Misi Wadankou ke Saumlaki (4): Menulis Dongeng Kecil!
Dedi Kusuma Wijaya 28 Januari 2012Banyak orang bilang, dunia ini tidak semanis kisah-kisah dongeng, yang selalu dibuka dengan ‘pada suatu kala’ dan ditutup dengan ‘dan mereka pun hidup bahagia selamanya’. Dalam dongeng keajaiban terjadi, Cinderella yang kumal bisa menjelma menjadi putri, Aladdin bisa menikahi putri maharaja, dan sederet cerita lain yang penuh madu. Hidup memang tidak seperti dongeng. Keajaiban tidak tiap hari datang ,walaupun bukan berarti ‘keajaiban-keajaiban’ kecil tidak menutup kemungkinan hadir dalam keseharian. Kebahagiaan mungkin tidak dapat hadir selama-lamanya, tapi masakan ia tidak singgah sekali-kali? Jadi bisalah kalau dikatakan, ‘dongeng kecil’ dapat menyinggahi perjalanan hidup kita sesekali. Dan inilah yang ingin saya ceritakan, bagaimana kenekadanku membawa anak-anakku untuk menari ke Saumlaki menjadi sebuah cerita yang bagi saya, penuh dengan kebahagiaan.
Sesampainya di Saumlaki, semua rombongan, yang berjumlah 28 orang anak-anak dan 23 mama-mama serta guru ini langsung menuju ke rumah Pak Camat. Camat saya memang terkenal sebagai pemimpin dengan ketulusan yang begitu besar. Beliau sebelumnya sudah pernah menampung 80 orang bapak-bapak penari dari Wadankou pada saat mereka tampil di acara 17 Agustusan. Kali ini anak-anak beserta mama-mama semuanya akan tinggal di sebuah rumah kecil yang terletak di belakang rumah Pak Camat. Sedianya rumah ini dibangun untuk Pak Arce, seorang keluarga jauh Pak Camat yang baru saja diangkat sebagai PNS di Saumlaki. Namun karena rumah ini belum selesai, istri dan anak Pak Arce masih tinggal sementara di Ambon, sehingga rumahnya yang ¾ jadi ini bisa ditinggali. 51 orang ini tidur di atas tikar dan busa-busa dagangan Pak Camat (beliau juga seorang pengusaha sofa), dan untuk makan oma (mertua dari Pak Camat) telah menyediakan dapur umum lengkap dengan wajan ukuran raksasa. Mereka rupanya sudah terbiasa memberi makan banyak orang. Untunglah yang datang semuanya mama-mama, sehingga bisa membantu keluarga Pak Camat dalam menyiapkan makan dan juga sekaligus membersihkan rumah.
Anak-anak ini tiba di Saumlaki hari Jumat sore, dan rencananya akan tampil Senin paginya di pembukaan acara ‘Kampanye Anak Calistung Untuk Indonesia’. Acara ini sendiri akan diceritakan di tulisan saya yang lain, tapi pada intinya di acara ini dilakukan lomba membaca, tulis, hitung, dan juga ditutup dengan talkshow serta peluncuran Kampanye Berantas Buta Baca Tulis Hitung. Acaranya sendiri akan diselenggarakan di Pendopo Bupati, sebuah ruangan pertemuan semiterbuka yang terletak di samping rumah dinas bupati. Kembali ke anak-anak, saat tiba Jumat sore, mereka langsung beristirahat karena perjalanan yang cukup panjang.
Sabtu paginya, saat saya sedang sibuk-sibuknya menyiapkan acara, saya iseng-iseng meng-SMS ajudan Bupati, untuk menyampaikan bahwa anak-anakku tiba di Saumlaki dan akan mementaskan tarian di hari Senin, dan langsung pulang kembali ke kampung Selasa sore. Saya sedikit berharap semoga anak-anak ini bisa bertemu Bupati, karena bagi orang-orang desa, bertemu dengan Bupati adalah sebuah kehormatan yang sangat besar, namun tidak terlalu yakin dan juga tidak mau meminta secara khusus agar Bupati menerima mereka. Karena itu saya begitu terkejut ketika ada balasan SMS yang menyebutkan bahwa anak-anak ditunggu di kediaman Bupati malam itu juga. Di sela-sela kesibukan menyiapkan acara Seninnya saya menelepon Pak Renfaan, guru yang ikut datang bersama anak-anak, untuk mengumumkan undangan bupati ini kepada anak-anak, dan meminta mereka menyiapkan diri malam harinya.
Malam harinya, guru dan orang tua sudah begitu excited karena anak mereka akan bertemu dengan pemimpin daerah. Saya pun bersama Bagus berangkat duluan ke rumah Bupati, untuk memastikan jadi tidaknya pertemuan ini. Saya takut anak-anak akan kecewa kalau mereka sudah datang dan ternyata Bupati berhalangan. Rupanya di saat yang bersamaan ada beberapa tamu yang juga dijadwalkan bertemu dengan Bupati, sehingga ajudan pribadinya meminta saya menunggu di luar kediaman selama sekitar 20 menit. Barulah setelah itu ajudan datang dan memberi kabar bahwa Bupati siap menerima anak-anak ini. Bahkan untuk mengangkut anak-anak dari rumah, ajudah Bupati menyiapkan sebuah mobil pick up. Saya begitu bersemangat, saya membayangkan betapa bangganya pasti orang tua mereka nanti!
Dan anak-anakku pun tiba di ruang pertemuan Bupati yang diberi nama Gedung Enos. Di ruangan yang sangat mewah bagi ukuran anak-anak kampung ini, 28 nona-nona Wadankou ini datang dengan penampilan ‘terbaik’ mereka. Semuanya mandi dan memakai bedak tebal-tebal, dan walau beberapa anak bajunya terlihat seperti baju tidur dan hanya memakai sendal jepit, saya tahu mereka merasa malam ini adalah momen yang sangat penting. Karena Pak Bupati masih ada pertemuan dengan seorang camat di ruang tamunya, anak-anak dan guru-guru beserta kami menunggu di ruangan yang telah disediakan. Tidak ada senyum di wajah anak-anak, mereka semua tampak sangat tegang menanti datangnya Bupati. Tiba-tiba Bupati pun datang, dan menyalami anak-anak ini satu per satu. Selesai menyapa, Bupati mengetes kemampuan berhitung beberapa anak. Beliau memanggil perwakilan dari kelas 6,5,dan 4. Entah kenapa, anak-anak yang maju ke depan adalah anak-anak terpintar di kelasnya, sehingga lumayanlah, mereka bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan hitungan sederhana yang diberikan oleh Bupati. Setelah Nindy, Tesi, dan Nining yang dipanggil ke depan selesai ditanyain, Pak Bupati meminta anak-anak untuk menyanyikan sebuah lagu. Sontak anak-anak secara serentak menyanyikan lagu Tata Tertib Sekolah, lagu yang saya ajarkan kepada anak-anak ini dan dinyanyikan hampir setiap hari di sekolah. Sambil merekam anak-anak ini bernyanyi, hati saya begitu penuh. Pak Bupati pun menutup malam itu dengan menyerahkan sedikit bantuan untuk makan minum anak-anak selama di Saumlaki, yang lumayan mengurangi beban dan kekhawatiranku.
Malam itu begitu sempurna, sepulang di rumah orang tua tidak hentinya saling menceritakan apa yang terjadi tadi di kediaman Bupati. Minggu paginya, sesuai pesan Bupati malam sebelumnya, anak-anak dibawa ke gereja oleh Pak Yanto. Ada kejadian lucu saat di Gereja. Saya sempat panik karena setelah menunggu di gereja, anak-anak tidak kunjung tiba. Saya pun lalu berjalan kaki mencari rombongan ini, naik ojek ke rumah, berkeliling ke gereja lainnya,sampai saya pun kembali ke gereja tadi dan baru menyadari bahwa ada sisi lain dari gereja yang belum saya tengok. Ternyata benar, setelah berkeringat dengan panik mengelilingi Saumlaki mencari anak-anak ini, mereka ternyata duduk manis dengan tenang di sisi lain dari gereja! Saya pun lalu menggabungkan diri dengan anak-anak ini. Baru saja duduk, Tesi langsung bertanya kepadaku dengan nada khawatir: “Bapak, seng ada tempat buang air kecil di sini!” Saya lalu bertanya ke ibu yang berada di belakangku, ternyata toilet berada tepat di pintu masuk ke gereja! Rupanya anak-anak ini belum terbiasa dengan toilet umum, mungkin karena biasanya buang air kecil di pantai atau hutan, di tengah keramaian seperti ini sontak mereka bingung,hehe.
Mengingat keeseokan paginya mereka harus tampil, saya sebenarnya agak waswas karena anak-anak ini tidak pernah latihan di rumah. Rupanya karena ini tarian adat, Pak Abia, tua adat yang ikut serta mendampingi anak-anak, tidak membolehkan tarian ini sering-sering ditampilkan. Bahkan saat minggu sorenya gladi resik di Pendopo, kalau bukan Pak Camat yang memaksa mungkin tarian ini tidak akan ditampilkan. Saya jadi ketar ketir, apakah mungkin anak-anak kampung yang tidak pernah tampil di tempat lain selain di gereja desa ini bisa langsung tampil bagus tanpa latihan, di gedung pertunjukan dan ditonton orang banyak pula....
Esok harinya, anak-anak sudah mandi sejak pukul 5 pagi. Para mama-mama lalu memasangkan kostum tari mereka, yaitu dua selempang kain tenun hitam yang disilangkan sebagai baju, ditambah sarung sutra merah muda dan rambut dikonde. Untuk beberapa posisi dalam tarian, ditambah dengan mas bulan (kalung adat) dan bulu cendrawasih di kepala. Bu Camat dan Bu Irna, kakak Bu Camat, langsung berperan sebagai make up artist bagi anak-anak ini. Saya tidak sempat lagi mengikuti persiapan mereka di pagi hari, karena harus keburu berangkat ke lokasi acara di Pendopo Bupati. Karena saya pada acara ini bertindak sebagai perwakilan dari Indonesia Mengajar, saya harus duduk manis di bangku undangan dan tidak bisa ikut sibuk mondar mandir ke sana kemari. Saya hanya menyempatkan diri singgah ke belakang panggung sebentar dan meminta mereka menampilkan yang terbaik, karena saya bangga dengan mereka.
Dan waktu pertunjukan pun tiba. Seusai Pak Bupati memberikan sambutan, akan dilakukan pemukulan tifa sebagai simbol dibukanya acara ini. Sipora, pemain tifa utama , naik ke panggung untuk membawa tifa yang lalu dipukul Pak Bupati. Selesai beliau turun, pembawa acara pun memanggil tarian Tnabar Fanewa dari siswa-siswi SD Kristen Wadankou ini. Tifa mulai ditabuh, barisan anak-anakku ini dengan percaya diri memasuki panggung, sambil pembawa acara membacakan penjelasan tentang tarian ini. Setelah semua berbaris membentuk formasi ular, tifa ditabuh sekali dan mereka memberikan penghormatan, tanda tarian akan dimulai. Saya terkejut, ternyata anak-anak tampil sangat bagus. Ramona, anak kelas 3 yang keluarganya secara turun temurun menjadi Kual (pemimpin nyanyian yang sambil memukul tifa) tampil penuh percaya diri, dengan suara yang lantang pula. Penyanyi kedua, Minarti, yang masih duduk di kelas 2 juga tampil bagus, walau masih sedikit malu-malu dibanding Ramona. Engge, penabuh tifa, memainkan tifanya engan ekspresi yang sangat khas, sesuai dengan tarian dan gerakan kepalanya yang sungguh menggambarkan kepala ular . Nindy, si bintang sekolah, memang hanya menjadi penari biasa, tidak mendapat peran khusus, tapi ia yang berada di pucuk barisan menari dengan penuh percaya diri dan tersenyum, membuat tariannya terlihat atraktif. Bintang dari semuanya adalah Tesi, yang berperan sebagai Farai. Farai adalah pembuka setiap lagu (dalam tarian ini ada tiga lagu yang dinyanyikan sambil menari), dan merupakan seekor burung Rajawali. Dengan lenggak lenggok dan tatapan mata yang sekilas mirip penari Legong, dengan dua lenso (sapu tangan) di tangannya, Tesi menjadi fitur yang palingt menonjolkan kekhasan tarian dari tanah Wadankou ini.
Penonton terpukau, apalagi saya. Pikiran saya melayang, nun jauh terbang ke desaku yang sangat terpencil itu. Anak-anak yang sehari-hari tidak pernah memakai alas kaki ini, yang rambutnya keras seperti rumput laut karena tidak pernah disampo, yang sebagian besar belum bisa membaca, hari ini tampil di panggung nomor wahid di kabupaten ini, disaksikan bupati dan menjadi satu-satunya pengisi acara di acara pembukaan ini. Di detik itu saya sungguh merasa ini adalah sebuah dongeng mini yang begitu indah. Saya mengenang ide gilaku, perjuangan pergi ke kampung meyakinkan mereka, m,embuat dapur umum di ferry, berjungkir balik mencari dana untuk akomodasi mereka. Anak-anak ini telrihat begitu profesional, pasti mereka tidak akan bisa melupakan momen ini seumur hidup mereka. Dan saya tak bisa menahan air mataku di momen itu, apalagi karena semua anak-anakku setiap menampilkan perannya masing-masing selalu melayangkan matanya, mencari tempat di mana saya berada. Pagi itu sungguh pagi yang penuh kebahagiaan.
Untuk menambah sempurnanya perjalanan anak-anakku ini, malam harinya Pak Bupati menjamu mereka dan juga semua orang tua di kediamannya. Menurut Pak Camat, Pak Bupati sangat jarang bersusah-susah menyediakan makanan untuk tamu yang diundang, biasanya cukup minum teh saja. Namun malam itu berbeda, anak-anak untuk pertama kali dalam hidup mereka makan sate ayam dan mencicipi sop ayam. Semuanya bahkan baru pertama kali melihat kentang dan wortel yang ada dalam sop itu, beberapa sampai tidak bisa memakannya karena belum terbiasa. Walau malam itu Pak Bupati hanya muncul sebentar saja, jamuan makan malam itu menyisakan kebanggaan yang begitu besar bagi anak-anak dan orang tua mereka, dan tentunya desaku tercinta.
Malam itu, sepulang dari kediaman Bupati, di atas pick up anak-anak bersamaku menyanyikan lagu yang suka kunyanyikan bersama mereka setiap malam di kampung: Jangan Takut Gelap, Ambilkan Bulan Bu, dan Bintang Kejora. Saya menengadahkan kepalaku, melihat bintang, mendengar nyanyian mereka, dan berterima kasih pada Tuhan, untuk membuat dongeng ini sungguh terjadi. Dan mereka lalu hidup bahagia, setidaknya di hari-hari ini.....
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda