Misi Wadankou ke Saumlaki (3) : Dapur Umum!

Dedi Kusuma Wijaya 22 Januari 2012

Pembaca yang budiman, cerita ini adalah rangkaian dari kisah perjalanan membawa murid-muridku ke Suamlaki untuk mementaskan tarian Tnabar Fanewa di Saumlaki. Sesuai dengan namanya, ini adalah pengalamanku membuat dapur umum di atas ferry yang menuju ke Saumlaki. Sebelum membacanya, saya ingin menyampaikan bahwa ini adalah cerita yang sangat biasa, dan bukan cerita heroik (jadi jangan berharap yang tingi-tinggi, hehehe).

Mengawali semua cerita itu, saya melompat kembali ke perjalanan di atas ferry dari Wadankou menuju Saumlaki (ujung dari tulisan saya sebelumnya). 51 orang masyarakat desaku, dan tanggung jawab ‘memelihara’ mereka kini berada di tanganku. Saya memahami karakteristik masyarakat Wadankou, mereka gampang mengeluh, dan sekali mengeluh, biasanya gerutuannya akan menciptakan suasana yang tidak positif. Inilah yang tidak saya harapkan, dan karena itu saya bertekad akan mentreat mereka sebaik mungkin. Selama berada di ferry, setelah masalah pertiketan beres (kapten kapal menggratiskan semua rombongan saya), hal berikutnya adalah tentang bagaimana memberi makan mereka. Saya yang tidak punya pengalaman membuat dapur umum sebelumnya cukup ketar ketir, apalagi saya hanya ditemani Matilda membawa masyarakat ini. Untunglah Pak Camat sudah meminta menyisihkan 5 karung beras di atas kapal ferry untuk digunakan makan warga Wadankou selama perjalanan dan masa tinggal di Saumlaki.

Tiga setengah jam setelah berlayar dari Wadankou, kapal singgah di Kota Larat untuk berhenti sampai tengah malam. Saat berhenti di Larat  waktu sudah sore, saya dan Matilda langsung turun ke kota  dan membeli telur, mie instan, kecap manis, minyak goreng, garam, serta  kertas bungkus nasi untuk menyiapkan dapur umum ini. Tidak lupa saya membeli 40 kardus Aqua gelas pesanan teman-teman Pengajar Muda lainnya yang akan dipakai untuk acara Lomba Calistung di Saumlaki. Semua barang inipun lalu diangkut ke atas kapal ferry lagi. Sesampainya di kapal, sebagian besar ibu-ibu orang tua murid dan anak-anakku sudah pergi. Mereka sibuk berkeliling kota Larat yang pusat kotanya hanya terdiri dari sederet rumah toko yang diisi sebagian besar dengan toko kelontong yang dikelola oleh warga keturunan Tionghoa. Karena hanya segelintir anak-anak yang tertinggal di ferry, saya pun melayani permintaan beberapa anak-anakku untuk mengantar mereka jalan-jalan di Kota Larat. Karena Matilda mau pergi membeli beberapa barang, kami pun berpisah jalan. Saya membawa Tuni, anak kelas V yang mau mengunjungi kakaknya yang bersekolah di Larat. Beberapa anak mengikutiku, dan karena mereka beberapa mengeluh kelaparan (anak-anak Tanimbar selalu menyebut perut keroncongan dengan ‘jantung sakit’), saya pun membelikan 12 nasi bungkus untuk rombongan anak-anak yang jantungnya sudah sakit ini. Sampai di toko tempat Minggus, kakak Tuni, tinggal sekaligus bekerja paruh waktu, kami duduk sebentar sambil menunggu Minggus yang  membelikan Tuni coklat.  Selesai dari sana, hari sudah Maghrib, matahari mulai tenggelam, dan karena itu saya mengajak anak-anak untuk kembali ke ferry, mengingat mereka tidak terbiasa dengan jalan yang diisi dengan kendaraan sehingga saya gak was was kalau mereka diserempet motor lewat.

Sekitar jam 7 malam kembalilah kami di ferry. Saya langsung membiarkan anak-anak bermain dan mencari ABK (anak buah kapal) ferry yang bertanggung jawab atas dapur, untuk meminta ijin penggunaan dapur. Dapur di ferry ini kecil sekali, hanya sekitar 3x3 meter, itupun masih dibagi dua ruangan lagi, ruang makan dan ruang memasak. Satu-satunya ventilasi udara di dapur adalah pintu yang terbuka dan AC yang sayangnya sedang rusak, menyebabkan dapur ini pengapnya luar biasa. Setelah sibuk mencari ke sana kemari dan bernegosiasi dengan ABK, dapurpun siap digunakan. Karena Matilda tidak ada, sendirian saya membawa naik mie instan yang sudah saya beli, telur, beserta kelengkapan lainnya. Sebelumnya saya sudah memasak dua ricecooker nasi, satu menggunakan ricecooker yang saya bawa dari rumah Bapak Camat di Adodo Molu, satu lagi menggunakan ricecooker yang ada di dalam kapal ferry.  Indikator lampu di penanak nasi elektronik itu sudah menunjukkan tanda nasi telah matang, sehingga saya kemudian mengeluarkan nasi dan meletakkannya di sebuah baskom plastik yang ada di dapur. Saat sedang mulai memasak air untuk merebus mie, beberapa ibu orang tua murid datang menghampiriku dan ‘mengkudeta’ dapur. Bagus juga, mereka lalu mengambil alih tugas dapur umum. Tidak jadilah saya berkeringat-keringat (dalam arti sebenarnya, karena dalam dapur sangat panas) untuk memasak nasi. Apalagi salah seorang mama yang membantu membuat dapur umum ini katanya pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Timika, sehingga kerjanya dalam membungkus nasi cukup cekatan.

Sambil menunggu mereka menyiapkan dapur umum, saya mengisi waktu dengan duduk di geladak memandangi pelabuhan Larat yang pemandangannya tidak indah-indah amat itu (hehe, pernyataan yang aneh yahh..).  Saya sendiri memang tidak membantu lagi di dapur umum, karena selain sudah ada ibu-ibu, nasi bikinan saya dengan rice cooker tadi ternyata tidak matang (bayangkan, padahal sisa taruh nasi dan colok saja), rupanya karena airnya kurang. Maklum, sebagai anak kos di Jakarta dulu saya tidak pernah memasak nasi untuk porsi lebih dari satu orang. Ternyata ibu-ibu terlalu banyak menakar nasi di setiap bungkusnya, sehingga setelah bungkus ke-30 nasi sudah habis, tersisa telur dan mie instan goreng sepertiga baskom. Akhirnya nasi bungkusnya dibagi-bagi untuk anak-anak, sementara ibu-ibu kebagian mie instan dalam baskom itu.

Setelah selesai membagi nasi bungkus itu dan anak-anak telah kembali semua dari jalan-jalannya (maklum kotanya kecil saja jadi jalan-jalan yah segitu-gitu saja), mereka mulai makan dan juga minum. Untuk minum saya membawa bekal berupa satu jerigen kecil air yang sudah dimasak dari Adodo Molu, begitu juga anak-anak yang masing-masing membawa bekal air dalam botol air mineral. Tidak lama setelah makanannya habis, anak-anak mulai melaporkan diri kepada saya bahwa mereka kehausan. Seharusnya bisa saja saya meminta orang tua mereka masing-masing membeli air minum atau seperti apa, tapi saya memutuskan bahwa karena mereka berangkat dengan sedikit ‘kekisruhan’ di awal, biarlah saya yang melayani mereka. Saya memasak air dengan rice cooker yang tadi digunakan untuk memasak nasi (oh yah, nasi yang tadi tidak matang lalu dikukus lagi dengan dandang oleh ibu-ibu), karena takut menghabiskan elpiji kalau menggunakan kompor gas. Setelah menunggu setengah jam, saya pun lalu berniat segera mengisi air itu ke dalam botol-botol setoran anak-anak. Ternyata saya tidak sadar, airnya kan masih sangat panas! Haarrggh, saya pun lalu turun dari ferry, dan berjalan kaki di malam hari ini mencari toko yang menjual es batu. Banyak toko sudah tutup, dan toko yang sudah buka pun tidak menjual es batu. Akhirnya saya membeli sekardus air mineral (untungnya dibonuskan satu kardus gratis oleh empunya toko) dan membawanya ke ferry untuk menuntaskan dahaga anak-anak ini. Satu permasalah lagi pun teratasi.

Menjelang tengah malam, Matilda tiba dari perjalanannya keliling Larat untuk berbelanja dan mandi di Pastoran, dan lepas tengah malam Ferry pun lepas sauh dan berlayar menuju Saumlaki. Setelah memastikan semua pasukan saya kenyang dan lengkap (di Larat ini sudah banyak penumpang lain yang masuk sehingga ferry menjadi penuh orang), saya memutuskan untuk beristirahat di kamar Tatami (kamar ber-AC yang berupa sederet tempat tidur bersusun yang tersambung) setelah sebelumnya mandi dulu.

Pagi harinya kapal singgah di Seira, sebuah pulau di pesisir barat Kepulauan Tanimbar. Saya dan Matilda turun dan membel;ikan anak-anak es manis yang sangat murah, 500 rupiah sebuah (kelas es ini ternyata membuat beberapa anak batuk dan flu), dan lalu kembali ke kapal yang sudah penuh sesak ini. Saya belum bisa memasak, karena bapak koki sedang menyiapkan makan untuk para ABK. Akhirnya saya baru bisa memasak sekitar jam 12, padahal pada jam 10 beberapa ibu-ibu sudah siap untuk membuat dapur umum lagi. Anak-anak sudah mulai lapar, apalagi ditambah kapal mulai goyang karena memasuki daerah yang gelombangnya besar. Saya yang sedikit pusing tetap memaksakan diri untuk naik ke dapur sambil membawa Matilda ikut serta, untuk membuat dapur umum. Beberapa ibu sudah saya ajak, namun mereka tampak enggan, rasanya karena sedang mabuk laut.

Dan saya pun memulai proyek membuat dapur umum pertamaku di dapur yang super pengap dan bergoyang-goyang dibuai gelombang ini. Saya sebelumnya telah menyiapkan nasi di ricecooker saat koki kapal sedang memasak. Belajar dari kesalahan sebelumnya, saya mengisi air lebih banyak sambil berharap semoga nasinya bisa lebih matang kali ini.  Saya lalu membagi tugas dengan Matilda. Matilda menggoreng 30 butir telur, sementara saya memindahkan nasi yang sudah matang (syukurlah kali ini nasinya matang) ke dalam setiap wadah yang ada, lalu memanaskan air untuk dipakai memasak mie instan. Sambil menunggu air masak, saya mengambil 30 bungkus mie instan, membukanya satu per satu dna menuangkan bumbunya ke dalam baskom. Tanganku sudah sangat berminyak, keringat mengucur deras karena pengapnya ruangan, ternyata gelombang melengkapi semua karena kapal semakin goyang. Matilda rupanya lebih tangguh dariku, dengan wajah diterpa keringat dan asap ia bisa menyelesaikan telur dadarnya.  Sementara saya, pemandangan kecap dan bumbu serta tumpukan bungkusnya di meja yang mulai kelihatan tidak rata itu mulai membuat pikiranku puyeng. Saya memaksakan diri saya menyelesaikan pemasakan mie instan ini dengan segenap tenagaku. Memang terbaca sedikit lebay yah, tapi sungguh, perjuangan memasak ini mengasah kesabaran dan persistensiku. Akhirnya dengan perjuangan keras mie instan sebaskom besar selesai sudah dimasak. Proses berikutnya, membungkus makanan ini satu per satu. Nasi di wadah, telur di piring besar dan mie instan di baskom harus dibagi rata ke dalam 51 bungkus nasi.

Saat membungkus, hampir tidak ada oksigen lagi di dapur, sehingga setiap 10 bungkus Matilda dan saya harus ke luar dapur dulu untuk mencari angin. Mana ini ditambah lagi dengan kemabukan yang semakin tinggi. Setelah bungkus ke 30, saya memutuskan untuk turun ke bawah dan mencari bala bantuan dari mama-mama. Walau sebenarnya ingin menyelesaikan dapur umum ini sendirian, saya tidak tahan juga untuk tidak meminta tolong. Ternyata sampai di bawah, semua rombongan saya sudah tertidur pulas. Rupanya semuanya mabuk, tidak ada satupun mama yang bangun. Hanya ada tiga orang anak, Engge, Tesi, dan Nindy. Saya lalu meminta mereka naik dan membantu saya membungkus nasi. Sampai ke atas, Tesi dan Engge hanya bergantian pergi ke kamar mandi untuk muntah, sehingga saya meminta mereka untuk turun kembali bergabung dengan grup mabuk laut lainnya. Tersisalah Nindy, yang masih sangat fit. Bertiga dengan Matilda, dengan sisa-sisa tenaga saya menyelesaikan nasi bungkus yang betul-betul dikerjakan dengan keringat bercucuran ini.

Selesai membagikan nasi, saya langsung masuk ke kamar Tatami yang untungnya cukup dingin. Saya lalu makan dan mengistirahatkan diri sejenak di situ. Keluar dari kamar, mama-mama sudah melapor bahwa mereka telah mencuci peralatan masak dan membersihkan dapur. Memang sebelumnya dapurnya saya biarkan super berantakan karena sudah tidak mampu lagi membereskannya. Wajan sampai terletak di lantai, piring dan perlengkapan masak lainnya tergeletak di mana-mana.  Rupanya mereka tidak enak juga karena saya sudah berjungkir balik membuat dapur umum tadi.

Satu hal lagi yang menarik sepanjang perjalanan ferry ini adalah anak-anakku rajin sekali mandi. Ini rasanya paduan dari ‘indoktrinasi’ saya agar mereka rajin mandi, dipadukan dengan keadaan kamar mandi ferry yang airnya lancar, dan tentunya tidak perlu ditimba di sumur seperti yang biasanya mereka lakukan.  Apalagi karena sudah punya sikat gigi baru (Baca ‘Mari Bersikat Gigi’, antrian kamar mandi di ferry diisi sebagian besar oleh anak-anak kampung ini yang keranjingan dengan kamar mandi ferry,hehe.

Menjelang sore, kapal ferry pun merapat ke Saumlaki. Anak-anak sudah sangat siap, dan sesudah turun dari kapal mereka sudah disambut dengan Kepala Desa Olilit (tuan tanah adat di Saumlaki) yang memimpin prosesi adat menyambut anak-anak ini. Hal ini dilakukan karena mereka akan menampilkan tarian adat di Saumlaki ini, jadi perlu mendapat restu dari tuan tanah setempat. Prosesi adat berjalan lancar, dan petang itu cuaca di ibukota Tanimbar ini begitu cerah. Rasanya alam menyambut baik kedatangan para putri-putri ini.  (bersambung)


Cerita Lainnya

Lihat Semua