Misi Anak Wadankou ke Saumlaki (1): Mereka Ada Gak Yah?

Dedi Kusuma Wijaya 6 Januari 2012

Sebelum saya ditugaskan ke Maluku Tenggara Barat ini, saya punya satu cita-cita: naik kapal laut, minimal dari Surabaya-Makassar lah. Sebagai orang kota, saya belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan kapal laut. Saya masih ingat waktu kecil, saya sangat menyukai komik Tintin, yang hampir di setiap kisahnya pasti ada adegan di atas kapal, lengkap dengan Kapten Haddock yang pemarah itu. Saya penasaran bagaimana ‘sensasi’ mabuk laut yang sering digambarkan di kisah Tintin itu juga.

Saat ini, enam bulan setelah mendarat pertama kali di Saumlaki, saya boleh dibilang sudah kenyang dengan pengalaman laut. Berbagai macam kapal sudah kutumpangi dengan berbagai macam suka dukanya. Dan saat saya menulis tulisan ini, saya sedang di atas ferry, sendirian, dengan perut yang sudah mual karena ombak yang besar membuat ferry ini terombang ambing ke kiri dan ke kanan sejak tadi malam. Ibu penjual makanan sudah berkali-kali menata kembali botol-botol air mineral, pop mie, dan termos-termosnya yang jatuh karena goyangan kapal. Walau sudah beberapa kali naik ferry, tetap saja perjalanan Saumlaki-Adodo Molu yang harus ditempuh dalam waktu 1,5 hari ini begitu melelahkan. Apalagi ditambah dengan goyangan si ombak.

Semuanya dimulai dengan rencana kami, Pengajar muda Maluku Tenggara Barat, untuk mengadakan acara Kampanye Berantas Buta Baca tulis Hitung (Calistung). Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan pihak sponsor, disepakati untuk diadakan sebuah acara dengan level kabupaten yang inti acaranya adalah perlombaan baca, tulis, dan hitung, yang dilengkapi juga dengan atraksi seni, eksperimen sains, dan lain-lain. Ujung dari acara ini adalah deklarasi berantas buta Calistung yang akan dilakukan oleh perwakilan 10 kecamatan di Kepulauan Tanimbar dan Pak Bupati sendiri. Dengan level acara yang besar seperti ini, saya sebenarnya sangat ingin murid-muridku bisa berpartisipasi. Terletak jauh di sudut utara Kepulauan Tanimbar, banyak di antara mereka yang bahkan belum pernah ke Saumlaki, saking jauhnya jarak dan beratnya transportasi. Sayang sekali niat saya ini sempat kandas karena lombanya hanya akan diadakan dalam lingkup dua kecamatan saja yang terletak dekat dengan Saumlaki.

Seperti sewaktu mengadakan acara Peringatan Hari Pahlawan di desa, kepala saya terus diganggu dengan ide gila ini. Saya sungguh ingin anak-anak saya datang, pasti ini akan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Tiba-tiba, entah darimana terbang sebuah potongan puzzle pemikiran yang datang melengkapi keinginanku tadi. Kebetulan di acara ini direncakan untuk menampilkan tarian daerah. Saya lalu ingat bahwa Wadankou, desaku, terkenal karena budaya tari daerahnya yang masih terpelihara dengan baik. Berbeda dengan desa-desa lain yang sudah mulai tergerus zaman, di desaku bahasa daerah dan kesenian tari masih dikuasai oleh anak-anak kecil. Bahkan orang dewasanya sempat diundang oleh Pak Bupati untuk tampil di Saumlaki pada saat perayaan 17 Agustusan kemarin. Yah, kenapa tidak anak-anak dipanggil untuk menari saja? Dengan kehadiran mereka, selain mendatangkan kebanggaan bagi mereka, ini akan semakin menegaskan posisi desaku sebagai tolok ukur kesenian daerah. Mungkin saja dengan penampilan ini akan terbuka kesempatan-kesempatan lain!

Dan walau sedikit ragu, saya memutuskan untuk mengeksekusi ide ini. Ada dua permasalahan besar: bagaimana mendatangkan anak-anak dari desa yang sangat jauh seperti ini, pasti akan memakan biaya besar; selain itu kalaupun dananya ada, bagaimana menyampaikan informasi ini kepada mereka, secara di desa tidak ada sinyal ataupun radio?

Untunglah di Molu Maru saya bekerja sama dengan Pak Camat yang seperti sering saya ceritakan, penuh semangat dan sangat visioner. Beliau yang kebetulan juga sedang di Saumlaki sangat mendukung ideku ini, dan bersedia menampung anak-anak ini di rumah pribadinya di Saumlaki. Dengan semangat itu, saya lalu pergi ke berbagai pihak untuk mencari bantuan pendanaan, dan hasilnya pemerintah daerah memberikan sedikit bantuan untuk konsumsi, dan dinas perhubungan menggratiskan transportasi ferry dari Adodo Molu ke Saumlaki. Walau masih ada beberapa keraguan, seperti apakah dana untuk akomodasinya cukup, dan karena ferry berhenti di Adodo Molu, apakah anak-anak bisa berjalan kaki dari Wadankou ke Adodo tepat pada saat waktu ferry datang, namun saya memutuskan tetap meneruskan ide ini.

Permasalahan kedua, adalah bagaimana menyampaikan informasi ini? Saya pun memulainya dengan menulis surat, masing-masing untuk pejabat kepala desaku, kepala sekolah, dan satu surat untuk murid-muridku. Dalam surat sudah saya tulis selengkap-lengkapnya tentang acara ini dan mengapa saya ingin mengajak murid-muridku turut serta. Saya menitip di surat ini kepada Pak Epi, seorang warga Adodo Molu yang kebetulan sedang di Saumlaki dan akan pulang ke Adodo. Singkat cerita, perjalanan surat ini tidak semulus adanya. Karena buru-buru, surat ini oleh Pak Epi ketinggalan di Kota Larat. Untunglah dua hari sesudahnya ada ibu guru yang sedang ke Kota Larat. Saya pun meminta tolong ibu guru itu untuk membawa serta surat saya ke Adodo, dan dari Adodo lalu mencari cara lagi untuk meneruskan surat ini ke Wadankou. Saya sendiri akhirnya memang tidak tahu, apakah surat itu sudah dikirimkan, ataupun kalau sudah dikirimkan, apakah anak-anak akan datang menunggu ferry sesuai waktu yang saya tentukan.

Tidak adanya sinyal, memang membuat selama ini berita hanya bisa datang secara satu arah. Beberapa kali saya mendapat berita dari teman-teman yang bentuknya hanya berupa surat yang dititipkan kepada orang yang kebetulan akan ke Molu Maru. Dalam surat itu biasanya teman-teman meminta saya datang ke Saumlaki pada tanggal tertentu. Karena tidak bisa membalas, kadang saya mengusahakan untuk datang, kadang karena berhalangan, teman-teman terpaksa hanya menunggu tanpa tahu bahwa saya tidak bisa datang. Ketidakmampuan memberi informasi balik itu juga ditambah dengan transportasi yang sulit. Satu-satunya transportasi yang hampir pasti adalah ferry, yang masuk ke Adodo Molu dua minggu sekali. Itupun waktunya tidak bisa dipastikan, kadang meleset setengah hari, kadang sehari.

Kembali ke cerita awal. Ketidakpastian itu, membuatku harus menjemput sendiri anak-anak itu. Saya lalu naik ferry dari Saumlaki sampai ke Adodo Molu, harapannya di Adodo nanti anak-anak sudah menunggu. Kalau mereka tidak datang, yah berarti saya akan pulang dengan tangan hampa (oh yah, bersama dua dus popmie yang sedianya kusiapkan untuk konsumsi anak-anak di ferry) kembali ke Saumlaki. Saya berangkat dari Saumlaki selasa sore kemarin, dan dengan perjalanan pulang pergi ini, saya akan kembali lagi ke Saumlaki Jumat malam lusa. Empat hari di atas ferry, dengan terjangan ombak yang memualkan, semoga tidak sia-sia. Saya tahu anda baru membaca tulisan ini jauh setelah saya menulisnya, jadi saya tidak bisa memohon doa anda agar anak-anak saya datang. Karena itu di depan layar laptop yang bergoyang naik turun searah dengan gerakan kapal, saya hanya mengirimkan doa, semoga keinginan tulus saya ini didengar yang kuasa. Amin!

Laut Banda, 7 Desember 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua