Misi Wadankou ke Saumlaki (2): Dan Mereka Pun Ada!
Dedi Kusuma Wijaya 7 Januari 2012Di tulisan edisi pertama yang kutulis di atas ferry saat sedang berada dalam perjalanan ke Molu Maru, saya menceritakan bagaimana ide ‘gilaku’ mendatangkan 20 orang siswa-siswiku untuk pergi menari ke Saumlaki. Ini sungguh adalah ide gila, karena yang pertama, saya harus menjawab pertanyaan bagaimana mengangkut mereka, plus memberi mereka tempat tinggal dan makan selama perjalanan. Yang kedua, bagaimana saya memberitahu mereka untuk mempersiapkan diri, secara pada waktu itu saya tidak ada di desa. Yang ketiga, saya sendiri sejujurnya tidak tahu apakah mereka memang siap menari atau tidak! Saya yakin mereka bisa menari adat hanya karena beberapa asumsi, yaitu karena orang tua mereka memang masih memelihara tradisi itu dengan baik, dan karena saya pernah melihat beberapa anak menari-nari di rumahku dengan gerakan yang luwes. Beberapa hal itu sudah merupakan pertaruhan yang cukup besar. Belum lagi ditambah dengan berangkatnya saya dari Saumlaki ke Wadankou untuk menjemput mereka, di waktu di mana persiapan untuk acara Kampanye Calistung ini sudah mendekat, dan tenaga saya tentunya dibutuhkan teman-teman di Saumlaki.
Tapi sudah tidak bisa untuk mundur lagi. Departemen Perhubungan telah membantu saya untuk menggratiskan biaya ferry anak-anak ini nantinya, Bapak Sekretaris Daerah sudah menyumbangkan sejumlah uang untuk biaya makan mereka, Bapak Camat sudah menyanggupi rumahnya untuk ditinggali, dan ditambah lagi surat sudah saya titipkan ke seorang bapak dari Molu Maru untuk dititipkan ke Wadankou, entah dengan cara apa.
Kembali ke penghujung tulisan pertamaku. Saya yang menumpang ferry sendirian dari Saumlaki, akhirnya tiba di Kota Larat esok paginya, setelah 16 jam perjalanan. Saat ferry sudah merapat dan penumpang berhamburan ke darat, tampak kepala sekolahku sudah menunggu di depan pintu. Saya langsung menghampirinya, bertanya apakah ia sudah mengirimkan kabar ke desa perihal tari menari ini. Jawaban kepala sekolah sempat membuat urat saraf saya sedikit menegang, karena ia mengatakan bahwa karena kesibukan kegiatan gereja di Larat (yang membuatnya tidak hadir di sekolah dan tidak melaksanakan UAS untuk anak-anak), ia tidak sempat menitipkan pesan ke kapal motor dari desa yang datang ke Larat. Dua hari lalu katanya ada motor yang datang, tapi saat ia datang ke dermaga motor tersebut sudah berlayar. Baiklah, harapan sedikit menipis, namun ia membuatnya terlihat lebih tipis lagi ketika mengatakan rasanya agak berat mengharap anak-anak dapat tampil, karena tarian adat ini membutuhkan waktu latihan cukup lama, paling tidak butuh dua mingguan lah. Namun saya tetap tak bergeming, sudah separuh perjalanan saya ke sini, apapun yang terjadi saya akan tetap pergi ke Wadankou dan menjemput anak-anakku ini.
Saat itu ferry tiba di Larat pukul 11 siang. Sesuai jadwal, setelah berhenti di Larat ia akan meneruskan perjalanan ke Molu Maru. Ternyata hari itu nahkoda memutuskan berhenti lebih lama di Larat, dan baru akan berangkat ke pulauku esok subuh. Saya lalu memutar otak. Seandainya ada kapal kayu yang ke Molu Maru siang ini juga, maka hitung-hitungan saya, saya akan punya waktu cukup untuk tiba di desa, lalu mengecek kesiapan anak-anak, sembari menunggu ferry datang keesokan harinya. Pergilah saya ke dermaga, dan ternyata kebetulan sekali, ada sebuah motor dari Desa Adodo Molu (desa tetangga Wadankou) yang akan pulang kembali ke kampung siang itu juga. Saya lalu berkoordinasi dengan nahkoda ferry, sehingga rencanaku pun terbentang: saya akan menumpang motor Adodo Molu, lalu dari Adodo berjalan kaki sampai ke desaku, mengoordinasikan anak-anak untuk berangkat ke Wadankou lama (daerah yang terletak lebih dekat ke Adodo Molu dairpada ke Wadankou) keesokan harinya dan lalu naik ke ferry. Rencana ini terlihat ideal, sehingga berangkatlah saya dengan kapal motor kayu Adodo yang terkenal sangat lambat jalannya (karena hanya menggunakan satu mesin) dan tidak nyaman (karena tidak ada tempat duduk untuk penumpang) itu. Kebetulan rekan Pengajar Muda lainnya, Matilda, baru saja tiba di Larat dari desanya, tepat sebelum motor Adodo ini berangkat. Jadilah dia ikut serta denganku dan kepala sekolahku melakukan perjalanan ke Molu Maru.
Saya jujur saja tidak memprediksikan bahwa perjalanan ke Adodo Molu akan memakan waktu sekian lamanya. Kapal yang sudah kecepatannya rendah ini menjadi semakin lambat lagi seiring dengan terpaan ombak. Hasilnya, kami baru tiba di Adodo (dengan muka lecek dan kecapean) pukul stengah 8 malam, dengan total enam setengah jam perjalanan laut. Saya, Matilda, dan kepala sekolah pun langsung menuju rumah Bu Bat, ibu piara teman saya Bagus. Kami duduk dan meminum teh hangat untuk menghilangkan efek perjalanan laut dengan motor yang biasanya menyisakan telinga pekak dan kepala masih terasa terombang ambing.
Setelah beristirahat sejenak, kami berdiskusi dan diputuskan bahwa bapak kepala sekolah lah yang akan berjalan kaki ke Wadankou (perjalanan memasuki hutan selama kurangl ebih 1,5 jam) dan menyiapkan anak-anak, sementara saya dan Matilda beristirahat di rumah Bu Bat lalu keesokan harinya sisa menunggu ferry di Wadankou lama (sebuah daerah yang terletak 20 menit jalan kaki dari Adodo Molu, lokasi janjian saya dengan pak nahkoda ferry). Saya merasa tidak mempunyai sisa energi lagi untuk berjalan kaki malam-malam, ditambah hujan lagi. Semoga saja keesokan harinya anak-anak memang datang.
Keesokan harinya, saya bangun dengan semangat tinggi (walau tidurnya tidak nyenyak, karena nyamuk yang merubungiku sepanjang malam). Saya mengajak Matilda berjalan-jalan melihat Desa Adodo Molu, dan setelah itu berjalan ke arah rumah Bu Bat lagi untuk mempersiapkan diri. Belum sampai di rumah, saya sudah diminta tolong oleh beberapa guru SD Adodo Molu untuk memfotokopikan beberapa dokumen administrasi mereka. Pekerjaan ini sangat memakan waktu, karena selain proses fotokopi dengan printer ini lumayan lama, saya harus menggotong printer dari rumah ke rumah untuk mencari rumah yang gensetnya bisa dinyalakan. Saya pun mulai gelisah, jangan-jangan di Wadankou lama ferry sudah datang, bagaimana kalau saya membuat mereka menunggu? (ferry direncanakan sampai jam 10 pagi, sementara saat itu sudah jam 11).
Benar saja, selesai mengcopy semua dokumen itu, petualangan pun dimulai. Seorang warga Wadankou dengan terburu-buru datang ke Adodo Molu mencariku, dia bermaksud menjemputku untuk pergi ke desa, katanya ferry sudah menungu sejak lama. Hah, bukankah ferry datang ke Wadankou lama? Dan bukankah dia dijadwalkan datang jam 10, saya mestinya ‘baru’ telat sejam dong? Ternyata orang itu menjelaskan, bahwa ferry merapat di desaku sejak jam 8 pagi, tidak sama dengan rencana awal yang kupikirkan. Sayap un buru-buru mengepak barang dan langsung berjalan kaki ke Wadankou lama. Di situ sudah menunggu sebuah kapal motor yang akan mengantarku ke Wadankou, desaku, untuk langsung naik ke atas ferry. Motor pun melaju dengan kecepatan penuh. Setelah dekat dengan desa memang tampak jelas kapal ferry tersebut berada di depan desaku. Saya pun mulai deg-degan, apakah anak-anak ada atau tidak. Tapi tidak sempat berpikir lama, sebuah long boat sudah melaju kencang ke arahku. Ternyata di atasnya sudah ada Pak Pejabat Kepala Desa, yang langsung memintaku naik ke atas long boat itu, agar lebih cepat mencapai ferry. Saya pun dengan buru-buru langsung memindahkan barang-barangku ke atas long boat, yang tanpa basa basi langsung memolkan gas dan membawaku ke ferry. Jantung saya pun berdetak kencang, melihat dari kejauhan tampak lambaian anak-anak yang berteriak-teriak memanggilku. Desiran angin menerpa wajahku yang tersenyum lebar, ternyata awal dari misiku berhasil kujalani.
Sampai di atas ferry, saya sedikit kaget dengan banyaknya orang tua yang ada di atas. Saya menghitung sekilas, sudah jelas jumlah orang yang ada di sini lebih dari 25 orang, jumlah yang kuminta semula. Belum sempat menghitung jumlah orang dan menyapa anak-anakku, kepala sekolah langsung menarikku dan berbisik, memberitahukan bahwa semua orang tua ingin ikut. Total anak-anak yang ikut 29 orang, sementara orang tuanya 21 orang, sehingga total ada 51 orang di atas ferry itu. Kepala sekolahku sampai mengatakan akan mengusahakan Dana BOS untuk menanggulangi tiket para orang tua itu. Saya menenangkan dia dan lalu naik ke atas, ke ruang nahkoda. Di kokpit, saya pertama-tama meminta maaf kepada Kapten Ricky, nahkoda kapal, sembari memberitahu bahwa penumpang membludak menjadi 51 orang. Untungnya kapten sangat baik, ia mengatakan bahwa wajar saja orang tua ingin ikut menyaksikan anak-anaknya tampil, apalagi mereka dari desa yang terpencil. Alhasil para rombongan saya ini tetap digratiskan olehnya. Dan saya kembali mengucapkan ucapan syukur dalam hatiku.
Apa yang sebenarnya terjadi di kampung, bagaimana ceritanya sampai mereka akhirnya bisa siap tampil di Saumlaki? Setelah mengumpulkan informasi, akhirnya saya mengetahui cerita seutuhnya dari Pak Agust, Pejabat Kepala Desa Wadankou. Kisahnya bermula dari surat yang saya tulis. Di Saumlaki, saya menulis surat yang ditujukan ke Pak Kepala Sekolah, Pak Pejabat, dan untuk anak-anakku (kalau-kalau mereka takut pergi sehingga butuh ‘persuasi’ dariku). Surat itu saya titipkan ke Pak Epi yang katanya akan pulang ke Adodo Molu, untuk lalu diteruskan ke Wadankou. Ternyata surat itu sempat ketinggalan di Kota Larat, lalu dibawa lagi ke Adodo Molu oleh Bu Latuhihin, guru di SD Adodo yang kebetulan sedang ke Larat. Dari Adodo surat ini dititipkan ke seorang anak yang mau berjalan kaki ke desaku. Dengan perjalanan sekian jauhnya, surat itu baru tiba di desa hari Sabtu malam (padahal hari Rabu ferry yang datang menjemput mereka sudah datang). Lebih hebohnya lagi, sampai di desa, kepala sekolah tidak ada, sehingga Pak Yanto, salah seorang guru honor di tempatku, yang menerimanya. Pak Yanto yang kebingungan pun meneruskan surat ini ke Pak Pejabat Kepala Desa.
Pak Pejabat, seorang staff kecamatan lulusan STPDN, anak muda 26 tahun yang penuh semangat, ternyata memang ditakdirkan membawa segenggam semangat di desaku. Ia menyambut baik ide gilaku, dan langsung mengumpulkan para pejabat desa beserta semua guru-guru yang ada (hanya tiga orang guru). Mereka mendiskusikan bagaimana mewujudkan keinginan saya ini. Awalnya semua orang yang hadir pesimis dengan ide ini. Anak-anak sebelumnya paling banter tampil di tingkat kampung saja, tiba-tiba datang tawaran untuk menari di kabupaten dalam waktu seminggu ke depan. Untunglah Mama Nyora, istri dari Pak Guru Sainlia, kemudian menyatakan ia siap melatih tarian Tnabar Fanewa, tarian khas Wadankou yang dinarikan oleh perempuan. Untuk itu pada minggu pagi, dikumpulkanlah 28 siswa perempuan dari kelas 2-6. Banyak orang tua yang masih tidak yakin dengan kegiatan yang akan dilakukan anak-anaknya ini, namun mereka membiarkan saja anak mereka berlatih.
Selepas gereja, pak pejabat mengumpulkan lagi orang tua, meyakinkan dan sambil ‘menjual’ namaku untuk membuat orang tua mengijinkan anak-anaknya pergi. Untunglah, orang tua murid menghargai keberadaanku, dan karena itu mengizinkan anak-anaknya pergi. Biasanya orang Wadankou terkenal tidak percayaan dan banyak curiga, namun kali ini syukurlah hal itu tidak terjadi. Anak-anak pun berlatih siang malam selama hari minggu dan selasa. Selasa sore, Pak Pejabat bersama seorang guru pergi ke desa Adodo Molu untuk mengecek langsung berita yang saya sampaikan. Di situlah ia bertemu Bu Latuhihin, yang sempat telpon-telponan dengan saya saat ia berada di Kota Larat. Bu Latu meyakinkan bahwa saya akan datang menjemput anak-anak, dan beradasar informasi itulah Pak Pejabat lalu pulang ke desa lagi dan menyiapkan semua kesiapan untuk keesokan harinya. Sampai malam hari tiba, ketika Pak Kepala Sekolahku –yang datang bersama denganku- berjalan kaki dari Adodo ke desaku, seperti di awal tulisan ini.
Sampai di desa, entah ada ‘angin’ dari mana, kepsekku melakukan hal yang tidak sewajarnya (detailnya tidak bisa saya ceritakan di tulisan ini). Perilakunya sempat melahirkan keributan sejenak di kampung, bahkan dalam keadaan mabuk ia sempat menyebarkan ke orang tua bahwa siapapun yang mau berangkat ke Saumlaki akan ditanggung tiketnya. Hal ini membuat Pak Pejabat harus mengadakan pertemuan tengah malam untuk mengamankan kepala sekolah, sekaligus menenangkan orang tua yang sudah tidak mau membawa anak-anaknya ke Saumlaki melihat perilaku kepala sekolah yang seperti itu.
Pagi harinya, hanya segelintir anak-anak yang berkumpul di pusat desa. Beberapa anak mulai menangis karena orang tuanya tidak mengijinkan mereka berangkat ke Saumlaki. Dalam keadaan seperti itu, Pak Pejabat tetap meminta anak-anak yang tersisa untuk memulai latihan. Jam 8 pagi, ferry merapat langsung ke Desa Wadankou (pertama kalinya sepanjang sejarah). Merapatnya ferry ini lalu dimanfaatkan oleh Pak Pejabat untuk meyakinkan orang tua untuk kesekian kalinya agar membiarkan anak-anaknya berangkat. Orang tua, yang juga merasa tidak enak karena usaha yang sudah kulakukan sampai ferry bisa merapat di desa, lalu bersedia memberangkatkan anaknya, dengan syarat mereka semua ikut! Bapak kepala sekolah, yang menyesali perbuatannya semalam pun akhirnya menyanggupi permintaan orang tua itu, sambil memutar otak untuk memakai dana BOS ( Bantuan Operasional Sekolah) seandainya mereka diminta membayar tiket ferry untuk orang tua yang mau ikut.
Karena diputuskan rombongan tetap berangkat, dilakukanlah ibadah pelepasan rombongan di gereja, diikuti ibadat adat di pusat desa. Menurut cerita ibu-ibu orang tua murid, suasana acara ini sangat mengharukan. Walau di tengah konflik yang terjadi sebelum berangkat, para penduduk desa sungguh berdebar karena anak-anak mereka dapat tampil di ibukota kabupaten. Bagi mereka, ini adalah hal yang luar biasa besar. Selesai upacara adat, banyak orang tua yang sampai meneteskan air mata haru. Sayang sekali saya melewatkan momen yang pasti sangat berharga ini.
Sesampai mereka di atas ferry, saya tidak kunjung datang. Orang tua mulai gelisah di atas ferry, mereka tidak akan memberangkatkan anaknya kalau tidak ada saya. Setelah menunggu hampir satu setengah jam, anak-anak mulai sedih, beberapa orang tua sudah memanggil sampan untuk membawa mereka kembali ke darat. Tepat di momen itulah saya datang dengan longboat bersama Pak Pejabat, padahal sudah ada beberapa sampan yang siap membawa orang tua dan anak-anak ini kembali ke desa. Setelah melompatkan kaki ke atas ferry, anak-anak bersorak kegirangan menyambutku, dan pintu ferry pun ditutup, stom dibunyikan, dan mulailah pelayaran kami ke Saumlaki. Saya menghela napas panjang, senang bahwa ide gila ini ternyata bisa terwujudkan. Di tulisan berikutnya, saya akan menceritakan apa yang terjadi dengan anak-anak dan orang tuanya ini di Saumlaki.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda