Nona Manis, Pancasila, Ketupat: Rahasia Pengajaran Guru Wadankou

Dedi Kusuma Wijaya 14 Januari 2012

Seperti yang kebanyakan ditemui di daerah-daerah pedalaman, pendidikan kerapkali masih kental dengan nuansa kekerasan. Begitu pula yang kutemui di SDK Wadankou, tempatku mengajar saat ini. Apapun masalah yang dilakukan anak-anak (yang memang ahli membuat kepala guru puyeng) ini, guru-guru sepertinya hanya punya satu treatment seragam: dihajar. Kalaupun bukan dihajar, maki-makian yang sangat kasar dilontarkan.

Tindak kekerasan ini memang kutemui sejak hari pertama saya mengajar di sini. Saat saya memimpin permainan untuk mengakrabkan diriku dengan anak-anak ini, saat mereka tidak mendengarkan instruksiku dan ribut sendiri, salah seorang guru honor langsung datang dan menampar anak yang ribut itu. Sontak semuanya langsung diam. Wauw, sambutan yang luar biasa bagiku, batinku. Si guru ini memang terkenal suka menggunakan jurus tamparan, padahal badannya luar biasa kekar seperti atlet tinju. Bisa dibayangkan sakitnya tamparan darinya ini. Secara sekilas, tamparannya memang efektif membuat anak yang ribut ini diam. Pernah suatu waktu saya mengajar kelas Bahasa Inggris di mana kelas IV, V, dan VI digabung. Karena diminta menghafalkan cara memperkenalkan nama dalam Bahasa Inggris, otomatis anak-anak sangat rame. Tuni, siswa kelas V, saat itu entah karena sedang bermain dengan temannya atau kenapa, duduk di bawah kolong meja. Bapak guru yang ahli menampar ini tiba-tiba muncul di depan kelasku, mengetuk pintu kelas dengan sopan sambil meminta ijin masuk, dan setelah kupersilakan tanpa basa basi langsung memberi tamparan maut kepada Tuni dan salah seorang anak lainnya. Bapak guru tadi, setelah mengheningkan kelas dengan tamparannya ini langsung dengan sopan kembali membungkukkan badan dan pamit keluar. Lama-lama saya terbiasa menyaksikan tamparan maut itu. Pada saat upacara, saat penyuluhan, saat pemanasan untuk senam, semua siswa yang ribut langsung diberi tamparan tanpa ampun.

Bukan Cuma tamparan, kadang-kadang kalimat yang dilontarkan juga membuat saya kaget. Misalnya pada waktu apel pagi, dia memberikan arahan agar anak-anak pada saat berbaris bisa berbaris dengan baik. Tapi kalimatnya seperti ini: “Hei semua, kalo baris itu jangan seperti kau punya **** (maaf, kemaluan laki-laki) digigit semut!” Saya bingung, antara mau sedih atau malah ketawa. Tapi anak-anak saya lihat diam-diam saja, mungkin sudah biasa dengan pengarahan seperti ini. Bapak kepala sekolah, yang cenderung pendiam, juga serupa tapi tak sama dalam hal ujaran ini. Suatu waktu anak sekolah sedang dikumpulkan dalam kelas IV untuk berlatih lagu yang akan ditampilkan di gereja dalam rangka ulang tahun kecamatan. Anak-anak sedang sangat ramai, dan bapak kepsek mau menenangkan anak-anak. Kalau kami sewaktu training biasanya menggunakan sinyal kelas seperti halo-hai, bapak kepsek punya sinyal lain. Bapak kepsek hanya berteriak satu kata, yang tidak lain adalah binatang berkaki empat yang suka menjulurkan lidah itu. Teriakannya juga dengan cool saja, seperti sedang mengucapkan kata yang keren. Tapi anak-anak langsung hening, walau tidak lama kemudian sudah rame kembali.

Untuk masalah hukuman, sudah ada istilah khusus yang menggambarkan variasi hukuman kepada anak-anak. Varian itu adalah ‘pancasila’, ‘ketupat’, dan ‘nona manis’. Kalau ketupat itu berarti tamparan. Disebut pancasila karena pancasila kan terdiri dari 5 sila, sehingga mungkin 5 jari yang menampar itu bisa diibaratkan sebagai pancasila. Sementara ketupat, mungkin anda sudah bisa menebak. Tangan yang mengepal dianalogikan seperti ketupat, sehingga pemberian ketupat berarti pukulan di kepala, biasanya di ubun-ubun. Yang terakhir, nona manis. Yang ini saya juga tidak bisa paham korelasinya, tapi yang dimaksud nona manis adalah pukulan dengan rotan. Salah satu rotan milik bapak guru kelas 1 sudah ditulisi ‘ –nona manis-’ olehnya, siap melayang ke bokong anak-anak yang ribut. Saya sudah mencoba berpikir, kenapa rotan ini disebut nona manis.  Mungkin ada yang bisa menjawab? Jadinya, seringkali anak-anak sisa dibeir pilihan, apakah mau diberi hukuman pancasila, ketupat, atau nona manis. Satu hukuman lain yang juga sering diberikan adalah pompa. Jenis hukuman ini lebih tidak keras dibanding yang lain, anak-anak berdiri lalu diminta jongkok, lalu berdiri lagi, begitu seterusnya sesuai dengan kesenangan guru. Ini rahasia, tapi satu dua kali hukuman pompa ini pernah kugunakan kepada anak-anak dalam momen-momen tertentu.

Saya berusaha sekuat tenaga menghindarkan diri untuk tidak memberikan hukuman dalam bentuk pukulan. Tapi jujur saja, ini sangat menguras tenaga. Sebabnya adalah selain karena anak-anaknya menyimpan ragam kenakalan yang luar biasa banyak, mereka sudah terbiasa didisiplinkan dengan pukulan, sehingga kadang malah hanya bereaksi ketika dihajar. Biasanya mereka sendiri malah yang menyorongkan diri untuk dipukul, atau paling tidak mengadukan temannya untuk dipukul. Guru yang lain, bahkan orang tuanya sendiri mempersilakanku untuk memukul anaknya. Saya jadi garuk-garuk kepala, kalau begini siapa yang akan menentang kekerasan dalam sekolah, kalau semua stakeholder sepakat? 

Saking sepakatnya mereka tentang pendisiplinan dengan memukul ini, banyak yang sampai menuding adanya hukum HAM yang membuat anak-anak sekarang tidak pintar dan kurang ajar. Kalau anak-anak dulu, katanya, dihajar pakai kayu buah sampai berdarah-darah pun tidak ada yang berani protes. Ini membuat jaman dulu, katanya, sekolah sangat tenang dan anak-anak jarang yang tidak masuk sekolah, karena kalau tidak masuk pasti akan dapat pukul dari kepala desa yang sering berpatroli keliling desa di pagi hari untuk mencari anak-anak yang tidak pergi sekolah. Di awal-awal mereka bahkan ‘menasihatiku’ untuk mulai memukul anak, melihat keadaan kelasku yang sangat rame.  Malah ada semacam analisis sosiologis dari mereka, yang katanya bahwa khusus anak-anak di sini, karena terlalu nakal makanya harus dipukul. Saya hanya manggut-manggut saja mendengarnya.

Akhirnya, yang terjadi setiap hari di sekolah bagiku seperti sebuah bulan puasa yang panjang. Menahan nafsu memukul anak, karena mereka ini kerapkali saling berkelahi dalam kelas, berteriak-teriak dengan suara kencang, ngambek,  dan segala macam hal-hal antik lainnya. Saya harus dengan sabar memilih hukuman yang tepat dan tetap tegas. Semoga saya saja bisa, dan terlebih lagi semoga apa yang saya lakukan bisa mengajak guru yang lain untuk mulai memensiunkan pancasila, ketupat, dan nona manis di sekolahku.

Ditulis dengan rasa ngantuk yang sangat di sore hari di hari sabtu di kelas IV di tengah-tengah kerumunan anak-anak yang tidak berhentinya merubungiku.

Wadankou, 4 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua