak ini sangat percaya padaku sehingga sangat mudah tersugesti. Dan hari minggu itu, anak-anak sedang berkumpul di ruang tamu rumahku. Saya sedang menulis RPP mingguan saat mereka mulai memintaku untuk menampilkan atraksi hypnosis ini. Kali ini mereka memintaku untuk menghypnosis Ramona, anak kelas 3 yang anaknya sangat rame dan rajin berceloteh ini itu. Kata mereka: “Pak, bikin Ramona seng bisa bicara dolo” (Pak, buat Ramona gak bisa bicara). Saya sebenarnya agak enggan karena melakukan hypnosis menghabiskan energi mental yang besar, namun entah kenapa akhirnya saya terayu juga.

Ramona pun  pertama-tama saya minta untuk membayangkan bahwa kedua jari tangannya terlem dengan sangat rekat. Ternyata imajinasinya cukup kuat, dengan mudah ia mengikuti sugestiku. Saya pun lalu  memintanya untuk duduk dengan kaki melekat di lantai, lalu memberikan induksi berupa hitungan mundur dari 10 sampai ke 1, dengan sugesti bahwa sesampainya di 1 ia langsung tertidur. Semuanya berjalan lancar, Ramona pun tertidur lelap. Semua anak, seperti biasa, langsung tertawa-tawa, dan memintaku untuk menginstruksikannya agar saat bangun tidak dapat mengingat namanya. Saya pun lalu meminta Ramona untuk bangun kembali. Proses bangunnya agak lama, tidak seperti biasanya. Setelah bangun, anak-anak lain mulai menunggu-nunggu. Saya bertanya siapa namamu? Dia tidak menjawab. Saya panggil namanya, Ramona tetap saja tak bergeming. Bukan hanya itu, anak yang sangat ceria ini pandangannya kosong. Saya lalu mensugestinya lagi, mengagetkannya, mengambilkannya air, permen, memutar video, tapi tetap saja dia memandang nanar dengan tatapan kosong. Keringatku pun mulai bercucuran deras. Di depan tatapan mata anak-anak lain, saya mungkin saja baru saja membuat anak ini ‘korsleting’ mental lewat praktek hypnosis abal-abalku. Saya lalu masuk ke dalam kamar, berdoa dengan kencang sambil terus bertanya ada apa gerangan yang terjadi. Mestinya secara teoretis hal ini tidak terjadi, karena sugesti yang saya berikan tampak biasa-biasa saja.

Sudah setengah jam, dan Ramona belum dapat berbicara. Anak-anak mulai berkerumun, sebagian sudah panik. Ada anak yang dengan setengah menangis memintaku mengembalikan Ramona seperti sediakala. Saya harus tetap tenang sambil mencari akal apa yang terjadi dengan anak ini dan bagaimana membenarkannya. Saya bolak balik masuk kamar dan keluar lagi, mengharapkan ada perubahan yang terjadi.  Setelah hampir 45 menit, ada sebuah ‘kemajuan’. Tiba-tiba Ramona menunjuk ke luar rumah, sambil tetap diam. Saya bertanya, ada apa? Dia hanya diam, sambil menunjuk ke suatu titik di luar rumah yang tidak jelas sasarannya. Saya lalu berlari keluar, bertanya kepadanya, apakah di sini? Atau di sini? Sampai Ramona mengangguk saat saya berdiri di suatu titik yang jelas-jelas tidak ada apa-apa di sana. Saya banyak mendengarkan cerita hantu, namun di siang bolong ini, baru kali ini saya terlibat langsung di dalamnya.

Di kepalaku penuh dengan hitung-hitungan dan pertanyaan ini itu. Apa yang harus kulakukan? Pada siapa saya harus minta bantuan? Saya tidak bisa membiarkan keadaan ini menjadi bertambah heboh, saya langsung membayangkan orang tua Ramona yang menuntut pertanggungjawaban dariku atas kejadian aneh ini. Saya pun langsung teringat bahwa di tetanggaku, pak Sekdes, sedang ada seorang calon pendeta yang baru selesai sekolah dan sedang pulang ke Wadankou. Saya langsung memanggil Pak Carlos, bapak itu, untuk lalu bersama saya masuk ke dalam rumah. Saya menceritakan hal yang terjadi di ruang tamu, sambil di luar rumah anak-anak sudah semakin banyak berkerumun. Pemandangan saya berlari ke luar rumah, Ramona menunjuk dengan mata ketakutan tentunya membuat pemandangan ini jadi semacam bagian dari film aksi yang sangat menarik.

Pak Carlos rupanya juga tidak dapat memilih tindakan apa yang paling tepat ia lakukan. Saya lalu memanggil Ramona ke dalam rumah, dan bertanya: “Ramona lihat setan kah?”, dan dia mengangguk. Nafasku memanjang, di tengah hari ini suasana terasa dingin mencekam seperti sedang malam Jumat kliwon. Kuminta dia menunjuk di mana lokasi setan itu. Dia masih menunjuk tempat yang sama. Kuangkat jariku menunjukkan angka 1, sambil bertanya: “apa setannya ada 1?”, dan Ramona pun menggeleng. Darahku serasa mengalir begitu kencangnya. Keadaan menjadi lebih klimaks lagi ketika Ramona terus menunjuk ke arah Toto, anak SMP yang tinggal di depan rumahku. Kuminta Toto masuk ke ruang tamuku, dan saat kutanya di mana setannya, dia tetap menunjuk ke arah Toto. Anak-anak di luar semakin rame tapi tetap senyap, mereka rupanya tegang juga melihat adegan yang seperti di film The X-Files ini. Saya lalu menunujuk, jadi setannya sudah ada di dalam rumah? Ramona mengangguk. Kutanya lagi, “Ramona kenal setannya?” Jeda beberapa detik, dan dia lalu mengangguk. Saat kutanya siapa sosok yang dia lihat itu, tanpa ragu Ramona menunjuk ke foto almarhum bapak kades, yang digantung di ruang tamu. Foto yang menggambarkan almarhum memegang megaphon di gerbang desa ini adalah foto yang kuambil dan lalu kucetak saat sedang di Saumlaki. Tanpa banyak basa-basi kutanya lagi kepada Ramona, “jadi ada tete botak (panggilan untuk almarhum) di sini?”, dan dia pun mengangguk.

Saya bisa melihat orang-orang di luar rumah mulai berbisik-bisik. Pak Carlos yang terdiam saja lalu bertanya lagi ada berapa lagi setan yang dia lihat. Ramona menunjuk ke arah luar, lalu kukonfirmasi lagi dengan jariku. Ternyata total ada 3 makhluk gaib yang hadir pada saat itu, dengan satu orang ‘mengambil tempat’ di diri Toto. Saya lalu memeluk Ramona, dan merasakan bahwa tubuhnya sangat tegang dengan keringat dingin yang mengucur. Tidak lama kemudian ayah Ramona muncul, untungnya dia tenang-tenang saja. Dia lalu bertanya kepada Ramona apakah dia melihat tete botak? Ramona lalu menangis di pelukan ayahnya. Ayahnya lalu membawanya pulang sambil dengan sopan meminta ijin terlebih dahulu kepadaku, meninggalkanku yang sudah bermandi keringat saking tegangnya.

Tidak lama setelah kehebohan itu, seorang bapak datang ke rumahku dan berkata bahwa  Ramona sudah bisa berbicara lagi. Rupanya ia disembuhkan dengan cara tradisional. Ceritanya saat di rumahnya, ayah dan ibu Ramona bertanya apa yang dia lihat. Ramona tidak mampu bersuara walaupun sudah membuka mulutnya lebar-lebar, sehingga ayahnya pun mengambil buku dan pulpen dan meminta Ramona menulis. Ramona menulis ‘tete botak’. Ramona lalu ditanya lagi berapa banyak arwah yang dia lihat. Dengan susah payah Ramona membuka mulutnya, dan lalu sempat meneriakkan: “tiiiii....gaaaa....!”

Setelah itu, Ramona lalu dibawa ke pamannya, Pak Naftali, yang lalu mengambilkan akar untuknya. Dalam adat Tanimbar ini, pengaruh dari Roh Jahat atau sejenisnya dipercaya bisa diusir dengan mengusap wajah orang yang terkena pengaruh itu dengan air rendaman akar. Akarnya sendiri saya tidak tahu jelas akar apa. Setelah disembur dan wajahnya diusap dengan air rendaman akar, Ramona secara ajaib bisa berbicara lagi, walau masih kelihatan agak shock. Dia lalu diminta membawa potongan akar itu ke mana-mana agar tidak diganggu lagi. Ramona pun mandi dan setelah itu langsung datang mencariku. Tidak lama kemudian, ia sudah ceria lagi seperti sediakala.

Belakangan kuketahui, kalau Tete Botak (tete: kakek, botak karena almarhum kades berkepala hampir plontos saking tuanya) memberikannya suatu pesan yang harus disampaikannya kepada salah seorang keluarga di kampung ini. Pesan rahasia ini oleh tete botak dipesankan agar tidak disampaikan pada siapapun. Ramona sesudahnya sebenarnya agak melanggar perintah tete botak, karena ia memberitahukannya kepadaku. Pesannya apa? Namanya juga rahasia!

Pada akhirnya, ini memang sesuatu yang tidak bisa dijawab atau diperdebatkan kebenarannya. Saya hanya mengalaminya, dan lalu menceritakannya. Biarlah ini seperti tagline serial The X-Files,The Truth is Out There”

Wadankou, 9 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua